Skip to main content

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar

Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik.

Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton.

Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda.

Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lain” dalam film The Mission ini adalah sebuah komunitas Indian yang seringkali disebut sebagai “si kulit merah”, yang harus berhadapan lalu bekerjasama dengan para kulit putih.

Dengan menjadi berbeda diantara para kulit putih yang merasa lebih superior, para kulit merah dalam dapur film The Mission, akhirnya mendapat berbagai perlakuan berbeda, walau sebenarnya, bisa dikatakan, bahwa orang-orang Indian ini adalah hati dari film ini. Tanpa para kulit merah ini, tidak mungkin film The Mission selesai.


The Mission

Garis besarnya, The Mission adalah sebuah film yang terinspirasi oleh kisah nyata mengenai kolonialisme orang-orang Eropa terhadap orang-orang di benua Amerika, terutama Amerika Selatan, lebih tepatnya lagi orang-orang Indian. Settingnya terjadi pada abad ke-18 ketika misi para misionaris Jesuit baru mulai menapakkan jejaknya di Amerika Selatan. Secara lebih spesifik, The Mission berkisah mengenai misi para misionaris Jesuit ke kelompok komunitas lokal di daerah yang amat terpencil yaitu kelompok Indian Guarani.  

Dalam film ini terdapat tokoh-tokoh sentral yaitu, diantaranya Rodrigo Mendoza yang diperankan oleh aktor Rober De Niro, Pastor Gabriel oleh Jeremy Irons, Kardinal Altamirano oleh Ray McAnally serta Kepala Suku Indian diperankan Asuncion Ontiveros.

Cerita bermula dari bertobatnya seorang pemburu budak, Mendoza, setelah membunuh adiknya karena terbakar oleh cemburu. Sebagai salah satu bentuk pertobatannya, Mendoza memutuskan ikut serta dalam perjalanan Pastor-pastor Jesuit ke sebuah belantara yang dikenal sebagai tempat tinggal orang-orang Indian yang dianggap tidak beradab.

Mendoza tidak hanya berjalan melenggang tanpa bawaan apapun. Di tengah medan yang teramat sulit, sebagai bentuk penebusan dosanya, ia membawa segala peralatan besi yang sempat ia gunakan sebagai alat untuk membunuh adiknya serta memburu budak-budak Indian. Semua peralatan besi yang teramat berat itu, ia panggul sendiri sambil berjalan melewati bukit-bukit berlumpur serta air terjun yang begitu terjal. Sementara di depannya, rombongan pastur-pastur Jesuit yang dipimpin oleh Pastor Gabriel, terus berjalan dan sesekali memperhatikan Mendoza yang sepertinya tidak mau menyerah sampai mereka sampai di tempat di mana komunitas Indian yang sebelumnya sudah didampingi oleh Pastor Gabriel itu tinggal.

Setelah perjalanan yang teramat sulit berhasil dilalui oleh rombongan misionaris Jesuit serta seorang mantan pemburu budak itu, maka sampailah mereka di tempat di mana komunitas Indian Guarani tinggal. Maka mulailah para Pastor-pastor Jesuit meneruskan misi pemberadaban orang-orang Indian ini yang sebelumnya sudah dirintis oleh Pastor Gabriel. Dalam proses “pemberadaban” itu, Mendoza memutuskan untuk bergabung dengan Jesuit dan dilantik oleh Pastor Gabriel.

Dalam proses “pemberadaban” yang berada langsung dibawah pengawasan Vatikan, pastor-pastor Jesuit ini juga tidak bisa melepaskan diri dari fakta bahwa mereka juga hidup di tengah kolonialisasi orang-orang Eropa yang memperebutkan lahan serta sumber daya alam dimana orang Guarani ini tinggal. Orang-orang Eropa itu yaitu Spanyol dan Portugis.

Pada masa itu, Vatikan, yang misi sebenarnya adalah meng-Katolikkan orang-orang Indian ini, harus mau bernegosiasi dengan dua kekuatan besar ini, walau misi Vatikan sudah terlaksana. Karena masalah negosiasi itu, akhirnya Vatikan pun mau menerima kesepakatan antara dua bangsa Eropa yang termaktub dalam sebuah perjanjian bernama Madrid (Treaty Madirid) dan mau menyerahkan daerah dampingannya kepada dua kekuatan kolonial itu yaitu Spanyol dan Portugis.

Tetapi tentu konsekuensinya adalah, daerah-daerah yang telah dilepaskan oleh Vatikan itu harus dikosongkan. Artinya daerah-daerah yang telah diberadabkan oleh para Jesuit itu harus kembali dikosongkan dan ditinggalkan. Inilah yang kemudian menjadi klimaks dari kisah ini. Orang-orang Indian Guarani itu tentu tidak mau diusir dari tanah airnya. Mereka lebih memilih perang dibandingkan harus bertekuk lutut kepada orang-orang yang mau merebut lahan mereka itu. Dan sebagai para pendamping yang telah melibatkan perasaan dan emosiya, para Pastor Jesuit ini pun mengabaikan perintah langsung dari Vatikan melalui Kardinal Altamirano dan akhirnya tetap tinggal di dalam hutan serta mendampingi orang-orang Indian ini untuk berperang melawan kolonialis.       

Dalam peperangan yang jelas tidak seimbang itu, tentara kolonial dengan persenjataan lengkap dan jumlah pasukan yang lebih banyak, akhirnya secara membabi buta menghabisi orang-orang Indian Guarani yang hanya bersenjatakan tombak, pisau serta panah. Bukan hanya menembaki, mereka juga membakar rumah-rumah serta sebuah Gereja yang pada saat itu menjadi tempat berlindung, perempuan dan anak-anak Guarani sambil mereka memanjatkan doa yang dipimpin oleh Pastor Gabriel.

Akhirnya seperti sudah tertulis dalam sejarah, The Mission diakhiri dengan pemandangan yang memilukan dimana hampir semua orang-orang Indian Guarani itu terbunuh, juga seluruh pastor Jesuit yang mendampingi mereka, seperti Mendoza dan Pastor Gabriel. Yang tersisa hanya beberapa anak serta perempuan yang berhasil bersembunyi ke hutan hingga pembantaian itu selesai.

Film yang digarap oleh sutradara Roland Joffe pada tahun 1986 ini mendapat banyak tanggapan positif dari para pemerhati, kritikus serta khalayak pecinta film. Hal ini terbukti dari banyaknya penghargaan yang diperoleh oleh film ini, mulai dari Palme d’Or dalam Festival Film Internasional Cannes, hingga Golden Globe dan Academy Award.

Dalam Festival Film Cannes, Roland Joffe mendapatkan Palme d’Or sekaligus Technical Grand Prize, sementara dalam ajang Golden Globe, The Mission memenangkan Best Original Score (musik terbaik) serta Best Screenplay. Sementara dalam ajang Academy Award, The Mission masuk dalam nominasi film terbaik. Begitu juga Roland Joffe, dalam Academy Award mendapat nominasi sebagai sutradara terbaik, sementara untuk kategori sinematografi, The Mission mendapatkan piala Oscar sebagai film dengan sinematografi terbaik.


“Dapur” The Mission

Gemilangnya prestasi The Mission di dunia internasional itu, tidak terlepas dari begitu berwarnanya asap kebulan dapur dari film ini. Beberapa ras manusia tampak terlibat aktif dalam pembuatan film ini. Ada orang-orang Indian, orang-orang Eropa kulit putih, hingga orang-orang Latin Amerika. Hal-hal menarik pun kerap terjadi dalam dapur film ini. Apalagi ketika orang-orang yang belum pernah main film sama sekali ini harus bekerjasama dalam sebuah film dengan orang-orang kulit putih yang bintang utamanya merupakan aktor-aktor Hollywood serta tim produksinya telah mendapatkan pengakuan internasional.

Orang-orang yang membuat The Mission menjadi utuh dan makin berwarna ini adalah kelompok masyarakat lokal Waunana yang hidup kesehariannya berada di sepanjang aliran Sungai San Juan, sebelah Barat Daya Kolombia.

Lalu mengapa bukan orang-orang Guarani yang menjadi hati dalam film ini, padahal kisah dalam film ini, bercerita soal pembantaian komunitas lokal Guarani oleh kaum kolonial ?

Dalam pencarian serta proses riset selama pra produksi film ini, sutradara Roland Joffe telah berusaha keras untuk menemukan kelompok Indian Guarani ini yang pada tahun pembuatan film ini sudah tidak terlalu banyak jumlahnya. Karena berbagai masalah perebutan lahan serta sumber daya alam tempat mereka tinggal, orang-orang Guarani ini menjadi masyarakat yang  benar-benar terpinggirkan, sehingga menurut Joffe, sulit sekali menemukan orang-orang Guarani yang memiliki kepercayaan diri besar untuk bisa bermain film. Akhirnya karena alasan itu, Joffe beserta tim produksinya menemukan sebuah komunitas lokal Indian yang karakternya mirip sekali dengan Guarani.

Masyarakat Waunana, pada saat pembuatan film itu, seperti layaknya masyarakat lokal yang masih hidup di dalam hutan belantara, adalah masyarakat yang terpinggirkan secara sosial dan kultural. Ketika itu, mereka menghadapi masalah yang sangat umum terjadi di kalangan mereka, yaitu kemiskinan. Pengetahuan mengenai hal itu, tampaknya sudah tertanam di kepala masing-masing tim produksi, termasuk sang sutradara. Sehingga ketika mereka menyambangi, lokasi tempat tinggal orang Waunana, stereotipe itulah yang menjadi mindset seluruh tim produksi film The Mission.

Terlepas dari fakta bahwa memang orang-orang Waunana ini terancam secara sosial, ekonomi dan kultural dari tempat hidupnya[1], berbagai imaji mengenai orang-orang Indian ini juga hidup di kepala tim produksi, yang hampir seluruhnya adalah orang-orang kulit putih, terutama Inggris[2]. Imaji-maji yang sangat romantis itu, seperti orang-orang Indian ini lebih tidak beradab dibanding orang kulit putih, orang-orang Indian ini tidak mengerti sama sekali soal film, orang-orang Indian ini tidak tahu bagaimana sebuah kontrak kerja, terus dihidupi di kepala masing-masing tim produksi itu. Berbagai imaji itulah yang kemudian membuat semacam garis pembeda antara orang-orang Indian Waunana ini dengan orang-orang kulit putih dalam tim produksi The Mission.


Orientalisme dalam “Dapur” The Mission

Orientalisme adalah istilah yang dipopulerkan oleh seorang tokoh poskolonial, akademisi serta pemikir asal Palestina bernama Edward Said. Dalam pemikiran itu, Said mengatakan, bahwa “orient” (orang-orang yang berada di luar belahan dunia barat) telah lama dan masih terus mengalami sebuah proses konstruksi oleh pemikiran masyarakat barat.

Kemudian dilanjutkan oleh Said, Orientalisme adalah sebuah gaya pemikiran yang didasarkan pada perbedaan ontologis dan epistemologis antara “the Orient” dan “the Occident”. Dalam konteks ini, para sastrawan, filosof, teoritikus politik, ekonom, serta pemerintahan imperial, menerima dan memaklumi perbedaan dasar antara Timur dan Barat itu sebagai sebuah cara untuk mengelaborasi teori-teori, epic, novel serta fakta sosial, yang berhubungan dengan “the Orient”, misalnya saja mengenai adat tradisi orang-orangnya, cara berpikir, serta hal-hal mendasar lainnya. Singkatnya, Orientalisme adalah gaya Barat untuk mendominasi, merestrukturasi serta mendapatkan otoritas atas “the Orient”. Sehingga karena konsep ini, “the Orient” tidak pernah bisa menjadi seorang subjek bebas dalam tataran pemikiran atau tindakan.

Dalam “dapur” The Mission, terlihat jelas konsep itu menggelayuti pemikiran orang-orang kulit putih ini. Misalnya saja dari awal proses pembuatan film ini, dimana terjadi eksodus besar-besaran sekitar 287 orang-orang Waunana yang terdiri dari laki-laki.perempuan, anak-anak serta orang tua dari rumah mereka di tepi Sungai San Juan ke tepian Sungai Dan Diego di peguningan Sierra, Kolombia. Dalam pemindahan untuk memukimkan kembali orang-orang Waunana selama 40 hari itu, ada sebuah ucapan dari sang sutradara bahwa ia ingin membuat orang-orang Indian itu ( ia menyebutnya “the Indians”) merasa nyaman dan seperti berada di rumah mereka yang dulu, yaitu sama persis berada di tepian sungai.

Dari ucapan itu, sudah terlihat jelas, betapa ia hanya melihat orang-orang Waunana ini sebagai sebuah objek. Menurut konstruk pemikiran baratnya, ia memiliki imaji bahwa orang-orang Waunana ini bukan makhluk manusia yang bisa dengan mudah beradaptasi, sehingga untuk “memukimkan kembali” orang-orang Waunana ini, sang sutradara beserta tim produksinya, repot-repot membangun sebuah pemukiman yang mirip persis dengan rumah mereka di tepi Sungai San Juan. Padahal, aktor-aktor lainnya, serta mereka sendiri tinggal di sebuah hotel. Lalu mengapa mereka tidak menempatkan orang-orang Waunana ini di sebuah hotel atau (mungkin saja) sebuah wisma yang sama dengan para aktor yang lain.

Yang jelas, saya jadi teringat, ketika ada pemindahan badak bercula satu dari alam liar oleh Kementrian Kehutanan ke sebuah kebun binatang besar. Sebagai alasan agar badak itu merasa nyaman dan betah di rumah barunya, kebun binatang besar itu juga repot-repot membangun set yang persis mirip dengan habitat asli badak itu. Jadi, jika ini bisa dimirip-miripkan, maka bisa saja pemukiman kembali orang-orang Waunana dari rumah lamanya ke rumah barunya selama 40 hari itu, agak mirip dengan pemindahan badak itu ke kebun binatang besar itu. Dan tentu seharusnya ini bukan sebuah peristiwa yang sama. Karena jelas, badak adalah hewan yang tidak bisa ditanyai pendapatnya, sementara orang-orang Waunana ini adalah manusia-manusia yang punya akal dan pikiran yang bisa berbicara dan memiliki pendapat sendiri. Tetapi karena sang sutradara serta tim produksinya, sepertinya punya pemikiran romantis mengenai orang-orang Waunana ini, maka ketika mereka dipindahkan dengan perahu, bis dan pesawat, orang-orang Waunana itu segera dirumahkan di pemukiman sementara yang telah selesai itu. Mereka, masyarakat Waunana ini, seperti tidak bisa menjadi subjek bebas dari awal pembuatan film The Mission.

Konsep Orientalisme yang menggelayuti para kru film ini, juga sering terlontar secara natural oleh mereka. Misalnya saja, dalam film Behind the Scene dari The Mission ini, Roland Joffe sempat mengatakan bahwa pada awalnya ia sulit membayangkan dapat bekerjasama dengan orang-orang Indian ini. Tetapi, ia melanjutkan, ternyata ketika ia dan seluruh kru film memperlakukan “orang-orang ini” dengan baik, mereka pun menerima dengan baik.

Kemudian seseorang yang menjadi pelatih akting orang-orang Waunana selama pembuatan film itu, Peter Wallace, sempat mengatakan bahwa “saya adalah gubernur bagi mereka” . Secara tersurat dan tersirat, ia ingin mengatakan, bahwa ia adalah yang mengatur orang-orang Waunana ini dalam pembuatan film The Mission ini. Sehingga konsekuensinya, orang-orang Waunana ini harus patuh kepadanya. Selain itu ia juga mengatakan bahwa, bagi orang-orang Waunana ini, film The Mission ini adalah hanya masalah uang, karena menurut Wallace, ide-ide soal film belum benar-benar ada dalam ingatan mereka. Padahal dalam Behind the Scene dari The Mission ini, ketika salah seorang Waunana diwawancara ia mengatakan bahwa ia amat bangga bisa terlibat dalam pembuatan film ini. Ia merasa senang bisa memperkenalkan kepada dunia luar, bahwa orang Waunana juga bisa berakting.

Lalu, yang akhirnya menjadi semacam klimaks dari ketidakmengertian orang-orang Barat ini terhadap pemikiran “the Orient”, yaitu orang-orang Waunana ini adalah ketika terjadi sebuah protes dari orang-orang Waunana ini kepada kru film The Mission. Mereka memprotes soal masalah pembayaran. Orang-orang Waunana ini merasa telah melakuakn kerja sesuai yang ditulis kontrak bahwa mereka bekerja untuk waktu 60 hari, tetapi orang-orang Waunana ini merasa kru film telah memperdaya mereka dengan tidak mematuhi kontrak dan tidak membayar mereka tepat waktu. Sebagai bentuk protesnya, orang-orang Waunana ini, tidak mau berakting lagi selama masalah itu belum diselesaikan. Dari sini terlihat bahwa, mereka bukan agen yang pasif. Mereka mampu melakukan sebuah negosiasi.

Dalam proses negosiasi yang akhirnya terjadi, kru film yang diwakili oleh produsernya David Putnam sempat mengatakan bahwa, orang-orang Waunana ini tidak mengerti kontrak sepenuhnya, disamping itu ternyata ada perbedaan kontrak antara orang-orang Waunana ini dengan para aktor lainnnya. Jika para aktor lainnya, dibayar per orang, maka orang-orang Waunana ini dibayar untuk satu komunitas. Dalih dari si kulit putih itu adalah “orang-orang Waunana harus mengerti bahwa film ini dibuat untuk kepentingan komunitas, bukan untuk kepentingan individu, sehingga mereka harus menerima dibayar sekitar 90.000 peso untuk satu komunitas itu”. Tetapi kemudian terjadilah proses negosiasi yang cukup alot dengan orang-orang Waunana ini. Dan akhirnya, sebuah kesepakatan pun dihasilkan, orang-orang Waunana ini akhirnya mau berakting lagi, tetapi dengan dibayar lebih sesuai dengan hari yang telah mereka lalui diluar kontrak itu.

Tampaknya, kondisi ini di luar perkiraan para kru film The Mission. Mereka sepertinya masih menganggap bahwa orang-orang Waunana ini tidak mampu membaca kontrak, tidak akan mungkin menghitung dengan cermat apa yang mereka hasilkan, dan dapatkan, serta akan pasrah saja tanpa mengajukan protes sedikitpun. Intinya, mereka masih menganggap orang-orang Waunana ini sebagai seorang yang bodoh dan tidak beradab sesuai dengan konsep barat yang ada di kepala mereka.

Secara signifikan, konsep Orientalisme yang ada dalam mindset para kru film ini, adalah sebuah model untuk melihat “yang lain”. Orientalisme adalah contoh utama bagaimana “yang lain” itu dikonstruksi, sebuah contoh otoritas. Artinya, “the Orient” bukan sesuatu hal yang natural, ia adalah sebuah fenomena yang dikonstruksi dari generasi ke generasi oleh intelektual, seniman, komentator, penulis, politisi lewat berbagai asumsi dari para Orientalis serta stereotipe-stereotipe yang dibangun di sekitar “the Orient”.

Kemudian dalam pemikiran lebih lanjut selepas Said, dari stereotipe-stereotipe yang ada di sekitar “the Orient” itu, Homi Bhaba, salah seorang tokoh Poskolonial lainnya, mengatakan bahwa dalam wacana kolonial seperti itu, selalu ada ambivalensi. Artinya, si terjajah, tidak pernah sepenuhnya berada di bawah kendali si penjajah. Menurut dia, selalu ada celah dalam relasi antara keduanya (slipage). Dalam konteks film The Mission ini adalah proses negosiasi yang terjadi antara “si merah” dengan “si putih” itu.

Berbagai stereotipe yang berada di seputar orang-orang Waunana itu adalah, menurut Bhaba, sebuah strategi wacana yang membekukan “yang lain” atau si liyan (convenent othering). Karena dalam sebuah wacana kolonial selalu ada konsep “fixity” yang menjadi salah satu dasar dalam konstruksi ideologi tentang yang lain. Oleh karena itu dengan adanya “fixity” itu, maka dibutuhkan sebuah stereotipe yang sifatnya ambivalens. Artinya, stereotipe ini bisa menjadi celah juga bagi si terjajah untuk melawan, contohnya dengan bernegosiasi atau dengan mimikri (meniru tetapi tidak sempurna/ sebuah momen ketidakpatuhan).

Dengan adanya stereotipe-stereotipe di kepala orang-orang kulit putih itu tentang orang-orang kulit merah ini, maka dengan mudah terbentuk sebuah wacana kolonial. Dengan stereotipe, si colonizer dan colonized memiliki gambaran serta fantasi yang sama. Si colonizer akhirnya dapat membekukan “yang lain” dalam sebuah imaji, yang mungkin saja terancam oleh perbedaan ras, warna ataupun budaya. Intinya, stereotipe itu adalah sebuah representasi palsu dari sebuah kenyataan yang terberikan, ia adalah bentuk yang dibekukan, representasi yang dipapatkan, untuk menolak adanya perbedaan, untuk menolak “si liyan”. Dalam konteks film The Mission, stereotipe-stereotipe di seputar orang-orang Waunana ini telah menjadikan mereka “si liyan” dan tetap membuat orang-orang Waunana ini berada di ranah pinggir, walau ada momen-momen slipage yang bisa saja muncul ketika mereka ingin berteriak.


Sedikit Penutup

Secara sederhana, potret “dapur” film The Mission ini ingin berbicara soal ketidaksetaraan, yang masih saja terjadi hingga sekarang, walau film ini dibuat pada tahun 1986. Imaji-imaji romantis yang menggelayuti Roland Joffe, seorang sutradara yang memang senang menggarap tema-tema yang berada di negeri jauh dari tempat tinggalnya, seperti The Killing Fields (1984) tentang pembantaian Polpot, dan City of Joy (1992) tentang salah satu kota miskin di India, tampaknya bisa menjadi semacam gambaran pandangan orang Barat secara umum terhadap negeri Timur. Yang menurut said, bagaimana “the Orient” ini dikonstruksi oleh pemikiran Barat.

Lewat film the Mission ini, Joffe mungkin saja ingin mengingatkan kembali potret buram kolonialisme orang-orang Eropa terhadap orang-orang Indian pada abad 18. Dan mungkin saja ia mengharapkan ada semacam refleksi sesudahnya ketika orang-orang menyaksikan film garapannya itu. Tetapi, sepertinya paradigma-paradigma Orientalisme yang sudah mendarah daging dikonstruksi oleh para sastrawan, filosof, politikus serta para Orientalis ini, sulit didekonstruksi dari ranah sadar bahkan ketidaksadarannya, serta para kru filmnya. “Dapur” dari film inilah yang bisa berbicara mengenai hal itu. Ucapan Joffe lah yang secara implisit menegaskan paham Orientalisme itu, yaitu dengan menyebut setiap orang-orang Waunana itu sebagai “the Indians” bukan sebagai seorang aktor, padahal tanpa mereka, tidak mungkin Robert De Niro atau Jeremy Irons bisa berakting dengan baik, dan tidak mungkin The Mission mendapatkan berbagai penghargaan itu, jika tanpa didukung oleh aktor-aktor Waunana yang bermain sangat natural itu.


Referensi

Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, Helen Tiffin, Post-Colonial Studies: The Key Concepts     Second Edition, London and New York: Routledge, 2007.
Bhabha, Homi K, The Location of Culture, London and New York: Routledge, 1994.
Said, Edward, Orientalism, London: Penguin, 1977.

Referensi film :
Behind the Scene Film The Mission, Omnibus, sutradara Robin Lough, BBC TV Production, 1986.
The Mission, sutradara Roland Joffe, produksi Warner Bross, Goldcrest & Kingsmere, 1986.



[1] Menurut sebuah LSM internasional Survival, yang berbasis di London, Inggris, Orang Waunana bersama dengan Orang Embera adalah orang-orang yang semakin terpinggirkan, dan semakin terisolasi, karena sejak 1983, pemerintah Kolombia melulu melakukan percobaan untuk mengintegrasikan lokasi tempat mereka tinggal dalam cetak biru perekenomian nasional, yang secara umum dimaksudkan untuk mengeksploitasi kekayaan mineral alam yang ada di situ, seperti emas, platinum dan bauksit.
[2] Roland Joffe, sutradara The Mission, serta David Putnam, produser film ini berasal dari Inggris Raya. 

Comments

didiek munasdi said…
Very good and smart analysis... proficiat

Popular posts from this blog

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.