Skip to main content

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film.

Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal.

Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil.

Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.


Film ini diawali oleh petikan kalimat dari Nikos,

"The dual substance of Christ-the yearning, so human so superhuman, of man to attain God... has always been a deep inscrutable mystery to me. My principle anguish and source of all my joys and sorrows from my youth onward has been the incessant, merciless battle between the spirit and the flesh...and my soul is the arena where these two armies have clashed and met."


Pertempuran batin antara yang badaniah serta rohaniah ini tampaknya memang menjadi kegelisahan utama film ini. Sebuah pertempuran spiritual Nikos, ketika ia memaknai tokoh Yesus.

Dalam kisah Injil yang ditulis serta diwartakan secara turun temurun oleh Gereja, Yesus adalah seorang tokoh yang amat bersih, baik secara badaniah serta rohaniah. Injil menggambarkan, Yesus sebagai manusia yang berada diatas manusia lainnya (ukuran salah satunya adalah dosa, Injil menggambarkan bahwa Yesus  benar-benar bersih dari dosa ), Ia  dikatakan sebagai Anak Allah, Messias (penyelamat), pewaris kerajaan Allah, dan bahkan Ia dikatakan sebagai Tuhan itu sendiri. Dengan predikat seperti itu, Yesus, dikabarkan oleh Injil, sebagai seseorang yang tidak mungkin tergoda oleh apapun, baik oleh oleh godaan ‘daging’ ataupun Setan sekalipun.

Sementara itu, dalam film ini, segala kabar serta dogma yang sudah tertulis itu, 'diobrak-abrik'. Diceritakan bahwa Yesus selalu mengalami pertentangan batin menghadapi berbagai panggilan-panggilan tak berwujud yang menyatakan bahwa dirinyalah yang akan menjadi Messias. Beberapa kali Yesus juga mengalami pergolakan batin, tentang takdir penderitaan yang harus ditanggung oleh seorang Messias.  Berkali-kali Ia menafsirkan soal visi-visinya akan salib, sebagai tanggung jawab untuk membuat salib, bukan sebagai seseorang yang harus menanggung salib itu.

Dalam film ini juga diceritakan tentang Yudas Iskariot dari sisi yang sangat berbeda. Yudas Iskariot yang selama ini dimitoskan oleh Injil sebagai seorang pengkhinat, justru dikisahkan sebagai seorang pahlawan. Ia diceritakan sebagai rasul Yesus yang paling berani, dan rela melakukan apa saja demi Guru nya itu.

Pertentangan-pertentangan batin yang dialami Yesus itu rupanya tidak hanya terjadi di awal-awal saat Ia akan memulai perjalanan spritual serta missi pembebasannya. Pertentangan antara keinginan ‘daging’ serta keinginan surgawi itu terus membuntuti Yesus, bahkan sampai Yesus terpaku di Salib. Rasa sakit yang  sudah tidak tertahankan lagi, membuat Yesus mendengarkan kata-kata seorang anak kecil yang tiba-tiba muncul di bawah salib, dan mengaku sebagai Malaikat utusan Tuhan. Dituntun oleh anak itu, Yesus pun turun dari Salib, setelah paku-paku yang ada di tangan dan kaki, serta mahkota duri di kepalanya, dlepaskan secara ajaib oleh anak itu.

Sesudah turun dari salib, Yesus lalu mengalami dan memaknai kemanusiaannya. Ia menikah dengan Maria Magdalena, ia juga mengawini Maria serta Martha dan memiliki anak-anak dari para perempuan itu. Saat sebelum mengalami seluruh kemanusiaannya itu, Yesus diyakinkan oleh si anak bahwa dia bukanlah Sang Messias, bahwa ia ditakdirkan untuk menjadi manusia biasa.

Keyakinan itulah yang membuatnya menjalani hari-harinya sebagai manusia biasa dengan baik-baik saja. Apalagi sosok anak kecil yang diyakini oleh Yesus sebagai Malaikat itu selalu hadir di sisinya. Sampai suatu ketika, saat Yesus sudah menua dan sepertinya maut akan menghampiri, Ia kedatangan mantan rasul-rasulnya, Petrus, Nathaniel dan Yudas Iskariot. 


Ketika Yudas meneriakkan kata pengkhianat kepada Nya, Yesus pun seperti tersadar. Yudas yang merasa dikhianati oleh Yesus, karena Yesus sendirilah yang memaksa dirinya melakukan pengkhianatan dengan menyerahkan Yesus kepada para Imam Agung, tidak mampu menahan kemarahannya. Ia merasa, Yesus, Guru, Rabbi yang begitu ia hormati dan sayangi, telah melarikan diri dari tugas penyelamatan.  


Rasa kecewa Yudas itulah yang menyadarkan Yesus. Pada momen itu juga, Yudas membuka mata hati Yesus untuk melihat siapakah diri si anak kecil  yang selama ini Ia anggap sebagai malaikat. Ternyata Lucifer sendiri lah yang mewujudkan dirinya sebagai anak itu. Lucifer yang datang kembali untuk menggenapi janjinya kepada Yesus, bahwa mereka akan bertemu lagi  karena kegagalannya saat menggoda Yesus di bukit gurun.

Kesadaran itu, membuat Yesus begitu kaget dan tersedu memohon kepada Bapanya di surga untuk menarik kembali semua kewajaran kemanusiaannya itu, dan mengembalikan tugas suci Nya melakukan karya penebusan.

Di tengah sedu sedan Yesus itu, waktu pun berputar kembali, dan Yesus pun kembali berada di tiang salib. Saat menjelang kematiannya, ia berteriak “It is accomplished.” Bersamaan dengan itu juga,  film The Last Temptation of Christ selesai.

Pemaknaan personal Nikos tentang tokoh Yesus ini, merupakan kegelisahan personal Nikos  atas pertempuran batinnya yang selama ini mengenal Yesus sebagai yang 'immortal', dengan kemanusiaan (yang dialami dan dimaknai) oleh Nikos. Kegelisahan Nikos ini, persis seperti yang saya rasakan selama ini.

Seperti Nikos, saya merasakan bahwa ke-Ilahian Yesus adalah sebuah misteri. Bahkan bagi saya sendiri, Yesus adalah sebuah misteri. Semenjak saya mengenal kata, saya sudah diajarkan tentang Yesus yang tanpa dosa, dan Yesus yang Anak Allah. Tidak pernah diceritakan, tentang Yesus yang manusia, Yesus yang wajar-wajar saja seperti manusia lainnya.

Namun seiring dengan bertambahnya usia, dan perkenalan saya dengan berbagai sumber ilmu pengetahuan, saya makin sering bertanya, dan semakin ragu tentang kisah-kisah dalam Injil itu. Yang saya tahu, bahwa segala Kitab, termasuk Injil adalah manuskrip yang dikisahkan oleh seseorang. Dan seseorang itu dengan pengetahuannya, menulis hasil interpretasinya dengan beragam tujuan dan kepentingan.  Dan beruntunglah para penutur kisah-kisah tersebut. Mereka berada di jaman dan tempat yang tepat, saat kisah-kisah yang ditulisnya itu, dianggap sebagai sesuatu yang benar, dan hingga kini ditahbiskan menjadi dogma.

Namun, ada satu rasa pada diri saya yang dari dulu hingga kini semakin besar pada tokoh Yesus ini. Apalagi setelah saya merefleksi The Last Temptation of Christ ini. Rasa itu adalah kekaguman.

Yang saya rasakan dan maknai adalah,  “kegilaan”  Yesus yang begitu menginspirasi. Pada jamannya, ia begitu berani bicara tentang sesuatu yang sungguh berbeda dan begitu kontroversial. Ia juga mampu memberikan harapan bagi banyak orang (bangsa Yahudi) yang saat itu terjajah oleh Romawi. Harapan inilah yang telah membuat penguasa Roma serta antek-anteknya menjadi kecut. Sebuah kekecutan yang cukup beralasan, karena lelaki kurus bohemian bernama Yesus itu, dengan kata-kata dan kemampuan diplomasinya,  mampu menggetarkan massa Israel untuk berani berharap dan bergerak untuk sebuah perubahan.

Yang membuat saya amat terinspirasi oleh film ini adalah sisi kemanusiaan Yesus yang begitu tergambar jelas. Refleksi personal Nikos soal Yesus, yang kemudian diadaptasi oleh Scorsese itu, justru makin membuat saya mengagumi tokoh Yesus ini.

Di tengah kegalauannnya, antara panggilan hati yang terus berteriak, ketakutannya bahwa ia tidak mungkin bisa menanggung beban “Messias” seberat itu, atau insting-insting naluriah Nya sebagai lelaki, Yesus pada akhirnya mampu mengatasi itu semua. Ia akhirnya mampu menyelesaikan obsesi Ilahi yang juga (mungkin saja) adalah obsesi batinnya sendiri. Sebuah pencapaian yang memuaskan untuk Bapanya, juga untuk dirinya sebagai manusia.

Ini adalah salah satu petikan dialog antara Yesus dan Yudas Iskariot dalam The Last Temptation of Christ yang sungguh menginspirasi saya.

Judas (J): Rabbi, can I talk to you? I'm not like these other men.
I mean, they're good enough,they're good men. But they're weak. One's worse than the other. Where'd you find them?
Jesus (Y): Look at me. 
J: If I love somebody, I would die for them.
If I hate somebody, I'd kill them. I could even kill somebody I loved
if they did the wrong thing. 
Y: Did you hear me? Do you understand what I said. 
J: Yes, I understand. The other day you said, if a man hit you,
you'd turn the other cheek. I didn't like that. Only an angel could do that, or a dog. I'm sorry but I'm neither. I'm a free man. I don't turn my cheek to anyone. We both want the same thing.
Y: We do?
J: Do you want freedom for Israel?
Y: No.
Y: I want freedom for the soul.
J: No. That's what I can't accept.That's not the same thing! First you free the body, then the spirit. The Romans come first. You don't build a house from the roof down but from the foundation up.
Y: The foundation is the soul.
J: The foundation is the body. That's where you must begin.   
Y: If you don't change the spirit first, change what's inside...then you'll only replace the Romans with someone else, and nothing changes. Even if you're victorious you'll still be filled with the poison. You've got to break the chain of evil.
J: How do you change then?
Y: With love.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude