Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2011

Review Film: New York I Love You

Kalau saya tinggal di New York mungkin saya akan mengalami hal yang sama seperti para tokoh dalam film New York I Love You, ....tapi bisa jadi tidak. Mungkin saja hidup saya akan berjalan dengan hambar-hambar saja, plain, tidak ada romantisme soal pencarian atau kehilangan. Bisa saja saya akan mengalami kemalangan luar biasa, dan pada akhirnya membenci habis-habisan kota yang katanya tidak pernah tidur itu.  Kalau saya boleh memirip-miripkan, New York mungkin saja agak sedikit mirip dengan Jakarta. Sibuk, selalu hidup, melting pot, banyak pertemuan, banyak perpisahan, banyak kisah yang rumit dan banyak juga yang sederhana. Harapan, skeptisisme, keacuhan, individualistis, ketidakpercayaan, kegelisahan, sedikit banyak jadi semacam karakter para penghuninya. Semua bercampur, bergerak dalam dinamisme, dan mengalur membentuk kisahnya masing-masing, walau pada akhirnya benang merahnya cuma satu, yaitu tentang bagaimana hidup di kota yang tidak pernah tidur.  Ini mungkin yang kurang lebih say

Review Film: Julie and Julia

Menonton film ini, mengingatkan akan diri saya sendiri. Jargon sederhananya adalah, “krisis perempuan jelang usia 30”, atau kalau dalam bahasa SMS yang saya forward ke kawan baik perempuan saya sebaya, “women toward 30 crisis” :p. Saya merasa seperti si tokoh bernama Julie (Amy Adams), walau dalam banyak hal sangat berbeda, tetapi konflik-konflik yang ia alami kurang lebih mirip dengan yang saya rasakan.  Julie, perempuan yang belum lama menikah dan hampir berusia 30, bekerja pada sebuah lembaga pemerintah yang membosankan, dan merasa tidak pernah tuntas menyelesaikan apapun yang ia rasa menjadi passion dalam hidupnya. Nah ini pointnya yang saya rasa amat mirip dengan saya. Tidak pernah tuntas!!!  Julie yang sempat bekerja pada sebuah lembaga penerbitan, bercita-cita menjadi penulis. Ia sempat hampir akan menghasilkan sebuah novel, tapi lagi-lagi penyakit yang menjangkitinya (yang juga sama seperti saya) ia tidak pernah menyelesaikan novel itu.  “Penulis baru dibilang penulis kalau ia

Review Film: Full Metal Jacket

"In a world of shit, I am glad to be alive, and is unafraid", kurang lebih jika dibahasaIndonesiakan menjadi "dalam dunia yang hancur dan tidak bersahabat ini, saya senang masih bisa bertahan hidup dan tidak takut menghadapinya,". Apalagi jika dunia yang dibicarakan adalah dunia perang dimana kemanusiaan menjadi begitu banal. Cuplikan kalimat dalam film garapan Stanley Kubrick itu adalah penggalan dialog menjelang akhir film yang diucapkan oleh salah seorang tokoh bernama Joker (Matthey Modine).  Film perang bersetting perang Vietnam itu adalah adaptasi dari sebuah novel The Short Timers karya Gustav Hasford. Seperti layaknya film perang, film ini penuh dengan adegan, yang jujur saja, tidak benar-benar saya nikmati. Darah dimana-mana dan kehancuran menjadi frame-frame utama dalam film ini. Yang menarik ketika menyaksikan film ini adalah, seperti ada pesan yang ingin disampaikan.  Plot ceritanya si (menurut saya) sederhana saja. Berangkat dari adegan para kadet ba

Review Film: Mary and Max

Saya pernah membayangkan punya seorang sahabat pena di negeri yang jauh. Lalu kami berkorespondensi secara aktif, sambil bertukar kata soal perbedaan, soal persamaan, perasaan serta mungkin berbagi coklat atau es krim dari masing-masing negeri. Tapi sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Kawan pena saya yang paling lama, hanya bertahan dua kali pengiriman surat. Alasannya, karena tiba-tiba saja saya jadi malas membalas surat-surat itu.  Hmmm, hingga saat ini saya masih senang membayangkan hal itu. Pasti seru, karena thrill nya menunggu balasan surat dari orang yang entah di negeri seperti apa, atau seperti apa rupanya. Tapi mungkin sulit ya membayangkan itu dilakukan pada masa ini, masa di mana dunia semakin sempit dan jarak juga waktu bisa dicapai dengan sebuah ibu jari.   Ini seperti ketika saya melihat Mary and Max, sebuah film dari tanah liat (clay) yang berdasar dari sebuah kisah nyata. Sebuah kisah persahabatan yang begitu menyentuh, yang terjalin lewat pena. Lucu, ringan, sederh

Review Film: Dog Day Afternoon

Ini adalah salah satu film terbaik Al Pacino (subjektif menurut saya). Film yang sederhana, cuma soal perampokan bank yang dilakukan hampir tiga hari, karena mereka (para perampok) ini mau tidak mau harus menyandera para pegawai bank itu.  Sederhana, karena film ini hanya berisi cerita perampokan serta penyanderaan itu. Dan hebatnya, alur yang sederhana itu tidak membuat saya tertidur. Kisahnya dari sebuah kisah nyata, soal seorang lelaki bernama Sonny Wortzik (Pacino) yang begitu putus asa karena benar-benar membutuhkan uang dalam waktu dekat, nekat mengajak kawannya Sal (John Cazale) merampok bank.  Perampokan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak profesional ini pun, tidak berlangsung mulus dan akhirnya baunya tercium hingga ke Kepolisian Kota yang segera mengirimkan puluhan pasukannya untuk memblokade bank yang tidak tergolong besar itu.  Panik dan bingung harus melakukan apa, Sonny dan Sal pun memutuskan untuk terus menyandera para pegawai bank itu hingga keinginan mereka d

Review Film: I'm Not There

Saya tidak terlalu familiar dengan lagu-lagu milik Bob Dylan. Hanya ada satu lagunya berjudul Like A Rolling Stones yang sempat 'nyantol' di kepala karena ada sebuah film yang menggunakannya sebagai soundtrack.  Ketika kuliah dulu, saya sempat punya CD nya, tetapi tidak terlalu saya simak dan hanya saya dengar sambil lalu karena banyak nada-nada yang Dylan mainkan agak tidak sepaham dengan kuping saya. Sekarang entah kemana CD itu.  Sebelum akhirnya menonton film yang berkisah soal kisah hidup pencipta lagu dan penyanyi Bob Dylan yang kebanyakan lagunya adalah puisi yang bernarasi, saya sudah sering mendengar film ini. Apalagi ada aktris Cate Blanchett, yang kebetulan salah satu aktris favorit saya, memainkan salah satu karekter Dylan dalam film ini.  Ini jadi amat menarik bagi saya, karena seorang perempuan menjadi dan melebur dalam karakter laki-laki si penyanyi eksentrik itu. Ini adalah sesuatu yang sangat orisinil dan baru buat saya. Maka ketika salah seorang kawan mengaja

Review Film: Across The Universe

Saya sempat menangis melihat film ini, ketika lagu "Let It Be" dinyanyikan, saya juga tertawa-tawa dan ikut menyanyi ketika "Come Togehter" muncul, apalagi visualisasinya amat menyenangkan karena Joe Cocker menjadi tiga karakter yang berbeda di situ.  Saya juga sempat senyum-senyum sendiri ketika "With a Little Help From My Friend" dinyanyikan...yeahhh.."i get high with little help from my friend...". Juga, sempat hampir menangis lagi ketika "All My Loving" dinyanyikan Jim Sturgess..."close your eyes and I kiss you, tommorow i miss you, remember I always be true"...wow. Dan yang paling mengagetkan adalah ketika Dr Robert..."the BONO" himself menyanyikan "Im the Walrus"...wow....superbfuntastic.  Yang saya ingat sepanjang melihat film ini adalah selalu menyanyi dan menyanyi. Kalau pernah melihat Fryda tentu hapal betul dengan gaya Julie Taymor sang sutradara. Banyak gambar-gambar surealis yang ditampilkan d

Dialog Pasar Rakyat

Ada banyak dialog terjadi di pasar rakyat. Dialog antar pedagang dan pembeli, dialog antar warga kota dengan ruang publiknya, dialog antar kawan, juga dialog antar masing-masing anggota keluarga. Ruang dialog yang diciptakan itu menjadi semacam ajang pertemuan yang tidak terjadi setiap hari. Sebuah ruang yang tercipta karena kini, ruang-ruang publik menjadi semakin mahal serta terhimpit oleh arus modernisasi.  Selain menjadi tempat bertemu, pasar rakyat berkembang menjadi semacam arena dengan fungsi-fungsi tertentu. Ia bisa berfungsi ekonomis, sosial juga sebagai arena hiburan bagi masing-masing warga kotanya. Di pasar rakyat ada obrolan, baik lewat kata atau gerak tubuh. Semua berbagi keriaan serta kesederhanaan. Tidak peduli siapa, lansia, remaja, orang tua, balita, kaum metroseksual, gelandangan, sampai bangsawan, semua yang hadir di arena itu melebur menjadi kelas yang sama, ‘rakyat’. Salah satu pasar rakyat yang telah menjadi agenda rutin sebuah kota adalah Pasar Sekaten. Sebuah

Belajar Mencintai Manusia dan Kemanusiaannya

Bagi saya, melihat televisi akhir-akhir ini adalah sebuah aktifitas yang berujung pada rasa risau sekaligus penasaran. Ketika menekan remote control yang akan muncul di layar adalah sinetron tidak berisi, reality show tidak real atau berita-berita kekerasan yang sudah seperti infotainment, terus diulang dan dibalut berbagai komentar yang provokatif serta membuat panas kuping, juga hati. Walaupun demikian, seperti layaknya berita-berita selebritis, pada saat bersamaan tayangan-tayangan itu memunculkan rasa ingin tahu. Atau mungkin ungkapan yang lebih tepat, ‘mengusik perasaan’.  Sebut saja pemberitaan yang masih segar di ingatan, yaitu penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Dusun Cikeusik, Banten, perusakan dan pembakaran Gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Juga berbagai peristiwa kekerasan yang secara sporadis terjadi di negeri ini, seperti bentrok antar Satpol PP dengan sejumlah masyarakat di makam Mbah Priok, Jakarta Utara ataupun bentrok mahasiswa dengan aparat di Makasar. Selain g