Skip to main content

Belajar Mencintai Manusia dan Kemanusiaannya

Bagi saya, melihat televisi akhir-akhir ini adalah sebuah aktifitas yang berujung pada rasa risau sekaligus penasaran. Ketika menekan remote control yang akan muncul di layar adalah sinetron tidak berisi, reality show tidak real atau berita-berita kekerasan yang sudah seperti infotainment, terus diulang dan dibalut berbagai komentar yang provokatif serta membuat panas kuping, juga hati. Walaupun demikian, seperti layaknya berita-berita selebritis, pada saat bersamaan tayangan-tayangan itu memunculkan rasa ingin tahu. Atau mungkin ungkapan yang lebih tepat, ‘mengusik perasaan’. 

Sebut saja pemberitaan yang masih segar di ingatan, yaitu penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Dusun Cikeusik, Banten, perusakan dan pembakaran Gereja di Temanggung, Jawa Tengah. Juga berbagai peristiwa kekerasan yang secara sporadis terjadi di negeri ini, seperti bentrok antar Satpol PP dengan sejumlah masyarakat di makam Mbah Priok, Jakarta Utara ataupun bentrok mahasiswa dengan aparat di Makasar. Selain gambar-gambar tidak menyenangkan yang terus diulang, berbagai diskusi, talk show serta narasi turut serta dimunculkan di seputar peristiwa itu. Tetapi bukan gambar-gambar kekerasan atau narasi-narasi itu yang paling membuat saya terusik. Fakta bahwa sekelompok manusia, yang katanya ber-Tuhan itu, secara terang-terangan telah membunuh kemanusiaannya sendiri saat melakukan berbagai tindak kekerasan tersebut. Misalnya, membunuh tiga anggota jamaah Ahmadiyah ataupun merusak serta membakar Gereja dengan mengatasnamakan Tuhan. 

Tumpul Kemanusiaan 

Berdamai dengan kekerasan adalah salah satu cara untuk bisa bertahan hidup di negeri ini. Di negeri yang sedang berjuang mencari bentuk paling pas dari sistem pemerintahan serta bernegaranya. Pencarian bentuk yang sekarang memasuki tahap transisi, dimana dibutuhkan begitu banyak pengorbanan serta sikap biasa terhadap segala bentuk kekerasan. Berbagai bentuk kekerasan itu tidak hanya seputar masalah agama. Dalam banyak aspek kehidupan masyarakat di lingkup terkecil pun, kekerasan sepertinya sudah menjadi hal yang biasa. 

Jika ada yang memberi cubitan, menyinggung perasaan atau hanya sekedar berbeda pendapat, kemarahan mudah sekali tersulut. Jika sudah tersulut, pihak yang sedang marah itu-pun merasa dibenarkan ketika melakukan tindakan merusak. Misalnya, jika ada warga dari RT lain yang mengganggu kawan satu RT, maka solusinya adalah memobilisasi massa, membakar amarahnya lalu beramai-ramai melempar batu. Jika ada yang mencoba bersikap kritis dan mengekspresikan dalam bentuk tulisan atau sekedar ucapan, maka yang tersinggung merasa sah-sah saja memukuli orang itu. Dan jika ada yang punya keyakinan berbeda serta berusaha mengamini keyakinannya terhadap semesta, maka wajar saja untuk merasa terancam dan menghabisi orang-orang yang dianggap mengancam itu. 

Salah satu cara untuk berdamai dengan kekerasan adalah pelan-pelan menumpulkan rasa kemanusiaan kita. Untuk menjadi tumpul, maka kita harus terus-menerus memborbardir diri melihat dan membiasakan diri dengan berbagai tindakan kekerasan. Ini rupanya yang sedang terjadi di negeri ini. Penumpulan hati nurani, penumpulan rasa kemanusiaan. Negara adalah salah satu agen yang bertanggung jawab terhadap penumpulan itu. Baik secara sadar ataupun tidak, negeri ini, lewat institusi negara, telah secara sistematis mengedukasi warganya untuk melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Telah sejak lama negara melakukan pembiaran terhadap berbagai penindasan yang dilakukan mayoritas terhadap minoritas. Premanisme tumbuh subur dimana-mana. Dan salah satu yang membuat warga negeri ini pelan-pelan lupa akan kemanusiaannya sendiri adalah adanya intervensi negara terhadap ruang-ruang privat warganya. Misalnya saja, negara turut campur dalam urusan keyakinan dan keagamaan seseorang hingga urusan kamar tidur. Intinya, sebagai warga negeri ini, kita harus mau menjadi manusia-manusia “lurus” dan kompromis. Jika kita mau megambil jalan berbeda, maka konsekuensinya dicap PKI, kafir atau imoral. 

Pendidikan Kemanusiaan 

Sedari kecil, anak negeri ini tidak pernah benar-benar diajari untuk menyadari kemanusiaannya. Yang melulu diajarkan adalah sebuah kebenaran absolut yang tidak bisa dibantah di dunia ini. Bahwa manusia akan menjadi sempurna ketika ia ber-Tuhan dan mencintai Tuhannya. Saya tidak mengatakan bahwa mencintai Tuhan adalah hal yang salah dan tidak perlu dilakukan. Tetapi sangat disayangkan jika cinta kepada Tuhan dimaknai begitu sempit. Sebuah pemaknaan banal bahwa ketika mencintai Tuhan, maka tindakan apapun benar dilakukan, sekalipun itu menyakiti orang lain. Padahal, “Tuhan tidak perlu dibela”, ucap Gus Dur suatu ketika. Dan saya pikir, Gus Dur ada benarnya, karena Tuhan Maha Kuasa, jadi untuk apa membela sesuatu yang sudah begitu berkuasa. 

Pemaknaan yang sempit tentang cinta kepada Tuhan, serta tidak terasahnya rasa kemanusiaan pada diri seseorang itu terjadi karena luputnya pendidikan tentang kemanusiaan dari kurikulum sekolah, juga dalam keluarga. Yang menjadi titik berat adalah pendidikan ilmu pasti serta diluar itu prioritasnya adalah pendidikan agama. Dalam pendidikan agama itu pun yang dibedah hanya agama yang dianut si murid, bukan penjabaran dan pembedahan berbagai agama yang ada. Seharusnya, untuk menciptakan sebuah reproduksi makna yang luas, sedari kecil seseorang harus dibuka cakrawala berpikirnya. Pengetahuan tentang berbagai agama serta kepercayaan yang ada di Nusantara juga seluruh dunia. Tentang sejarah dan perkembangannya, juga tentang bagaimana setiap umat beragama dan kepercayaan memiliki ekspresi serta ritual yang berbeda. 

Selain pengetahuan tentang agama-agama secara inklusif, sedari kecil rasa kemanusiaan juga harus diasah. Tentang kepekaan terhadap orang lain, sikap bertoleransi, mau menerima perbedaan, serta mau mendengar hati nurani. Pengetahuan bahwa seorang manusia tidak hidup sendiri di dunia juga harus terus ditanamkan. Pengertian akan hal ini akan membawa seseorang lebih menghargai sesama, alam dan semesta raya. Sebuah pemahaman dan pemaknaan akan hidup yang tidak melulu hitam putih.

Belajar Kemanusiaan Lewat Televisi 

Mungkin saat ini akan sulit menemukan sebuah sistem pendidikan yang benar-benar menanamkan nilai-nilai kemanusiaan pada diri seorang anak. Walau tidak berarti tidak ada sama sekali institusi pendidikan baik formal ataupun informal yang berusaha melakukan hal itu. Tetapi tentu itu tidak mayoritas di negeri ini. Yang perlu dicermati sekarang adalah, fakta bahwa selain dididik oleh lembaga formal seperti sekolah, masyarakat negeri ini praktis dididik oleh media massa, terutama televisi. Hampir setiap rumah tangga mampu mengakses media ini. Malah mungkin bisa dikatakan, tidak lengkap sebuah rumah tanpa kehadiran televisi. Sifatnya yang mudah, murah, dan menghibur, membuat televisi begitu terjangkau di tengah masyarakat negeri ini. Untuk melihat televisi, seseorang tidak memerlukan banyak aktifitas otak untuk berpikir juga fisik. Berbeda ketika harus membaca koran, majalah atau buku. Seseorang akan menjadi penonton pasif, karena ia tinggal duduk dan menekan tombol saluran. 

Dengan berbagai potensi ini, televisi menjadi salah satu media massa yang turut membentuk cara berpikir dan cara pandang masyarakat. Oleh karena itu, media televisi harusnya menyadari betapa besar tanggung jawab moral mereka untuk memproduksi program-program yang kritis dan edukatif. Sayangnya, tanggung jawab besar yang dipanggul oleh media televisi ini belum benar-benar disadari oleh banyak praktisi televisi. Kebanyakan acara-acara yang ditayangkan adalah, acara-acara ‘cepat saji’. Acara yang sifatnya hanya menghibur dan tidak bernutrisi ke otak dan rasa-rasa kemanusiaan kita. Bahkan banyak juga acara-acara yang sifatnya provokatif dan menciptakan narasi-narasi tidak menentramkan. 

Sehingga sudah saatnya, media televisi benar-benar sadar akan potensi dan tanggung jawab moral yang mengikutinya itu. Jangan melulu menyalahkan masyarakat, bahwa apa yang ditayangkan adalah apa yang diinginkan oleh masyarakat, “mengikuti selera pasar” ucap para praktisi televisi. Padahal, masyarakat hanya menerima apa yang sudah diberikan. Dan hampir semua stasiun televisi menayangkan acara-acara serupa, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan tontonan yang variatif. 

Jadi, rasanya tidak adil jika masyarakat negeri ini tidak pernah diberi asupan-asupan nutrisi baik ke kepala mereka, hanya karena media televisi tidak mau berepot-repot memproduksi acara yang edukatif dan menjadi teman belajar masyarakat tentang nilai-nilai kemanusiaan. Paling tidak, jika media televisi beramai-ramai menyadari potensi serta tanggung jawabnya itu, masyarakat negeri ini memiliki alternatif pendidik selain lembaga formal. Dan dengan membombardir masyarakat, yang masih mencintai budaya-budaya visual ketimbang budaya literer, dengan berbagai tayangan yang tidak melulu repetitif, dramatis serta jauh dari kenyataan hidup sehari-hari, media televisi tentu dapat menjadi agen peubah di masyarakat. Sebuah masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia seimbang, manusia yang mencintai Tuhan juga mencintai manusia dan seluruh aspek-aspek kemanusiaannya.

Comments

bayu said…
begitulah media.....tak jauh dari rating dan iklan. rasa dan kemanusiaan ndak bisa didapat dari bertualang di national geographi, tapi merasakan sendiri pasir laut dibawah kaki dan berbincang sampai jauh malam di kopi joss...menurut saya

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.