Skip to main content

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html
Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus.

Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri.

Siapakah Diane Arbus ?

Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude Russek dan David Nemerov, seorang pemilik Department Store. Kakaknya adalah seorang penulis dan kritikus sastra bernama Howard Nemerov[1].

Diane mulai menggeluti dunia fotografi secara profesional ketika ia bersama Allan Arbus suaminya ketika itu, memotret untuk iklan-iklan Departement Store milik keluarga Diane. Dari situ, ia akhirnya bekerja secara freelance untuk Harper’s Bazar, Show, Esquire, Glamour, The New York Times dan Vogue. Masa itu, Diane sempat mempelajari fotografi secara lebih serius dari Berenice Abbot[2], sebelum akhirnya bertemu dengan Lissete Model[3], seorang fotografer documentary, yang memperkenalkannya pada ranah fotografi yang berbeda dari ranah fashion. Perkenalannya dengan Lissete membuat Diane masuk ke dalam ranah fine-art.

Karir foto Diane makin berkembang ketika pada 1960, untuk pertama kali Esquire mempublikasikan karya foto essay miliknya. Kemudian pada tahun 1963-1966, Diane menerima beasiswa Guggenheim untuk bergabung dalam proyek American Rites, Manners and Customs. Pada periode ini, Diane sering menggunakan kamera medium format ketika membidik subjek fotonya.

Diane terkenal dengan subjek foto yang secara sosial dan kultural berada dalam garis tepi kenormalan. Orang-orang nudist,[4] transgender, orang-orang cebol serta orang-orang yang secara mental dan fisik (dianggap) cacat oleh masyarakat. Teknik foto dengan lampu flash serta membidikan medium formatnya sejajar dengan si subjek adalah salah satu hal yang membuat foto-foto Diane terkesan sureal dan sangat teaterikal. Kesejajaran ini membuat mata si subjek menatap langsung pada kamera.

Keintiman dengan subjek foto adalah hal yang begitu saya rasakan ketika melihat foto-foto karya Diane. Inilah yang membut saya begitu menikmati perjalanan ke dalam karya foto Diane. Diane seperti merasakan apa yang dirasakan oleh subjek fotonya. Ada empati luar biasa dalam foto-fotonya itu. Namun rupanya banyak juga yang terganggu dengan keintiman ini. Menurut sebagian yang terganggu, Diane seperti seorang pengintip (voyeurist) yang secara sengaja dan “kurang ajar” mengintip kehidupan personal orang-orang yang menjadi subjek fotonya.

Lalu pada 1971, dengan sangat tragis Diane bunuh diri, namun Diane dan karyanya tidak terlupakan. Pada 1972 karya-karyanya dipamerkan di Venice Biennale serta Museum of Modern Art, dan hampir 30 tahun kemudian, yaitu pada 2003, San Francisco Museum of Modern Art memamerkan karyanya. Sebuah buku yang menjadi pendamping pameran berjudul Diane Arbus Revelation juga turut diterbitkan. Pada tahun 2007, arsip-arsip komplit milik Diane Arbus, termasuk berbagai perlengkapan fotografi, buku harian, serta 7500 roll film negatif, akhirnya disumbangkan kepada Metropolitan Museum of Art di New York.[5]

New York Yang Eksentrik

Tidak bisa dipungkiri, New York[6] adalah salah satu yang menginspirasi Diane. Latar belakang keluarganya yang berasal dari kalangan berkecukupan, membuat Diane memiliki banyak akses untuk bisa masuk ke berbagai kalangan di kota yang sering disebut sebagai “The Big Apple” itu. Hal itu adalah salah satu yang membuat Diane bisa bertemu dengan beragam manusia, baik kalangan atas, sosialita atau orang-orang dari kalangan biasa.

Selain itu, Diane memang seorang pribadi yang amat luwes, ia bisa bergaul dengan berbagai kalangan di kota New York.  Diane juga seringkali dengan sangat gampang berkenalan dengan orang yang baru ia temui. Dan satu hal yang amat penting adalah Diane memiliki mata yang terlatih. Ia bisa melihat yang biasa menjadi berbeda. Kadang, ketika sedang berjalan-jalan di taman kota, ia akan bertemu dengan orang-orang yang pada akhirnya akan menjadi subjek fotonya.

One summer I worked a lot in Washington Square Park...The park was divided. It has these walks, sort of like a sunburst, and there were these territories staked out. There were young hippie junkies down one row. There were lesbians down another, really tough amazingly hard-core lesbians. And in the middle were winos. They were like the first echelon and the girls who came from the Bronx to become hippies would have to sleep with the winos to get to sit on the other part with the junkie hippies... I got to know a few of them. I hung around a lot. They were a lot like sculptures in a funny way. I was very keen to get close to them, so I had to ask to photograph them. You can’t get that close to somebody and not say a word, although I have done that. (From ‘Diane Arbus, Aperture, 1972’)[7]

Entah apakah Diane beruntung, atau memang New York menyediakan berbagai hal yang begitu menarik, tetapi setiap persinggahan pada sudut-sudut kota, baik berjalan atau mengayuh sepeda, ia pasti akan bertemu dengan sesuatu. Dengan kamera medium formatnya, di kota ini, Diane seperti mampu tanpa susah payah, dengan sangat terang-terangan, menampilkan ruang-ruang jujur dari setiap subjek foto yang ia temui. 

I was riding my bicycle on Third Avenue and she was with a friend of hers. They were enormous, both of them, almost six feet tall, and fat. I thought they were big lesbians. They went into a diner and I followed them and asked if I could photograph them. They said, “Yes, tomorrow morning.” Subsequently they were apparently arrested and spent the night in jail being booked. So the next morning I got to their house around 11… The first thing they said was, “I think we should tell you” – I don’t know why they felt so obligated – “we’re men.” (From ‘Diane Arbus, Aperture, 1972’)[8]

Mungkin hal semacam ini tidak hanya ada di New York. Tetapi saat itu cuma ada satu Diane Arbus, yang kebetulan lahir dan besar di kota ini. Kakak Diane, Howard Nemerov, juga tidak jauh berbeda dengan dirinya. Howard yang seorang penulis dan kritikus sastra, juga begitu terinspirasi oleh New York. Karya-karyanya banyak yang membicarakan soal kota yang tidak pernah tidur ini. Pada tahun 1960, Diane sempat mengirim surat kepada kakaknya itu.

“I am working on something now, the eccentrics I have so long thought of, or rather people who visibly believe in something everyone doubts,and remembering A Commodity of Dreams[9]. I wondered if there were any such anywhere round your vicinity which would provide me the excuse and oppty for a visit… Any impostors, or people with incredibly long beards, or ones who believe in the imminent end of the world, or are reincarnations or keep lions in their living room or embalmed bodies or even skeletons, or have developed some special skill like a lady in Florida who is meant to eat and sleep underwater, or affect some remarkable costume or other, or collect things to the point of miserliness? Don’t trouble about it, or bother to answer, unless when you look up from the page the Messiah comes wandering out of the woods…”[10]

Diane dan Howard kerap berkorespondensi karena mereka sama-sama mengalami pojok dunia berbeda yang mereka temui di New York. Bisa jadi karena mereka sama-sama terinspirasi oleh sebuah kota yang bagi mereka berdua, menyimpan banyak hal yang sering dianggap tidak konvensional oleh masyarakat. Misalnya saja, “orang-orang yang memelihara jenggot sangat panjang, orang-orang yang percaya bahwa dunia akan berakhir pada waktu tertentu, orang-orang yang percaya pada reinkarnasi, orang yang memelihara singa di ruang tamunya, atau menyimpan mayat yang sudah dibalsem, bahkan menyimpan tengkorak di rumahnya, atau seorang perempuan yang bisa makan dan tidur di bawah air”. Hal-hal tersebut selalu dianggap berbeda oleh dunia kita. Dan mereka itulah yang sewajarnya disebut The Eccentric, atau Freaks (oleh masyarakat yang menyebut diri sebagai kebanyakan.)


http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html

Dunia Yang Berbeda Dalam Foto

Dengan kamera medium formatnya, Diane mampu membawa yang berbeda itu ke hadirat khalayak, tanpa yang berbeda ini menjadi begitu canggung. Ketika saya melihat karya foto Diane, saya tidak melihat seorang “aneh” yang sengaja difoto oleh seorang fotografer profesional. Saya tidak melihat seorang fotografer yang menganggap orang “aneh” ini sebagai objek foto yang menarik untuk ditampilkan ke khalayak. Saya tidak merasa melihat orang-orang “aneh” yang dimasukkan dalam lemari kaca untuk dipertontonkan. Tetapi saya melihat mereka berpose begitu nyaman di tempat mereka tinggal -di dunia mereka sendiri-.

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html
Ketika itu, karya-karya Diane memang menjadi tidak biasa. Apalagi karya ini muncul di Amerika pada era 1960-an hingga era 1970-an. Saat itu, di Amerika, medium fotografi sedang berkembang pesat. Kamera ketika itu dibuat makin mudah dan murah. Namun, konsep cantik yang dianggap layak untuk difoto, rupanya masih terpengaruh penggalan sisa-sisa jaman awal fotografi ditemukan. Konsep cantik dan jelek yang ditinggalkan oleh gaya foto ala jaman Victoria, belum benar-benar hilang. Orang-orang yang dianggap aneh atau freaks, adalah hal-hal yang tidak patut menjadi subjek foto. Mereka bukan subjek, mereka adalah objek yang patut dikomodifikasi, patut dipertontonkan, karena mereka objek yang laku “dijual”.

Semenjak dari awal ditemukan hingga menjadi medium yang begitu populer, fotografi memang pada ruang-ruang tertentu telah merevolusi kebudayaan manusia. Fotografi telah menciptakan banyak realitas baru dalam masyarakat kita, bahkan fotografi mampu merekonstruksi berbagai realitas yang sebelumnya tidak demikian. Salah satu yang telah diubah oleh fotografi adalah apa itu yang disebut cantik atau apa itu yang disebut jelek. Jika pernah mendengar tentang Twiggy[11] pada era 60-an hingga 70-an, maka ini bisa menjadi salah satu contoh bagaimana medium fotografi begitu ampuh membentuk realita tentang tubuh perempuan yang cantik. Twiggy yang ketika itu dinobatkan menjadi supermodel, telah membuat banyak perempuan yang tidak bisa memiliki tubuh seramping dia kalang kabut. Tubuh super ramping dan tatapan kosong tak bernyawa Twiggy, ketika itu, begitu ramai menghiasi majalah mode dunia seperti Vogue. Serbuan imaji tentang Twiggy yang begitu gencar itu membuat terciptanya kriteria tubuh yang cantik dan tubuh buruk bagi perempuan.

Selain menjadi pembentuk realitas, fotografi juga salah satu medium yang memiliki kemampuan luar biasa merekam realitas, dan fungsi ini telah dilakukan oleh fotografi dari awal perkembangannya. Ia telah mampu menjadi alat rekam perkembangan sejarah manusia modern. Salah satu yang melakukan itu dengan serius adalah Walker Evans[12] dengan projeknya Farm Security Administration (FSA). Evans dalam projek itu merekam masa depresi besar di Amerika dengan memfokuskan pada kemiskinan pedesaan di daerah Selatan Amerika.

Kemudian pada tahun 1955, pameran Familly of Man[13] yang merupakan pameran foto berskala besar yang dikuratori oleh Edward Steichen bekerjasama dengan Stieglitz dilangsungkan. Kurang lebih 503 karya foto dari 73 fotografer dari 68 negara dipamerkan. Pameran ini merekam wajah-wajah manusia warga dunia yang begitu beragam dengan segala keunikannya. Selain pameran akbar itu, juga ada Robert Franks yang merekam Amerika dalam kesehariannya. Ia merangkum Amerika yang sehari-hari dalam The Americans[14] (1958).

Namun dari semua karya dokumenter itu, tidak ada yang pernah benar-benar merekam dari sudut pandang orang yang dianggap berbeda. Karya-karya dokumenter itu adalah semacam rekaman realitas dari dunia yang selama ini kita tempati. Sementara itu karya-karya Diane adalah sebuah dunia berbeda. Sebuah dunia yang bagi saya begitu sunyi.

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html

Menjadi Aneh di Tengah Yang Normal

Kebanyakan subjek foto Diane adalah orang-orang yang memang terlahir berbeda. Semenjak lahir mereka sudah berada dalam dunia –yang saya rasakan begitu- sepi. Kesunyian yang sepertinya terjadi karena ada rasa sakit yang menahun, serta sebuah kegelisahan yang tertahan. 

Tetapi sepertinya, mereka tidak sadar bahwa mereka berbeda. “But most characters in Arbus’s Grand Guignol appear not to know that they are ugly. Arbus photographs people in various degrees of unconscious or unaware relation to their pain, their ugliness.”[15] Subjek foto Arbus sepertinya tidak sadar bahwa mereka adalah minoritas yang dilabeli oleh mayoritas menjadi berbeda. Dan ini yang sungguh saya rasakan ketika membacai karya foto Arbus.

Misalnya saja foto seorang lelaki cebol dengan topi dan kumis tipis persis di atas bibirnya. Lelaki ini tampak begitu nyaman dengan segala kediriannya. Walaupun, lewat matanya saya melihat ada kepedihan yang tersimpan di situ, tetapi sepertinya ia tidak sadar soal itu. Bagi saya, dalam frame karyanya, Diane mampu membuatkan dunia yang berbeda untuk lelaki itu. Walaupun, bisa jadi, si lelaki cebol ini tidak sadar soal itu. Ia tidak sadar bahwa kesakitannya sedang ditelanjangi.

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html

Bahkan ketika subjek fotonya masuk dalam golongan yang “kebanyakan” Diane mampu melihat sesuatu yang berbeda dalam ruang jujur si subjek. Lewat medium formatnya, ia mampu membidik itu dan mengemasnya dalam sebuah aura keanehan yang mungkin saja hanya sanggup diciptakan oleh Diane. “The camera has the power to catch so-called normal people in such a way as to make them look abnormal. The photographer chooses oddity, chases it, frames it, develops it, titles it.”[16]

Sebuah foto tentang dua orang anak kembar yang baru saja pulang dari pesta Natal dan mengenakan baju persis sama, ditangkap Diane dengan medium formatnya. Dua anak itu ditangkap dalam sebuah frame dengan rasa yang begitu ganjil, sureal. Ketika melihat foto dua anak kembar ini, saya seperti melihat imaji hantu anak kecil yang secara sengaja ditangkap oleh kamera. Mungkin dengan sisi atau angle berbeda, dan cara memasukkan dua anak ini dalam sebuah frame yang berbeda, juga akan menimbulkan rasa yang berbeda. Diane lah yang memutuskan. Diane lah yang memasukan dua anak itu dalam dunia yang berbeda. Karena sejatinya mereka berdua tidak terlahir dalam dunia itu.

http://en.wikipedia.org/wiki/Diane_Arbus#mediaviewer/File:Identical_Twins,_Roselle,_New_Jersey,_1967.jpg
Kemudian, pada akhirnya, yang menjadi menarik bagi saya adalah bukan sekedar pada subjek-subjek foto Diane. Tetapi pada Diane sendiri, karena karya foto sesungguhnya adalah medium ekspresi. Ia menjadi ruang bertutur si pencipta karya itu. Bisa jadi karya foto itu adalah semacam kegelisahan yang menumpuk dari si pencipta karya atas segala yang ia rasakan selama ini. Sebuah kegelisahan yang muncul ketika ia merespon dunia tempat ia tinggal. Dan responnya itu bisa amat beragam, bisa kemarahan, kritisi, apresiasi atau bisa jadi semacam afirmasi dan refleksi atas dirinya sendiri.

Dan Diane, jangan-jangan sedang membicarakan dirinya sendiri. Ruang-ruang jujur yang ditangkap oleh kamera medium formatnya itu, jangan-jangan ruang jujurnya sendiri yang ia sumblimkan kepada subjek fotonya lewat karya-karyanya. Dan peristiwa bunuh diri yang begitu tragis di  tahun 1971, adalah peristiwa yang menjadi semacam afirmasi bagi para pengamat karya foto Diane, serta saya sendiri, bahwa Diane memang begitu dekat dan memaknai subjek fotonya begitu personal. Saya seperti merasakan, Diane sudah muak menjadi aneh, atau sudah lelah hidup di dunia yang berbeda dengan orang-orang “kebanyakan”[17].

Ketika ratusan fotonya dipamerkan, dalam sebuah pameran foto yang berlangsung pada 1972, dan bukunya Aperture diterbitkan, banyak yang akhirnya menyimpulkan dengan semena bahwa karya-karya foto yang dihasilkan oleh Diane adalah karya foto yang “berbahaya”, paling tidak untuk diri Diane sendiri. Dan karya-karya itu menjadi berbahaya karena masih tidak banyak yang mau menerima yang berbeda itu dalam kenormalan mereka. Mungkin menjadi “Aneh” adalah ancaman nyata bagi yang menyebut diri “si Normal”.

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html




[1] http://www.poets.org/poetsorg/poet/howard-nemerov
[2] http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Berenice-Abbott.html
[3] http://www.americansuburbx.com/2010/06/theory-lisette-model.html
[4] Dalam beberapa budaya, kaum nudis ini juga disebut sebagai naturist http://www.thefreedictionary.com/nudist
[5] Biografi singkat Diane Arbus disadur secara bebas dari http://www.britannica.com/EBchecked/topic/32375/Diane-Arbus
[6] Salah satu negara bagian dan kota paling sibuk di Amerika Serikat. Kota ini berpenduduk ketiga terbesar di Amerika Serikat. Kota ini dahulu terkenal sebagai pintu gerbang untuk masuk para imigran yang akan tinggal di Amerika Serikat, oleh karena itu bisa dijelaskan mengapa New York memiliki penduduk yang begitu beragam karakternya. New York juga terkenal sebagai pusat budaya, fashion, seni dan keuangan di Amerika. 
[7] http://www.telegraph.co.uk/culture/photography/8796532/Diane-Arbus-in-her-own-words.html
[8] http://www.telegraph.co.uk/culture/photography/8796532/Diane-Arbus-in-her-own-words.html
[9]  Judul dari kumpulan cerita pendek Howard Nemerov yang diterbitkan oleh Secker & Warburg, London, 1960
[10] http://www.telegraph.co.uk/culture/photography/8796532/Diane-Arbus-in-her-own-words.html
[11]http://www.twiggylawson.co.uk/fashion.html
[12]http://www.shorpy.com/walker-evans-photographs
[13]http://lightbox.time.com/2013/07/11/steichens-family-of-man-restored-new-life-for-a-photographic-touchstone/
[14]http://www.amazon.com/The-Americans-Robert-Frank/dp/386521584X
[15] Susan Sontag, On Photography, America, Seen Through Photograph, Darkly, hal 36.
[16] Ibid, hal 34.
[17] Yang saya maksudkan dengan idiom ini adalah orang-orang yang dianggap normal oleh masyarakat secara umum. Hidup dengan tata cara umum yang sudah disepakati bersama. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.