Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2011

Aku ini Seorang Pecandu

Aku adalah seorang pekerja tetap pada sebuah perusaahaan nasional yang memproduksi sampah. Sampah-sampah berita yang hanya akan dilirik, sedikit dibaca lalu dibuang atau jika beruntung dijadikan pembungkus kacang goreng.  Mataku baru terpejam, ketika matahari hampir terbit di ufuk timur dan mulai terbukakembali ketika matahari telah mulai benar-benar terbit. Lingkaran hitam di bawah mataku tak juga bisa kusamarkan dengan berbagai produk kecantikan murahan hingga berharga ratusan ribu rupiah.  Aku lelah. Aku menyaksikan berbagai peristiwa dengan mataku yang sudah minus berlipat-lipat. Berbagai peristiwa yang ketika itu – saat pertama kali kutercebur dalam pekerjaan ini – bisa membuatku tersenyum, tertawa terbahak, menangis, dan bahkan sampai muntah. Mungkin jika kau ada di tempat peristiwa itu berlangsung, taruhan kau akan merasakan dan melakukan hal yang persis sama dengan ku.  Ketika itu aku hanya bisa melihat, sedikit bertanya dan maksimal menuliskannya pada notebook kecil berlogo

Islam dan Gender ‘Antara’

Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta. Alam semesta yang begitu kaya ragam isi dengan berbagai makhluk yang menghuninya. Islam adalah sebuah penghidupan, penghiburan dan sumber energi bagi banyak orang yang memaklumi dan mengamininya. Ia tidak ingin mengkotak-kotakan manusia dalam lubang-lubang yang berlabel, ia ingin merengkuh siapa saja, merangkul siapa saja apapun orientasi pikir, ideologi ataupun seksualitasnya. Islam adalah afirmasi bagi keragaman, ia tidak melihat manusia secara banal, ia melihat manusia secara esensial, bukan dari topeng-topeng lahiriahnya.  Dalam QS. al-Hujurat, 49:13 disabdakan bawah ukuran kemuliaan seorang manusia di hadapan Allah SWT, adalah prestasi dan kualitas takwa, tanpa membedakan jenis kelamin, bahkan tanpa menghiraukan orientasi seksualnya. Manusia berjenis kelamin perempuan, manusia berjenis kelamin laki-laki serta manusia berjenis kelamin “antara” sama-sama berpotensi untuk menjadi manusia yang paling b

Catatan Perjalanan Orang Kota soal Ladang Orang Rimba

Sebelumnya saya tidak pernah tahu benar-benar soal ladang, berladang ataupun membuka ladang. Jika ditanya mengenai hal itu saya cuma bisa membayangkan tentang hamparan tanah luas yang ditumbuhi berbagai tanaman seperti singkong ataupun jagung. Lalu ada gambaran romantis tentang seorang petani yang mencangkul tanah atau sedang beristirahat di pinggir ladang sambil mengipas-ngipaskan topi kerucutnya untuk mengusir lalat-lalat iseng yang bermain di sekitaran wajahnya. Sebuah gambaran sangat biasa dan bisa dilihat dalam layar-layar kaca atau sejumlah buku pelajaran yang pernah saya dapatkan dari semenjak sekolah dasar hingga saya menamatkan sekolah. Kemudian gambaran itu segera berubah ketika dalam sebuah waktu yang sungguh beruntung, saya memiliki kesempatan untuk pergi ke tempat yang sebelumnya tidak terbayangkan sama sekali di kepala saya. Ketika itu, untuk beberapa lama saya berkesempatan bekerja pada sebuah lembaga yang wilayah kerjanya berada dalam kawasan Taman Nasional Bukit 12,

Ende 1934, Sebuah Memoar yang Terlupakan

Jika saja Ende tidak pernah menjadi tempat ber”samadi” Soekarno, mungkin saja Pancasila yang menjadi dasar negara republik ini tidak pernah akan tercipta. Di pulau bunga pada periode 1934-1938 itulah masa samadi panjang Soekarno, seorang lelaki yang dilahirkan ketika fajar menyingsing di ufuk timur Nusantara.  Pada periode empat tahun itulah Soekarno, yang dianggap sebagai seorang yang amat berbahaya bagi stabilitas otoritas saat itu, dibuang dan diasingkan dari dunia yang selama ini ia kenal. Dunia yang dianggap dapat membuatnya menjadi lebih liar dan lebih revolusioner. Ende dianggap oleh pemerintah kolonial yang berkuasa sebagai tempat paling pas untuk memenjara segala daya kreatifitas dan pikiran-pikiran “gila” Soekarno.  Masa pembuangan Putra Sang Fajar yang akhirnya menjadi semacam persamadian panjang Soekarno dimulai ketika KM van Riebeeck membuang sauh di Pelabuhan Ende. Walaupun pengasingan adalah suatu yang tidak lagi baru bagi lelaki muda ini, tetapi merapatnya KM van Riebee

Yogya Yang Istimewa

Siang itu, seperti biasa, Sunardi tampak gagah berdiri di selasar Kraton dengan surjan lurik berwarna hitam biru, serta blangkon bermondol. Wajahnya menyiratkan kebanggan, serta sebersit senyum keramahan khas Yogya. “Saya ini dulu tinggal di Tangerang, tetapi karena saya jatuh cinta dan merasa terpanggil, maka saya meninggalkan Tangerang dan mengabdi kepada Kraton Yogya ini,” paparnya sambil tersenyum.  Sudah lebih dari 30 tahun ia menjadi abdi dalem di Kraton Nyayogyakarta Hadiningrat. Bagi Sunardi, Yogya, khususnya Kraton, adalah pusat seluruh hidupnya. Yogya sungguh istimewa karena hanya di Kraton Yogyakarta ini, ia merasa menemukan makna-makna filosofis kehidupan yang hingga kini masih tetap lestari. “Ada budaya-budaya leluhur yang tetap dipertahankan, serta bagi saya, Yogya memiliki tradisi yang selalu selaras dengan alam sekitar,” imbuhnya.  Sunardi tidak sendiri, Yogya juga menjadi istimewa bagi ribuan manusia yang tinggal di dalamnya. Ada yang datang dari luar daerah, tetapi ad