Skip to main content

Ende 1934, Sebuah Memoar yang Terlupakan

Jika saja Ende tidak pernah menjadi tempat ber”samadi” Soekarno, mungkin saja Pancasila yang menjadi dasar negara republik ini tidak pernah akan tercipta. Di pulau bunga pada periode 1934-1938 itulah masa samadi panjang Soekarno, seorang lelaki yang dilahirkan ketika fajar menyingsing di ufuk timur Nusantara. 

Pada periode empat tahun itulah Soekarno, yang dianggap sebagai seorang yang amat berbahaya bagi stabilitas otoritas saat itu, dibuang dan diasingkan dari dunia yang selama ini ia kenal. Dunia yang dianggap dapat membuatnya menjadi lebih liar dan lebih revolusioner. Ende dianggap oleh pemerintah kolonial yang berkuasa sebagai tempat paling pas untuk memenjara segala daya kreatifitas dan pikiran-pikiran “gila” Soekarno. 

Masa pembuangan Putra Sang Fajar yang akhirnya menjadi semacam persamadian panjang Soekarno dimulai ketika KM van Riebeeck membuang sauh di Pelabuhan Ende. Walaupun pengasingan adalah suatu yang tidak lagi baru bagi lelaki muda ini, tetapi merapatnya KM van Riebeeck ke kota kecil di pesisir selatan pulau Flores itu seperti sebuah pukulan psikologis bagi Soekarno. Bersama dengan keluarga kecilnya yaitu istrinya Inggit Garnasi, mertuanya Ibu Amsi serta anak angkatnya Ratna Juami, Soekarno benar-benar dialienasi dari berbagai sarana informasi dan kemudahan dunia luar. Tidak ada telepon ataupun telegram. 

Satu-satunya cara berhubungan dengan dunia luar ialah dengan memanfaatkan dua kapal pos yang singgah di Ende sekali sebulan. Orang-orang terpandang dan berkuasa di Ende pun tidak berani mendekati Soekarno. Soekarno telah menjadi eksternir atau orang buangan yang oleh pemerintah Belanda dicap layak dijauhi. Yang berani mendekatinya hanya para mata-mata yang ditugasi mengintai berbagai gerak-gerik Soekarno. Sungguh sebuah kondisi yang menggambarkan ketakutan Belanda terhadap lelaki muda ini. 

Sebuah ketakutan yang sangat beralasan, karena dari berbagai sejarah pengasingan, tujuan Belanda untuk membuat Soekarno “lumpuh” tidak pernah berhasil. Pikiran merdekanya yang tidak bisa dihalangi tembok, gunung ataupun laut tetap membuat pemuda yang begitu mencintai seni ini tak terbendung. 

Rumah kayu sederhana yang menjadi tempat bernaung Soekarno dan keluarga selama empat tahun di Ende, telah menjadi saksi bisu bagaimana Soekarno tetap bebas merdeka walau terpenjara dalam kesunyian. Rumah tidak bernomor yang sebelumnya adalah milik Haji Abdullah Ambuwaru yang masih keturunan bangsawan Ende itu berada di kampung Ambugaga Kelurahan Kota Ratu Ende. 

Kehadirannya sangat tidak mencolok dan hidup harmonis di tengah rumah penduduk Ende yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan ataupun petani. Suasana sunyi senyap menjadi aura sehari-sehari yang melingkupi tempat tinggal Soekarno. Laut, gunung, bukit dan lembah disekeliling Kota Ende telah menjadi benteng-benteng kuat untuk memenjara sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi seorang bakal pemimpin Indonesia yang penuh dengan sisi melankolis dan romantik. 

Sisi-sisi humanisnya itulah yang tetap membuat Soekarno menjadi seorang manusia utuh. Ia tetap hidup dan malah menjadi semacam magnet bagi banyak orang di kota kecil yang sebelumnya tidak mengenal lelaki bersenyum simpatik itu. Ketika itu memang kawan-kawan akrab Soekarno tidak berasal dari kalangan penguasa setempat. Banyak para penguasa setempat juga sejumlah orang terpandang di Ende menjauhi Soekarno. Mereka takut Belanda akan memberikan cap buruk sehingga banyak kemudahan yang akan dicabut. Oleh karena itu, ketika pertama kali datang dan beradaptasi dengan Ende, Soekarno benar-benar sendiri, tidak ada kawan diskusi yang sejajar tingkat intelektualitasnya. 

Kawan bersenda gurau pun amat terbatas, hanya keluarga kecilnya yang menjadi teman. Tetapi Soekarno bukanlah seorang yang mudah patah arang dan menenggelamkan diri dalam kemalangan. Ia pun memutuskan untuk memberontak. Memberontak terhadap kesunyian dan tidak membiarkan pemerintah kolonial melumpuhkannya. Terutama melumpuhkan semangatnya. 

Soekarno pun akhirnya berusaha meleburkan diri ke dalam dinamika lokal setempat. Ia kerap mengunjungi penduduk yang kebanyakan tidak seterpelajar dirinya. Ditengah kawan-kawan barunya itu, Soekarno menemukan keakraban serta pelepasan dari ruang-ruang sunyi yang telah membelenggunya. Ketika itu banyak kawan barunya yang tidak mengerti sama sekali siapa ataupun sepak terjang bakal pemimpin Indonesia itu selama ini. 

Dengan kharismanya, Soekarno mampu membuat banyak orang baik dari generasi muda ataupun tua jatuh cinta kepadanya. Berbagai kalangan dari banyak profesi turut menjadi teman ngobrol Soekarno, salah satunya adalah para misionaris dari kalangan Katolik. Di tengah para misionaris itu Soekarno seperti menemukan lawan sebanding beradu argumentasi. Para misionaris itu jugalah yang turut membuka wawasan religius spiritual Soekarno. 

Dari berbagai pergulatannya itulah yang salah satunya membuat Soekarno pada akhirnya memaknai Islam secara lebih universal. Tidak hanya seputar kehidupan spiritual religi yang semakin berkembang. Apresiasi berkesenian Soekarno pun turut diladeni. Berkesenian telah menjadi sarana katarsis terhadap ketidakdilan juga kepada para penguasa yang telah berhasil memenjara fisiknya. Sebuah kelompok tonil yang ia dirikan menjadi sarana pas bagi Soekarno mengekspresikan “kegilaan-kegilaan” pikirnya. 

Kawan-kawan yang menjadi partner diskusi di kota Ende itulah yang menjadi para pemain dalam kelompok tonil itu. Ia sendiri bertindak sebagai sutradara serta penulis skenario. Berbagai pandangan atas kondisi yang terjadi dalam bangsanya ia tuangkan secara implisit juga eksplisit dalam berbagai skenario yang menjadi semacam manifestasi kritik Soekarno kepada penguasa yang telah menindas serta menjadikan Indonesia sebagai sapi perahan. 

Berbagai hal yang terjadi selama kurun empat tahun serta pergaulannya dengan seluruh alam landskap juga orang-orang di Pulau Bunga itu adalah sebuah proses samadi panjang yang amat melelahkan. Saat-saat istirahnya di bawah pohon sukun tidak jauh dari Pelabuhan Ende adalah momen yang amat inspiratif bagi Soekarno. Dari lima sudut daun sukun yang telah berjatuhan ke tanah karena usia ataupun angin itulah awal inspirasinya akan lima butir Pancasila. Lima dasar falsafah yang hingga kini masih mampu menjadi jiwa dan benang merah dari setiap keIndonesian setiap elemen di Nusantara ini. 

Mungkin tak banyak yang masih ingat periode 1934 hingga 1938 di sebuah kota kecil di Pulau Bunga itu. Atau mungkin saja tidak mau mengingat lagi, bahkan bisa jadi tidak pernah sama sekali mendengarnya. Padahal, jika saja Soekarno tidak pernah duduk melangut di bawah pohon sukun atau bergaul dengan kawan dari berbagai golongan petani sampai misionaris, Pancasila bisa jadi tidak akan pernah tercetus atau, yah..bisa saja bernama lain. Semoga menjadi sedikit teringat.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.