Siang itu, seperti biasa, Sunardi tampak gagah berdiri di selasar Kraton dengan surjan lurik berwarna hitam biru, serta blangkon bermondol. Wajahnya menyiratkan kebanggan, serta sebersit senyum keramahan khas Yogya. “Saya ini dulu tinggal di Tangerang, tetapi karena saya jatuh cinta dan merasa terpanggil, maka saya meninggalkan Tangerang dan mengabdi kepada Kraton Yogya ini,” paparnya sambil tersenyum.
Sudah lebih dari 30 tahun ia menjadi abdi dalem di Kraton Nyayogyakarta Hadiningrat. Bagi Sunardi, Yogya, khususnya Kraton, adalah pusat seluruh hidupnya. Yogya sungguh istimewa karena hanya di Kraton Yogyakarta ini, ia merasa menemukan makna-makna filosofis kehidupan yang hingga kini masih tetap lestari. “Ada budaya-budaya leluhur yang tetap dipertahankan, serta bagi saya, Yogya memiliki tradisi yang selalu selaras dengan alam sekitar,” imbuhnya.
Sunardi tidak sendiri, Yogya juga menjadi istimewa bagi ribuan manusia yang tinggal di dalamnya. Ada yang datang dari luar daerah, tetapi ada juga yang terlahir dan mengolah kehidupannya di kota yang akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak mata dan telinga, akibat isu keistimewaan yang lagi-lagi tidak juga purna dibahas. Isu keistimewaan yang akhir-akhir ini membuat ribuan manusia Jogja menjadi sedikit bergolak setelah hampir sembuh dari erupsi Merapi.
“Sesudah bencana Merapi mulai reda, Jogja terkena “bencana” kembali, yang kali ini datangnya dari pusat, yaitu tentang keistimewaan”, ucap adik kandung Sri Sultan HB X, GBPH Joyohadikusumo saat membuka prosesi Mubeng Benteng di Regol Keben, Selasa (7/12).
Ungkapan adik Sultan itu, adalah cerminan suara ribuan orang yang merasa terusik ketika Jogja tercintanya yang selama ini tentram, “dikisruhkan” oleh sepatah kalimat “Monarki versus Demokrasi”.
Bagi banyak masyarakat Jogja, kalimat yang diucapkan oleh orang nomor satu di negara ini adalah seperti sebuah cubitan yang membuat sakit sekaligus menggelisahkan. Kalimat ini seperti mengingatkan kembali akan tidak pernah tuntasnya pembahasan tentang Undang-Undang soal keistimewaan. Ini pun melahirkan opsi “memilih” atau “ditetapkan”. Padahal selama ini, Jogja sudah tentram dengan fakta bahwa negrinya adalah provinsi istimewa yang berpusat di Kraton dan dengan keistimewaanya itu berarti secara otomatis Sultan adalah Gubernur dan Paku Alam adalah wakilnya.
Yogya Bagi Indonesia
Maklumat 5 September 1945 adalah salah satu momentum yang amat penting dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia. Maklumat yang diserukan oleh Sultan Hamengku Buwono ke-IX itu menandakan bahwa Yogya secara resmi berintegrasi kepada Republik Indonesia.
Setelah berintegrasi, Yogya seperti menjadi “ibu” yang memberi susu kepada anaknya yang sedang merangkak besar.
Menurut budayawan yang juga Kepala Program Magister Studi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Dr. Gregorius Budi Subanar, SJ, Republik Indonesia menghabiskan masa-masa “balita”nya di Yogyakarta. Begitu juga modal kapital pertama Republik ini disumbang dari kantong Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. “Inilah salah satu yang membuat Yogya jadi istimewa bagi Indonesia,” ucap Subanar atau akrab disapa Romo Banar ini.
Jika ditilik dari faktor kesejarahan, sebelum berintegrasi, Yogya memang sudah istimewa. Ia pada awalnya merupakan daerah yang memiliki pemerintahan sendiri. Hal ini berbeda dengan banyak daerah berpemerintahan sendiri lainnya karena kedudukan istimewa dari Yogyakarta diakui secara tegas oleh pemerintah Republik Indonesia sejak permulaan revolusi nasional Indonesia.
Kesultanan Yogyakarta serta Kadipaten Paku Alaman, sebelumnya, memiliki status “Kerajaan vasal/Negara bagian”. Oleh Belanda status itu disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut Koti/Kooti.
Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pemerintahan penjajahan. Status ini pula yang kemudian diakui dan diberi payung hukum oleh Soekarno, Presiden pertama RI.
“Tentang masalah keistimewaan ini harusnya tidak dilihat sebagai sebuah pembahasan soal Yogya saja, tetapi bagaimana sebuah bangsa mengapresiasi sejarah kelahiran negrinya sendiri,” ucap Romo Banar. Baginya, pembahasan soal keistimewaan Yogya adalah sebuah pembahasan komprehensif yang juga harus melibatkan pembicaraan tentang Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Artinya, ketika berbicara tentang Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tentu tidak bisa jika tidak membicarakan soal Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Sultan Hamengku Buwono X pun sempat menegaskan bahwa persoalan Keistimewaan Yogyakarta bukan sebatas masalah politik, konstitusi atau hukum, tetapi ini adalah persoalan peradaban. Persoalan peradaban ini pun secara konstitusional telah diakui. Dalam UU No 32 Tahun 2004, Pasal 226 ayat (2) yang berbunyi, "Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU No 22 Tahun 1999, adalah, tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini". Sehingga Undang-Undang ini pun sejalan dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18B ayat (1) yang menyatakan, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dengan undang-undang".
Yogya Kini dan Kedepannya
“Kini Yogya sedang menunggu pemerintah pusat berkeputusan,” ucap Inung Nurzani, salah seorang dari ribuan warga Yogya yang turut terlibat dalam Komite Independen Pengawal Referendum. Menurut dia, jika keputusannya adalah pemilihan maka sudah bisa diyakinkan Yogya akan bergolak. “Paling tidak, para warga yang sudah mendaftar menjadi relawan referendum ini akan bergerak,” imbuhnya.
Pada pertemuan di kantor DPRD tanggal 8 Desember yang lalu, sejumlah ormas dan, paguyuban kepala Dukuh dan perangkat desa se-Yogyakarta seperti Ismoyo dan Semar Sembogo juga bersepakat untuk mendukung opsi penetapan dan akan melakukan aksi boikot jika pemerintah tetap melakukan pilkada. Sikap ormas itu pun diamini oleh salah seorang anggota DPRD, bahwa DPRD Yogya tidak menganggarkan dalam APBD pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Bagi Inung, Romo Banar, Ismoyo, Semar Sembogo atau ribuan warga lainnya, Yogya adalah salah satu provinsi di Indonesia yang amat istimewa, bukan hanya dari latar sejarahnya, tetapi juga karena pada konteks kekinian, Yogya pun memiliki prestasi yang membanggakan serta terukur.
“Tahun lalu, Yogya berada di urutan pertama sebagai provinsi dengan tingkat korupsi paling rendah. Masyarakat Yogya juga memiliki harapan hidup tinggi hingga usia 70 tahun. Tingkat disiplin institusi pendidikannya pun tinggi. Yogya juga mendapat apresiasi dari badan Koordinasi Penanaman Modal. Dan yang tidak bisa dikesampingkan, Yogya juga memiliki 90 persen Kopertis dari seluruh wilayah di Indonesia, ini artinya administrasi bidang pendidikan di Yogya bisa dijadikan jaminan,” papar Romo Banar.
Dari berbagai prestasi itu, maka seharusnya pemerintah pusat dapat melihat bahwa status keistimewan Yogya selama ini tidak pernah menjadi hambatan bagi kemajuan pemerintahan Yogya. “Lalu apa titik berangkat dari ucapan Presiden itu. Sepertinya ada agenda dari pemerintahan pusat untuk mempreteli kepemimpinan politik serta kepemimpinan kultural di Yogyakarta,”ungkap Romo Banar.
Padahal, lanjut Romo Banar, saat ini, dan kedepannya, pemerintah harus bisa bersikap bijak dan mengakomodir kekhasan tiap-tiap daerah yang ada di Indonesia. “Sudah saatnya pemerintah betitik tolak dari kepemimpinan politk yang berakar pada grass root,” ucapnya. Artinya, pemerintah mau dengan rendah hati mengambil berbagai kebijaksaanaan lokal yang telah ratusan tahun hidup dan dihidupi oleh masyarakat Nusantara. Dengan sikap seperti itu, maka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang merupakan bagian dari sejarah Indonesia, kedepannya dapat terus hidup tentram sebagai bagian dari Republik tercinta ini. “Jika tidak, maka bisa-bisa pemerintah pusat dipencundangi oleh sikap arogannya itu sendiri,” tegasnya.
Polemik tentang keistimewaan yang telah menimbulkan gejolak dari berbagai kalangan di Yogyakarta ini adalah salah satu tantangan bagi eksistensi Kraton Ngayogyakarta Hadinginrat. Sebuah tantangan yang harus dijawab dengan bijak oleh pihak Kraton juga pemerintah yang sejatinya adalah payung besar untuk masing-masing warganya. Bagi Sultan Hamengku Buwono X sendiri, saat ini ia merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan yang membutuhkan sikap berhati-hati untuk mencermatinya. Karena bagi Sultan, Keistimewaan Yogyakarta adalah sebuah identitas etnik yang menunjukkan kearifan lokal dalam proses berbangsa.
Referensi:
Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Depok: Komunitas Bambu, 2009.
www.tempointeraktif.com, Sultan: Keistimewaan Yogya adalah Soal Peradaban, Kamis 02 Desember 2010.
Comments