Skip to main content

Islam dan Gender ‘Antara’

Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta. Alam semesta yang begitu kaya ragam isi dengan berbagai makhluk yang menghuninya. Islam adalah sebuah penghidupan, penghiburan dan sumber energi bagi banyak orang yang memaklumi dan mengamininya. Ia tidak ingin mengkotak-kotakan manusia dalam lubang-lubang yang berlabel, ia ingin merengkuh siapa saja, merangkul siapa saja apapun orientasi pikir, ideologi ataupun seksualitasnya. Islam adalah afirmasi bagi keragaman, ia tidak melihat manusia secara banal, ia melihat manusia secara esensial, bukan dari topeng-topeng lahiriahnya. 

Dalam QS. al-Hujurat, 49:13 disabdakan bawah ukuran kemuliaan seorang manusia di hadapan Allah SWT, adalah prestasi dan kualitas takwa, tanpa membedakan jenis kelamin, bahkan tanpa menghiraukan orientasi seksualnya. Manusia berjenis kelamin perempuan, manusia berjenis kelamin laki-laki serta manusia berjenis kelamin “antara” sama-sama berpotensi untuk menjadi manusia yang paling bertakwa. Al-Qur’an tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu. Semua manusia tanpa dibedakan jenis kelaminnya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid (hamba yang saleh) dan khalifah (pemimpin) (QS. al-Nisa’, 4:124 dan S. al-Nahl, 16:97). 

Sejarah serta berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini mencatat, bahwa manusia tidak hanya tercipta ke dalam dua jenis kelamin, perempuan dan laki-laki. Ada jenis ‘antara’ yang secara gradasi memiliki berbagai jenis berbeda. Menurut James Danandjaja, seorang guru besar Antropologi Universitas Indonesia, jenis ‘antara’ yang juga dikenal sebagai kaum homoseksual, dalam masyarakat kita sering dirancukan dengan istilah waria (untuk mereka yang secara fisik laki-laki). Istilah ini kemudian seringkali dijadikan istilah umum bagi kaum homoseksual. 

Dalam kenyataannya, untuk jenis ‘antara’ (terutama yang secara fisik laki-laki), terdapat berbagai keragaman yang kemudian dibahasakan dalam berbagai istilah, seperti banci (hermaprhodite), transvestite, transexsual, gay serta lesbian. Transvestite adalah kaum homoseksual yang gemar memakai pakaian dan perhiasan tubuh perempuan serta berdandan seperti perempuan. Ketika berdandan seperti perempuan, para transvestite ini akan mengadopsi gaya gerak tubuh lawan seksnya (perempuan). Sedangkan transsexsual adalah kaum homoseksual yang mengubah bentuk tubuhnya dengan operasi plastik atau menyuntikkan hormon-hormon seks dari lawan jenis kelamin. Mereka melakukan itu agar bentuk tubuhnya dapat menjadi serupa dengan lawan jenis mereka. Dan jenis homoseksual yang lain adalah gay (bagi laki-laki) dan lesbian (bagi perempuan). 

Seorang gay atau lesbian memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis kelaminnya. Organ reproduksi mereka pun normal, berpenis untuk yang lelaki dan bervagina untuk yang perempuan, dan jika terjadi penetrasi dengan lawan jenisnya maka mereka tetap bisa menghasilkan keturunan. Salah satu tokoh yang paling terkenal di dunia adalah raja Macedonia yang gemar menaklukkan bangsa-bangsa lain yaitu Iskandar Zulkarnaen (Alexander the Great) yang seluruh jenderal-jenderalnya adalah kaum gay yang begitu tangguh dalam berbagai pertempuran. 

Selain itu, juga terdapat kaum biseksual yang orientasi seksualnya adalah pada kedua jenis kelamin. Berbagai klasifikasi yang begitu beraneka itu adalah sebuah keragaman yang secara faktual hidup dan menjadi bagian dari kisah serta sejarah manusia hingga saat ini. Mungkin pada masa Iskandar Zulkarnaen, klasifikasi kebahasaan itu tidak teramat kompleks dan beragam seperti yang sudah disebutkan, tetapi sudah menjadi fakta bahwa fenomena gender ‘antara’ adalah hal yang nyata dan ada di masyarakat kita. Ini adalah hal yang “given” yang sudah kodrati. 

Seperti halnya realitas yang tidak melulu hitam putih tetapi selalu ada ranah abu-abu atau ranah antara. Islam pun mampu memahami realitas itu. Menurut Siti Musdah Mulia, dosen program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang juga seorang aktivis Islam liberal, dalam bahasa fikih, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), maupun biseksual adalah kodrati, sesuatu yang sifatnya “given” atau disebut sunatullah. Sementara, perilaku seksual bersifat konstruksi manusia. Sesuatu yang bisa diubah dan berubah. 

Memang betul ada teks hadis Nabi yang mengharamkan perempuan ‘mendatangi’ perempuan atau sebaliknya laki-laki ‘mendatangi’ laki-laki dan memandang perilaku tersebut sebagai perbuatan zina dan hukumnya boleh dibunuh. Pengharaman ini juga disandarkan pada ayat-ayat yang bercerita tentang Nabi Luth dan umatnya yang dikenal memperaktekkan sodomi (liwath). Tetapi menurut Musdah, yang dilarang adalah lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Inilah pemahaman yang dimahfumi oleh sejumlah komunitas homoseksual yang merasa dan tetap berpegang teguh pada iman keIslaman mereka. Diantaranya adalah komunitas pesantren Senin-Kamis waria yang ada di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Mariyani. Seorang manusia bergender antara yang telah dan merasa menjadi perempuan serta seorang ibu dari seorang anak perempuan bernama Riski. 

Selain pesantren waria itu, contoh komunitas lainnya adalah komunitas Bissu yang sejatinya adalah pendeta agama Bugis kuno pra Islam. Bissu dan tradisi transvestite di tanah Bugis memiliki sejarah yang amat panjang. Mereka sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Naskah La Galigo banyak mengungkap tentang keberadaan Bissu dalam budaya Bugis, yang konon sebagai pendamping dan pelengkap kedatangan para tokoh utama langit atau dari pertala bumi. Bissu juga merupakan penasehat raja beserta seluruh keluarganya yang berfungsi mengabdi dan menjaga Arajang yang merupakan benda pusaka keramat. 

Para Bissu ini diketuai oleh seseorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Ia adalah seorang figur feminin dengan wajah licin seperti seorang kasim. Bissu berasal dari kata Bugis “mabessi” yang berarti bersih. Mereka disebut demikian karena dianggap suci (tidak kotor), tidak memiliki payudara, serta tidak haid. Identitas seksual para Bissu inilah yang sering menjadi kontroversi di kalangan masyarakat lokal. Bagi Bissu, bukan laki-laki dan bukan perempuan adalah identitas yang sangat jelas. Bahkan bagi mereka, identitas itu merupakan pemberian Tuhan sehingga bersifat kodrati. Oleh karena itu amat dimaklumi jika terdapat pro dan kontra di kalangan masyarakat akan keberadaan komunitas Bissu ini, apalagi di tengah masyarakat yang masih mengganggap yang normal itu adalah yang berorientasi hetero dan tidak berpenampilan seperti lawan jenisnya. 

Kini, selain di Bone dan Sigeri, komunitas Bissu juga terdapat di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, di antaranya di Soppeng, Luwu dan Polywali. Walaupun demikian, saat ini masa-masa kejayaan Bissu tampaknya sudah berakhir. Diperkirakan sekitar abad ke-17 sampai abad ke-18, Bissu mengalami masa kejayaannya. Saat itu mereka menjadi ahli spiritual kerajaan yang sangat dihormati, semua Arajang saat itu ada di bawah pengawasan dan pemeliharaan mereka. Tetapi karena pengaruh Islam yang masuk ke Sulawesi Selatan semakin kuat, maka lama kelamaan, Bissu mengalami masa-masa yang pahit akibat dicerca dan diskriminasi dari kalangan Islam. Hingga akhirnya kini, komunitas Bissu telah beradaptasi dan melebur dalam kultur lokal yang begitu kuat menggempur, yaitu kultur keIslaman. Mereka telah menjadi Islam dan berhasil memadukan berbagai tradisi ritual Bugis kuno itu dengan ritus-ritus Islam yang bersumber dari Al Quran. Bagi para kaum Bissu ini, Islam yang mereka maknai secara personal itu, kini dianggap mampu mengakomodir hidup dan kebutuhan spiritual mereka sebagai seorang manusia Bissu. 

 Yang menjadi menarik adalah, mengapa Islam bisa jadi begitu personal dan akomodatif bagi para kaum waria di Jogja yang merasa menemukan penebusan dengan belajar melafalkan Al Quran tiap Senin dan Kamis, juga bagi kaum Bissu di Bugis yang merasa ketika mereka menggirik atau menari dan melafalkan melulu nama Allah dengan gerakan lentik jemari, mereka telah merasa bebas lepas menembus yang transenden sehingga bisa sampai pada titik trance atau ranah ketidaksadarannya. Sementara di kutub bertentangan, sejumlah pemeluk Islam lainnya yang juga menemukan pembebasan dalam Islam, memaknai bahwa komunitas waria dan Bissu itu telah mencedrai Islam. Yah, inilah yang kemudian selalu menjadi pertanyaan reflektif bagi saya, sebuah kontroversi wacana yang melulu diperdebatkan. 

referensi 
James Danandjaja, Homoseksual atawa Heteroseksual?, Srinthil edisi 05 2003, Menggugat Maskulinitas dan Feminitas. Bisri Effendi dan Ijhal Thamaona, Bissu: Menggugat Maskulinitas dan Feminitas, Srinthil edisi 05 2003, Menggugat Maskulinitas dan Feminitas.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.