Skip to main content

Aku ini Seorang Pecandu

Aku adalah seorang pekerja tetap pada sebuah perusaahaan nasional yang memproduksi sampah. Sampah-sampah berita yang hanya akan dilirik, sedikit dibaca lalu dibuang atau jika beruntung dijadikan pembungkus kacang goreng. Mataku baru terpejam, ketika matahari hampir terbit di ufuk timur dan mulai terbukakembali ketika matahari telah mulai benar-benar terbit. Lingkaran hitam di bawah mataku tak juga bisa kusamarkan dengan berbagai produk kecantikan murahan hingga berharga ratusan ribu rupiah. 

Aku lelah. Aku menyaksikan berbagai peristiwa dengan mataku yang sudah minus berlipat-lipat. Berbagai peristiwa yang ketika itu – saat pertama kali kutercebur dalam pekerjaan ini – bisa membuatku tersenyum, tertawa terbahak, menangis, dan bahkan sampai muntah. Mungkin jika kau ada di tempat peristiwa itu berlangsung, taruhan kau akan merasakan dan melakukan hal yang persis sama dengan ku. 

Ketika itu aku hanya bisa melihat, sedikit bertanya dan maksimal menuliskannya pada notebook kecil berlogo perusahaanku atau merekamnya dalam sebuah tape recorder usang pinjaman. Jika peristiwa itu cukup sensasional atau mampu membuat segelintir orang gatal-gatal ketika membacanya, maka hasil rekamanku itu akan muncul pada headline atau pada kolom kecil di sisi kanan produk berita perusahaanku itu. Tetapi jika peristiwa itu cuma bisa membuatku seorang diri, dan hanya aku seorang diri, meringis, maka rekaman peristiwaku hanya akan mampir di meja editor dan akhirnya masuk ke kantong sampah di bawah mejanya yang angker itu. 

Kini aku memiliki topeng. Topeng dari besi baja yang bisa melindungi wajah dan mataku dari perasaan-perasaan yang bisa membuatku menjadi terlalu manusiawi. Topeng yang terbentuk dan semakin lama semakin tebal karena waktu. 

Waktu yang membuatku belajar dan mendikteku bahwa aku harus patuh pada sesuatu, atau seseorang yang memilikiku karena ia membayarku dan pelan-pelan menjadikanku sebagai robot. Seseorang yang telah dengan sadar membayari segala kebutuhan bulananku, rekening listrik, tagihan telepon, juga makananku tiap hari. Seseorang yang sudah menguasaiku, dan mau tidak mau harus kupatuhi. 

Patuh pada aturannya, patuh pada apa yang ia mau dan akhirnya patuh menjadi seperti orang itu. Orang yang adalah sebuah struktur dan akhirnya secara tidak sadar telah menjadi bagian dari sistem hidupku. Maka kini, peristiwa-peristiwa itu tidak lagi mengerikan, tidak lagi menyenangkan, tidak lagi membuatku sedih dan tidak lagi membuatku muntah. Kini aku hanyalah seorang robot, yang berjalan dengan sangat mekanis, melihat secara mekanis dan berpikir secara mekanis pula. 

Aku adalah seorang robot. Robot kekuasaan yang membuatku kehilangan kesejatianku. 

Aku hanya ingin tidur sejenak dan terbangun ketika aku sudah lepas dari struktur yang membelengguku. Saat dimana aku sebagai individu benar-benar otonom, tidak dikuasai orang lain. Dalam tidur-tidur malamku, aku memimpikan sebuah momen dimana aku bisa melepaskan diri dari keterasinganku. 

Keterasingan terhadap diriku sendiri, sebuah keterasingan yang membuatku merasa hanya sebagai sebuah benda di tengah benda-benda atau imaji-imaji yang kuciptakan. Dan bahkan saat ini untuk bisa berhubungan dengan diriku sendiri, aku amat tergantung pada hal-hal yang kuciptakan itu. 

Saat kubermimpi aku ingin berteriak kepada hantu Marx yang telah memuntahkan soal teori pembebasan saat hidupnya. Aku ingin berteriak soal penipuan. Bahwa ia telah berbohong dan telah menyumpalkan pikiran-pikiran surganya kepada manusia-manusia tak berdaya seperti diriku. Seorang manusia yang hanya bisa berteriak kritis dalam otaknya dan memberontak dalam pikirnya. 

Dalam mimpi panjangku itu pun, aku telah bertemu tuhan. Tuhan berambut gondrong berjenggot lebat, seperti yang tergambar secara dogmatis dalam agama yang semenjak kecil sudah tersosialisasi di kepalaku. Aku ingin mengadu, karena aku lelah. Tetapi ketika kudekati, ternyata yang seperti tuhan itu bukan lelaki, ia juga tidak berjenggot, dan makin kudekati, makin terlihat bahwa gambaran tuhan itu adalah diriku sendiri. 

Seperti yang dikatakan Feurbach seorang filsuf Jerman, bahwa “manusia menciptakan Allah menurut citranya sendiri”, dan persis seperti itulah yang terjadi dalam mimpiku. Ternyata setelah tuhan menjadi kepercayaan dalam agama, ia merampas, membuat manusia, membuat aku, terasing dan akhirnya menguasaiku, menguasai manusia. Buktinya, bahkan dalam mimpiku ini, aku tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang akan tuhan. Bagaimana mungkin, seorang robot milik kekuasaan ini bisa benar-benar bahagia. Saat mimpi panjangku itu pun aku menemukan diriku berjalan di sebuah trotoar kota. Di situ aku melihat seorang gila mengangkang terbahak dalam pakaian rombengnya. 

Aku iri. Aku sungguh iri karena ia bisa tertawa terbahak tanpa harus mengenakan topeng besinya. Ia tertawa dengan sangat jujur, dan teramat bahagia. Tidak ada yang harus ia lupakan, tidak ada yang harus ia ingat pula. Tidak ada yang harus ia patuhi dan tidak ada yang harus ia gantungi. Karena ia bebas merdeka dalam kepalanya. Mungkin, utopia-utopia yang sudah disumpalkan oleh si hantu Marx itu yang harus benar-benar diwujudkan agar aku dan manusia-manusia lainnya bisa tertawa terbahak dengan jujur. 

Seperti kata Engels, sudah saatnya manusia bersifat antroposentris. Sudah saatnya manusia benar-benar melihat kepada dirinya sendiri, mengaktualisasikan dirinya sendiri, membebaskan dari imaji-imaji dan benda-benda yang ia ciptakan, yang diciptakan oleh struktur, oleh sistem. Sudah saatnya aku menciptakan sejarah, bukan didikte oleh sejarah. Sudah saatnya aku menjadi otonom, dimana aku bebas untuk menentukan pilihan atas berbagai alternatif. 
 
Ya !!!, aku akan menjadi individu yang seperti kata Gabriel Marcel bukan melawan sejarah, tetapi aku akan menjadi individu yang justru membuat sejarah. Karena saat membuat sejarah, berarti aku sudah bebas. Karena aku bukanlah alat yang buta yang digunakan oleh suatu kekuatan yang mengatasiku. Aku adalah pencipta sejarah. Bukan hanya karena aku menciptakan dengan tindakanku, melainkan terutama karena aku bertindak secara sadar, melakukan perhitungan serta menentukan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada. 

Ya !!! aku akan melepaskan topeng besiku dan mulai berteriak kepada seseorang di dalam struktur yang selama ini mengatasiku, bahwa aku akan berhenti dan membebaskan diri dari keterasinganku. 

Ahhhhh, tunggu dulu, saat ini aku masih bermimpi dalam tidur panjangku. Dan entah saat bangun nanti, mungkin aku akan melupakan semuanya dan kembali bangun di saat fajar telah benar-benar terbit, lalu kembali menjadi seorang robot, karena mungkin saja sebenarnya aku sudah kecanduan. Kecanduan dengan ketidakbebasan. 

Sumber bacaan : Wardaya, Baskara T. Marx Muda : Marxisme Berwajah Manusiawi. Yogyakarta : Buku Baik, 2003.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai...

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gert...

Araki yang Sentimental

Ketika hidup sedang tidak terlalu ramah, beberapa orang mungkin akan pergi meracau pada yang lain, sosial media, tidur, atau pergi melangut sendiri. Sementara itu beberapa yang lain akan pergi memotret. Seperti yang dilakukan Nobuyoshi Araki.  “A man should never show his sadness. Even if you feel pain, don’t show it. You shouldn’t do that. Whenever a man fells pain or sadness, he should keep it inside. You should erase those feelings by taking photos. Just like that, it goes away. Don’t be sad and pathetic!” [1] Ya, jangan jadi orang menyedihkan. Simpan sedihmu jauh-jauh di dalam, dan keluarkanlah lewat medium fotografi. Tapi bukan berarti fotografi bisa semerta-merta membuat yang sedih langsung gembira. Dengan memotret, ketidakramahan dalam hidup bisa dikeluarkan. Bisa dituturkan dengan sangat sentimental. Ini Nobuyoshi Araki yang saya ingat. Selain tentu foto-fotonya yang begitu kontroversial. Sisi Araki yang ‘happy go lucky’ , namun sentimental inilah yang amat men...