Aku lelah.
Aku menyaksikan berbagai peristiwa dengan mataku yang sudah minus berlipat-lipat. Berbagai peristiwa yang ketika itu – saat pertama kali kutercebur dalam pekerjaan ini – bisa membuatku tersenyum, tertawa terbahak, menangis, dan bahkan sampai muntah. Mungkin jika kau ada di tempat peristiwa itu berlangsung, taruhan kau akan merasakan dan melakukan hal yang persis sama dengan ku.
Ketika itu aku hanya bisa melihat, sedikit bertanya dan maksimal menuliskannya pada notebook kecil berlogo perusahaanku atau merekamnya dalam sebuah tape recorder usang pinjaman. Jika peristiwa itu cukup sensasional atau mampu membuat segelintir orang gatal-gatal ketika membacanya, maka hasil rekamanku itu akan muncul pada headline atau pada kolom kecil di sisi kanan produk berita perusahaanku itu. Tetapi jika peristiwa itu cuma bisa membuatku seorang diri, dan hanya aku seorang diri, meringis, maka rekaman peristiwaku hanya akan mampir di meja editor dan akhirnya masuk ke kantong sampah di bawah mejanya yang angker itu.
Kini aku memiliki topeng. Topeng dari besi baja yang bisa melindungi wajah dan mataku dari perasaan-perasaan yang bisa membuatku menjadi terlalu manusiawi. Topeng yang terbentuk dan semakin lama semakin tebal karena waktu.
Waktu yang membuatku belajar dan mendikteku bahwa aku harus patuh pada sesuatu, atau seseorang yang memilikiku karena ia membayarku dan pelan-pelan menjadikanku sebagai robot. Seseorang yang telah dengan sadar membayari segala kebutuhan bulananku, rekening listrik, tagihan telepon, juga makananku tiap hari. Seseorang yang sudah menguasaiku, dan mau tidak mau harus kupatuhi.
Patuh pada aturannya, patuh pada apa yang ia mau dan akhirnya patuh menjadi seperti orang itu. Orang yang adalah sebuah struktur dan akhirnya secara tidak sadar telah menjadi bagian dari sistem hidupku.
Maka kini, peristiwa-peristiwa itu tidak lagi mengerikan, tidak lagi menyenangkan, tidak lagi membuatku sedih dan tidak lagi membuatku muntah. Kini aku hanyalah seorang robot, yang berjalan dengan sangat mekanis, melihat secara mekanis dan berpikir secara mekanis pula.
Aku adalah seorang robot. Robot kekuasaan yang membuatku kehilangan kesejatianku.
Keterasingan terhadap diriku sendiri, sebuah keterasingan yang membuatku merasa hanya sebagai sebuah benda di tengah benda-benda atau imaji-imaji yang kuciptakan. Dan bahkan saat ini untuk bisa berhubungan dengan diriku sendiri, aku amat tergantung pada hal-hal yang kuciptakan itu.
Seperti yang dikatakan Feurbach seorang filsuf Jerman, bahwa “manusia menciptakan Allah menurut citranya sendiri”, dan persis seperti itulah yang terjadi dalam mimpiku. Ternyata setelah tuhan menjadi kepercayaan dalam agama, ia merampas, membuat manusia, membuat aku, terasing dan akhirnya menguasaiku, menguasai manusia. Buktinya, bahkan dalam mimpiku ini, aku tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang akan tuhan.
Bagaimana mungkin, seorang robot milik kekuasaan ini bisa benar-benar bahagia. Saat mimpi panjangku itu pun aku menemukan diriku berjalan di sebuah trotoar kota. Di situ aku melihat seorang gila mengangkang terbahak dalam pakaian rombengnya.
Aku iri. Aku sungguh iri karena ia bisa tertawa terbahak tanpa harus mengenakan topeng besinya. Ia tertawa dengan sangat jujur, dan teramat bahagia. Tidak ada yang harus ia lupakan, tidak ada yang harus ia ingat pula. Tidak ada yang harus ia patuhi dan tidak ada yang harus ia gantungi. Karena ia bebas merdeka dalam kepalanya.
Mungkin, utopia-utopia yang sudah disumpalkan oleh si hantu Marx itu yang harus benar-benar diwujudkan agar aku dan manusia-manusia lainnya bisa tertawa terbahak dengan jujur.
Seperti kata Engels, sudah saatnya manusia bersifat antroposentris. Sudah saatnya manusia benar-benar melihat kepada dirinya sendiri, mengaktualisasikan dirinya sendiri, membebaskan dari imaji-imaji dan benda-benda yang ia ciptakan, yang diciptakan oleh struktur, oleh sistem. Sudah saatnya aku menciptakan sejarah, bukan didikte oleh sejarah. Sudah saatnya aku menjadi otonom, dimana aku bebas untuk menentukan pilihan atas berbagai alternatif.
Ya !!!, aku akan menjadi individu yang seperti kata Gabriel Marcel bukan melawan sejarah, tetapi aku akan menjadi individu yang justru membuat sejarah. Karena saat membuat sejarah, berarti aku sudah bebas. Karena aku bukanlah alat yang buta yang digunakan oleh suatu kekuatan yang mengatasiku. Aku adalah pencipta sejarah. Bukan hanya karena aku menciptakan dengan tindakanku, melainkan terutama karena aku bertindak secara sadar, melakukan perhitungan serta menentukan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada.
Ya !!! aku akan melepaskan topeng besiku dan mulai berteriak kepada seseorang di dalam struktur yang selama ini mengatasiku, bahwa aku akan berhenti dan membebaskan diri dari keterasinganku.
Sumber bacaan : Wardaya, Baskara T. Marx Muda : Marxisme Berwajah Manusiawi. Yogyakarta : Buku Baik, 2003.
Comments