Sebelumnya saya tidak pernah tahu benar-benar soal ladang, berladang ataupun membuka ladang. Jika ditanya mengenai hal itu saya cuma bisa membayangkan tentang hamparan tanah luas yang ditumbuhi berbagai tanaman seperti singkong ataupun jagung. Lalu ada gambaran romantis tentang seorang petani yang mencangkul tanah atau sedang beristirahat di pinggir ladang sambil mengipas-ngipaskan topi kerucutnya untuk mengusir lalat-lalat iseng yang bermain di sekitaran wajahnya. Sebuah gambaran sangat biasa dan bisa dilihat dalam layar-layar kaca atau sejumlah buku pelajaran yang pernah saya dapatkan dari semenjak sekolah dasar hingga saya menamatkan sekolah. Kemudian gambaran itu segera berubah ketika dalam sebuah waktu yang sungguh beruntung, saya memiliki kesempatan untuk pergi ke tempat yang sebelumnya tidak terbayangkan sama sekali di kepala saya. Ketika itu, untuk beberapa lama saya berkesempatan bekerja pada sebuah lembaga yang wilayah kerjanya berada dalam kawasan Taman Nasional Bukit 12, Jambi. Di situ saya harus bertugas sebagai seorang fasilitator yang khusus mendampingi masyarakat yang menjadi salah satu kelompok etnis minoritas di Indonesia. Mereka adalah Orang Rimba atau terkenal dengan sebutan Suku Anak Dalam. Gambaran ladang yang selama dua puluh tahun menempel di kepala saya tiba-tiba lenyap, ketika saya melihat secara langsung sebuah pohon setinggi gedung tingkat dua harus dirobohkan saat sebuah ladang dalam proses pembukaan. Tidak ada cangkul, juga tidak ada seorang petani bertopi kerucut, yang ada hanyalah hamparan hutan berpohon-pohon besar yang siap dirobohkan dan dibakar agar dapat ditanami dengan padi ladang, singkong ataupun karet. Sejumlah ritual yang selama ini belum pernah saya tahu atau dengar keberadaannyapun muncul di depan mata saya. Sungguh berbagai pengetahuan yang belum pernah saya alami itu amat memperkaya saya. Tidak lama memang, hanya sekitar setengah tahun saya mendampingi mereka. Dan pengalaman yang berisi sebagian “gaya” Orang Rimba membuka ladang di kawasan Taman Nasional Bukit 12 Jambi itulah yang mengisi sejumlah catatan perjalanan pribadi yang berikut akan saya bagikan kepada Anda semua.
Catatan perjalanan ini bermula ketika saya berada di tengah-tengah mereka dalam sebuah proses pembukaan ladang. Ketika itu sejumlah lelaki rimba yang berada dalam satu rombong (kelompok) sedang sibuk bekerja mempersiapkan lokasi yang bakal menjadi tumpuan hidup mereka ke depan. Dengan hanya bercawat (kain yang dililit di sekitar pinggang dan pangkal paha guna menutupi daerah kemaluan) dan bertelanjang dada, kelompok Orang Rimba yang berada di kawasan Taman Nasional Bukit 12 ini sejenak meninggalkan perburuan babi hutan mereka.
Selain berburu, berladang bagi Orang Rimba adalah salah satu strategi untuk bertahan hidup. Bertahan dari rasa lapar, juga bertahan dari gempuran modernitas. Karena dengan berladang, kebutuhan primer akan pangan dapat dipenuhi serta eksistensi mereka sebagai masyarakat Rimba dengan salah satu ciri khasnya dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dapat tetap lestari.
Hingga kini Orang Rimba masih tetap mempertahankan pola hidup nomaden yang berimplikasi pada pola perladangan mereka yang berpindah juga. Tak banyak jenis tanaman yang dibudidayakan oleh Orang Rimba, diantaranya karet dan tanaman muda seperti cabai maupun ubi. Biasanya setelah masa 2-3 tahun, ladang akan menjadi kebun karet. Tetapi, tidak melulu seluruh rombong Orang Rimba melakukan pola penanaman seperti itu, ada beberapa rombong yang menjadikan ladang mereka sebagai ladang padi sebelum dijadikan sebagai kebun karet. Perbedaan ini hanya terletak pada proses awal penanaman tanaman muda saja. Ada sejumlah rombong yang sengaja menanami ladangnya dengan padi namun ada juga yang langsung ditanami dengan karet.
Bagi Orang Rimba, bertanam ladang padi, tidak hanya sekedar tindakan bercocok tanam tetapi juga memiliki maksud dan makna di dalamnya. Karena bagi Orang Rimba, berladang adalah masalah yang juga sifatnya vertikal. Ada hubungan yang harus dijaga antara Sang Pemberi Hidup juga antara masyarakat sekitarnya. Sebuah kesadaran akan harmonisasi yang harus terus dijaga.
Untuk mewujudkan harmonisasi itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah memilih lokasi perladangan.
Ternyata Orang Rimba tidak asal saja memilih lokasi perladangan. Selain masalah kesuburan, tanah berbukit juga akan dihindari, karena bagi mereka berbukit identik dengan tanah bersetan. Begitu juga dengan tanah tebing yaitu tanah yang berada di bawah tebing tinggi, lokasi pasaron (tanah pekuburan), dan tanah peranakon (tempat untuk kegiatan bersalin).
Kemudian setelah menemukan lokasi yang pas, tahap selanjutnya adalah melakukan pembukaan ladang yaitu dengan nyimas atau manca untuk membersihkan lokasi dari tanaman-tanaman yang masih kecil.
Setelah bersih dari berbagai tanaman kecil, pohon-pohon besar yang ada di lokasi itu akan ditebang (ditumbang). Penebangan pohon ini bisa dilakukan secara tradisional maupun dengan cara modern. Cara tradisional biasanya menggunakan kapak, sedangkan yang lebih modern adalah dengan menggunakan gergaji mesin. Kini karena alasan efektifitas dan kecepatan banyak Orang Rimba yang lebih memilih gergaji mesin atau chainsaw. Walaupun harus meminjam atau membelinya dari orang desa.
Jika seluruh pohon besar sudah habis ditebang, proses selanjutnya yang juga amat melelahkan adalah pembakaran ladang. Ketika ini terjadi, saya lebih memilih jauh-jauh dari lokasi ladang. Karena proses yang dilakukan ketika terik matahari benar-benar menyengat itu adalah proses yang bagi saya sungguh membakar kulit. Orang rimba menyebut proses ini sebagai manggang ladang atau bekor ladang.
Untuk menghadirkan api dan angin agar proses pembakaran berjalan sukses dan lebih cepat, mereka melakukan ritual khusus untuk memanggil dewa angin dan dewa matahari. Ritual diawali ketika seorang dukun mulai memanjatkan doa kepada bahelo (sebutan untuk yang Maha, sesuatu yang abstrak, tak terjangkau, dalam logika umum dan kesadaran masyarakat umum bahelo bisa menjadi sebutan untuk Tuhan, tetapi bukan Tuhan) untuk mengundang dewa angin dan dewa matahari agar datang ke lokasi ladang dan menghembuskan panas dan anginnya.
Proses pembakaran tidak dilakukan sendirian. Sejumlah lelaki dari rombong yang sama, masing-masing akan membawa buluh dengan kain diujungnya, yang kemudian diisi dengan minyak tanah untuk disulut dengan api. Setelah obor dari buluh menyala, para lelaki itu akan datang dari sudut-sudut ladang dan mulai membakar pohon-pohon besar yang sudah tumbang. Ketika melakukan pembakaran ladang, para lelaki tersebut sudah tahu benar fungsi serta posisinya di sekitaran lokasi ladang. Karena jika tidak, resiko untuk terkepung api sangat besar. Selain itu sejumlah pantangan juga harus ditaati bukan hanya oleh si pembakar ladang tetapi juga oleh Orang Rimba lain yang berada dalam satu rombong.
Pantangan-pantangan itu antara lain, selama waktu pembakaran, Orang Rimba lain tidak boleh berteriak atau berbicara dengan suara keras dan memberikan komentar terhadap proses pembakaran. Juga dilarang pergi untuk mengambil air maupun untuk mandi. Jika pantangan ini dilanggar maka akibatnya adalah pembakaran ladang tidak akan berhasil dengan sempurna. Akhirnya setelah proses pembakaran yang berlangsung lebih kurang satu hari itu berjalan dengan sempurna, lokasi ladang itu pun siap ditanami.
Bagi saya, si orang kota yang hanya melihat dari jauh pembukaan ladang Orang Rimba, proses itu cukup melelahkan sekaligus melegakan. Saat itu saya bisa melihat wajah-wajah puas dan senyum lebar dari mereka semua. Salah seorang yang turut membuka ladang itu, adalah Ejam, seorang bujang rimba dengan muka ramah. Ejam tampak tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang sudah habis karena kebanyakan mengkonsumsi gula. Sambil tertawa lebar Ejam berkata “Eeee, semoga ladang ini subur dan memberikan banyak hasil”. Si orang kota ini pun turut tersenyum sambil mengamini pemuda rimba yang tinggal di Makekal Tengah, Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo, propinsi Jambi itu.
Comments