Skip to main content

Review Film: Julie and Julia

Menonton film ini, mengingatkan akan diri saya sendiri. Jargon sederhananya adalah, “krisis perempuan jelang usia 30”, atau kalau dalam bahasa SMS yang saya forward ke kawan baik perempuan saya sebaya, “women toward 30 crisis” :p. Saya merasa seperti si tokoh bernama Julie (Amy Adams), walau dalam banyak hal sangat berbeda, tetapi konflik-konflik yang ia alami kurang lebih mirip dengan yang saya rasakan. 

Julie, perempuan yang belum lama menikah dan hampir berusia 30, bekerja pada sebuah lembaga pemerintah yang membosankan, dan merasa tidak pernah tuntas menyelesaikan apapun yang ia rasa menjadi passion dalam hidupnya. Nah ini pointnya yang saya rasa amat mirip dengan saya. Tidak pernah tuntas!!! 

Julie yang sempat bekerja pada sebuah lembaga penerbitan, bercita-cita menjadi penulis. Ia sempat hampir akan menghasilkan sebuah novel, tapi lagi-lagi penyakit yang menjangkitinya (yang juga sama seperti saya) ia tidak pernah menyelesaikan novel itu. 

“Penulis baru dibilang penulis kalau ia sudah berhasil menerbitkan sebuah buku!” Ini dia secuplik dialog dalam film Julie & Julia yang betul betul dan benar benar saya rasakan. Begini, saya selalu merasa punya bakat menulis, dan selalu merasa (paling tidak hingga kini satu-satunya pekerjaan yang menurut saya pas buat saya) adalah seorang penulis. Tetapi itu kan cuma perasaan saya, karena saya ini bisa digolongkan dalam genre “penulis angin-anginan”. Cuma menulis kalau ada angin segar yang masuk ke kepala. Atau hobi berapologi soal mood menulis. Jadinya yah, sama seperti yang dialami oleh Julie itu, saya tidak pernah bisa berhasil menyelesaikan tulisan yang sebetulnya pingin saya proyeksikan menjadi sebuah novel. 

Selain Julie ada seorang tokoh lain yang juga menjadi sentral dalam film ini, Julia Child (Meryl Streep). Julia adalah seorang perempuan paruh baya yang juga belum lama menikah dengan seorang pegawai pemerintahan AS yang ditugaskan di Paris. Ketika di Amerika, Julia adalah seorang perempuan karir yang selalu menyibukan diri, tetapi ketika ia pindah ke Paris, ia harus berhenti dari pekerjaannya dan memulai aktifitas kesehariannya sebagai ibu rumah tangga. 

Julia tentu tidak bisa diam. Ia merasa harus melakukan sesuatu, selain makan dan mengagumi Paris. Ya, Julia sangat suka makan, karena menurutnya makanan Prancis memiliki taste yang amat menarik dan cocok di lidahnya. Maka setelah mencoba mengisi waktu luangnya dengan berbagai aktifitas ala ibu-ibu di Paris (yang menurutnya amat membosankan) seperti kursus membuat topi, Julia mencoba memulai  dunia barunya dalam hal masak-memasak. 

Awalnya, banyak yang meremehkan kemampuannya memasak. Tentu ini selain suaminya Paul Child (Stanley Tucci) yang sangat suportif akan segala aktifitas yang dilakukan oleh Julia. Salah satunya adalah pimpinan tempat kursus masaknya di Cordon Bleu yang amat meragukan kemampuannya, sehingga pada awalnya Julia hanya ditempatkan di kelas pemula yang memulai kelasnya dengan merebus telur. 

Bagi Julia merebus telur adalah pekerjaan mudah dan ia ingin tantangan lebih. Akhirnya setelah berargumen dengan pimpinan sekolah masaknya, Julia pun mulai bergabung dengan kelas profesional yang isinya adalah para lelaki. Dari situlah, ia mulai merasakan menemukan dunianya dan passion hidupnya. Tidak berbeda dengan tokoh yang pertama si Julie. Di tengah kebosanan dengan pekerjaan, serta cita-citanya yang tak pernah tuntas ia kerjakan, Julie seperti menemukan passion yang lama hilang dalam hal memasak. Salah seorang yang menginspirasinya adalah si Julia Child.Julia Child memang seorang tokoh riil legendaris dengan buku masak Mastering the Art of French Cooking. Julia Child juga  memiliki sebuah tv show yang juga amat legendaris. Kelegendarisannya itu membuat dirinya diabadikan dalam museum Smithsonian AS. 

Dari buku serta membaca kisah hidup Julia Child, Julie mendapat inspirasinya. Dengan dorongan dari si suami yang lagi-lagi amat suportif, Julie akhirnya seperti membuat semacam proyek untuk menantang kemampuan masaknya dengan berbagai resep milik Julia Child dalam buku legendaris itu. 

Julie seperti menantang dirinya untuk mengejar kemampuan masak sang master masak itu dalam waktu 365 hari. Dan untuk mempublikasikan proyek itu, atau mungkin semacam proyeksi sederhana dari buku yang belum kesampean ia buat, Julie menggunakan media blog dalam dunia maya. Awalnya, blog itu sungguh sepi dan minim comment. Satu-satunya yang memberi comment adalah ibunya. Tetapi, ini tentu tidak membuat Julie menyerah, karena ia memiliki target waktu. Inilah yang membedakan proyek yang sekarang ia lakukan, dengan proyek-proyek tulisan lainnya. Proyek Julia Child ini memiliki target waktu. 

Walau perjalanan proyeknya itu tidak melulu berjalan mulus, dan pernah satu kali ia benar-benar frustasi karena sempat gagal membekukan daging ala Julia Child, dan sempat bertengkar hebat dengan suaminya gara-gara editor buku Julia Child batal berkunjung ke rumahnya, Julie seperti tidak bisa dihentikan. Yah tentu ada orang-orang yang sepertinya memberi semangat, suaimnya tentu saja, kawan-kawan baiknya, ibunya, dan yang tidak bisa dilupakan adalah si Julia Child itu sendiri. 

Buat saya, kisah ini amat menarik dan inspiratif. Selain seperti ada hal-hal yang mengingatkan akan diri saya sendiri. Yang membuat menarik adalah, dua tokoh sentral ini tidak pernah bertemu. Kisah mereka masing-masing berjalan sendiri dalam tracknya, tetapi kemudian seringkali dihubungkan dengan sebuah benang merah. Selain kisahnya yang menarik, akting Meryl Streep juga sungguh luar biasa. Saya memang amat menyukai Meryl, jadi ketika melihat film Julie and Julia ini, jadi seperti sebuah afirmasi akan kekaguman saya akan kemampuan aktingnya. Amy Adams juga tidak mengecewakan. Kalau sempat melihat Doubt, dua aktor hebat berbeda generasai ini juga pernah beradu akting. Amy Adams sempat mendapat nominasi oscar untuk aktingnya itu. Great one to watch!

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.