Skip to main content

Review Film: Across The Universe

Saya sempat menangis melihat film ini, ketika lagu "Let It Be" dinyanyikan, saya juga tertawa-tawa dan ikut menyanyi ketika "Come Togehter" muncul, apalagi visualisasinya amat menyenangkan karena Joe Cocker menjadi tiga karakter yang berbeda di situ. 

Saya juga sempat senyum-senyum sendiri ketika "With a Little Help From My Friend" dinyanyikan...yeahhh.."i get high with little help from my friend...". Juga, sempat hampir menangis lagi ketika "All My Loving" dinyanyikan Jim Sturgess..."close your eyes and I kiss you, tommorow i miss you, remember I always be true"...wow. Dan yang paling mengagetkan adalah ketika Dr Robert..."the BONO" himself menyanyikan "Im the Walrus"...wow....superbfuntastic. 

Yang saya ingat sepanjang melihat film ini adalah selalu menyanyi dan menyanyi. Kalau pernah melihat Fryda tentu hapal betul dengan gaya Julie Taymor sang sutradara. Banyak gambar-gambar surealis yang ditampilkan dalam film berdurasi 131 menit ini. Sangat abstrak tetapi mengsyikkan, dan karena saya penggemar Beatles, tentu sangat bahagia seluruh lagu dalam film ini adalah milik Beatles yang dinyanyikan lagi dengan komposisi ulang oleh para aktor dan aktrisnya. Apalagi salah satu favorit saya "Lucy in The Sky With Diamonds" dinyanyikan ulang oleh Bono yang diiringi The Edge. Komplit rasanya. 

Film yang dimainkan oleh Jim Sturgess sebagai Jude, Evan Rachel Wood sebagai Lucy, Joe Anderson sebagai Max, Dana Fuch sebagai Sadie, Martin Luther McCoy sebagai Jojo dan T.V Carpio sebagai Prudence ini bersetting sekitar pertengahan tahun 60 an dimana di Amerika sedang berkecamuk polemik anti perang dan pro perang Vietnam. Tidak ada figure Beatles dalam film ini, hanya roh the Beatles yang menjiwai seluruh film ini. Film ini, buat saya cuma mau bicara soal...cinta bahwa..."All You Need Is Love"...dan saya sangat sepakat dengan itu...."love love love......"

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.