Skip to main content

Dialog Pasar Rakyat

Ada banyak dialog terjadi di pasar rakyat. Dialog antar pedagang dan pembeli, dialog antar warga kota dengan ruang publiknya, dialog antar kawan, juga dialog antar masing-masing anggota keluarga. Ruang dialog yang diciptakan itu menjadi semacam ajang pertemuan yang tidak terjadi setiap hari. Sebuah ruang yang tercipta karena kini, ruang-ruang publik menjadi semakin mahal serta terhimpit oleh arus modernisasi. 

Selain menjadi tempat bertemu, pasar rakyat berkembang menjadi semacam arena dengan fungsi-fungsi tertentu. Ia bisa berfungsi ekonomis, sosial juga sebagai arena hiburan bagi masing-masing warga kotanya. Di pasar rakyat ada obrolan, baik lewat kata atau gerak tubuh. Semua berbagi keriaan serta kesederhanaan. Tidak peduli siapa, lansia, remaja, orang tua, balita, kaum metroseksual, gelandangan, sampai bangsawan, semua yang hadir di arena itu melebur menjadi kelas yang sama, ‘rakyat’. Salah satu pasar rakyat yang telah menjadi agenda rutin sebuah kota adalah Pasar Sekaten. Sebuah pesta tahunan bagi rakyat Yogyakarta yang bermula dari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. 

Pada Mulanya 

Beberapa abad lalu di wilayah Demak Bintoro, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dilakukan selama tujuh hari. Daerah yang telah berkembang menjadi Kerajaan Islam dibawah kepemimpinan Raden Patah itu, belum sepenuhnya bisa melepaskan diri dari pengaruh Majapahit. Berbagai tradisi Hinduisme masih sering dipergunakan oleh masyarakatnya, terutama ketika menggelar sejumlah acara. Salah satunya adalah pertunjukan gamelan saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. 

Selain memeriahkan acara, pertunjukan gamelan yang digelar di halaman Mesjid itu juga berfungsi sebagai ajang memperkenalkan Islam ke masyarakat luas di luar Demak Bintoro. Suara gamelan yang bertalu-talu, ternyata cukup efektif mengundang massa. Alkisah mengatakan, ketika mendengar alunan musik gamelan, masyarakat di sekitar Kerajaan pun berbondong-bondong ke halaman Mesjid. Dengan memanfaatkan keingintahuan warga, pihak Kerajaan memberlakukan sebuah peraturan, bahwa untuk bisa melihat dan mendengarkan musik gamelan secara langsung, masyarakat yang hadir harus mengucapkan kalimat syahadat lalu sesudahnya membasuh tangan, kaki dan wajah mereka. 

Pada perkembangannya, tradisi ini kemudian diteruskan oleh Kerajaan Islam Mataram. Kerajaan Mataram yang kemudian terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti ini, berada di Yogyakarta serta Surakarta. Setiap tahunnya, Kraton Yogyakarta Hadiningrat meneruskan tradisi keagamaan ini tepat di depan Masjid Agung. 

Untuk semakin memeriahkan acara yang mengadopsi tradisi Hindu bernama Sekaten itu, maka diciptakanlah sebuah ruang publik di depan Masjid Agung, tepatnya di Alun-alun Utara, dalam bentuk pasar rakyat. Pasar rakyat yang sejatinya adalah semacam pelengkap dari tradisi itu kemudian pada perkembangannya disebut sebagai Sekaten oleh masyarakat luas. 

Berwisata Sambil Berpesta 

Sekaten bukan sekedar Pasar Rakyat biasa. Selain menjadi perhelatan turisme tahunan kota Yogyakarta, arena pasar rakyat ini telah menjadi arena wisata keluarga yang murah, meriah dan terjangkau. Tidak seperti Dunia Fantasi (Dufan) atau Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta, Sekaten hanya memerlukan tiket masuk sebesar 3000 rupiah. Kalau mau datang lebih siang, kita bahkan bisa masuk ke arena Sekaten gratis sesuka hati. 

Wahana-wahana yang ditampilkan-pun tidak kalah menarik dan menyenangkan seperti yang bisa ditemui di Dufan ataupun TMII. Ada bianglala dengan tarif 5000 rupiah untuk beberapa kali putaran, bom-bom car dengan tarif 6000 rupiah sekali permainan, komedi putar, rumah hantu, arena memancing bagi balita, juga tong setan dimana manusia-manusia bernyali mempertunjukkan keahliannya dengan motor. 

Tentu jika dibandingkan dengan Dufan, teknologi dan keamanannya lebih tradisional. Tetapi di sebuah pasar rakyat yang semangatnya adalah melulu kesederhanaan, tentu itu tidak menjadi soal, karena pada saat memasuki arena, semua percaya pada satu hal yang pasti, “bersenang-senang”. Para orang tua dengan balitanya, sama-sama berbagi tawa, dan ketika balitanya menangis, para orang tua pun akan berusaha sekuat tenaga menenangkan dengan membelikan bola-bola arum manis, atau sepotong es krim seharga 1000 rupiah. 

Di pasar rakyat Sekaten, segala jenis manusia tumpah ruah. Ada remaja ABG yang sibuk mengobrak-abrik tumpukan baju di awul-awul (penjual baju bekas import). Ada kaum ibu yang sibuk membelanjakan pecahan 13.000 rupiah untuk mendapatkan dua buah perabot rumah tangga. Ada balita-balita yang berteriak-teriak gembira sambil melompat di atas trampolin atau berputar-putar di komedi putar. Ada sepasang muda-mudi yang tersipu-sipu ketika duduk berduaan di atas bianglala. Juga ada wisatawan asing serta domestik yang sibuk berpose di depan kamera sambil sesekali pandangannya menelisik ke seluruh atmosfir alun-alun utara yang pada malam hari menjadi begitu riuh. 

Tidak ada yang pernah tahu atau peduli, dari manakah atau dari kelas masyarakat apakah si ABG, pasangan muda-mudi, ibu-ibu atau para wisatawan itu. Yang jelas ketika mereka masuk ke dalam arena Sekaten, semua melebur menjadi rakyat biasa yang saat itu sedang berpesta juga berdialog dengan lingkungan sekitarnya. Semua seperti membagi senyum dengan begitu mudah dan murah, karena siapapun pasti akan bergembira melihat arena pasar malam atau layaknya disebut sebagai sebuah “taman bermain” besar yang hanya akan didapati setahun sekali di kota Yogyakarta. 

Di luar kemeriahan arena pasar rakyat itu, Sekaten memiliki berbagai rangkaian upacara budaya yang sudah mentradisi. Upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan Abdi Dalem yang membawa dua set gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Gamelan Kyai Nogowilogo menempati sisi utara masjid Agung, sementara Gamelan Kyai Gunturmadu berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton. 

Puncaknya, persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad pada tanggal 12, dilangsungkan Grebeg Muludan. Sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, berbagai makanan, buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung untuk diberkati dan didoai. Setelah itu, Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram akan diperebutkan oleh masyarakat yang menghadiri upacara itu. 

Berbagai varian di dalam pasar malam itu, seperti menawarkan sebuah pesta meriah dimana, masing-masing saling berinteraksi dan berdialog baik dengan kata atau hanya dengan senyum dan pandangan mata. Dialog yang terjadi adalah dialog antar sesama warga kota tentang berbagi bersama ruang publik, dialog tentang sarana hiburan yang murah, mudah dan terjangkau, serta dialog tentang fungsi perniagaan bahwa si penjual butuh pemasukan, dan si pembeli butuh barang dan jasa. Sebuah dialog perniagaan yang tidak melulu bicara tentang si penjual yang diuntungkan dan si pembeli yang dikalahkan, karena barang-barang yang diperdagangkan adalah barang-barang khas rakyat yang harganya pun merakyat. 

Selepas Maghrib, saat warna langit Jogja sudah menjadi kelam, kerlap-kerlip di pasar Sekaten mulai benar-benar berpijar. Wahana-wahana permainan yang pada siangnya belum beroperasi, satu persatu mulai hidup. Pesta pun dimulai. Masyarakat pun siap berpartisipasi dalam sebuah dialog kerakyatan yang tidak melulu dengan kata.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai...

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gert...

Araki yang Sentimental

Ketika hidup sedang tidak terlalu ramah, beberapa orang mungkin akan pergi meracau pada yang lain, sosial media, tidur, atau pergi melangut sendiri. Sementara itu beberapa yang lain akan pergi memotret. Seperti yang dilakukan Nobuyoshi Araki.  “A man should never show his sadness. Even if you feel pain, don’t show it. You shouldn’t do that. Whenever a man fells pain or sadness, he should keep it inside. You should erase those feelings by taking photos. Just like that, it goes away. Don’t be sad and pathetic!” [1] Ya, jangan jadi orang menyedihkan. Simpan sedihmu jauh-jauh di dalam, dan keluarkanlah lewat medium fotografi. Tapi bukan berarti fotografi bisa semerta-merta membuat yang sedih langsung gembira. Dengan memotret, ketidakramahan dalam hidup bisa dikeluarkan. Bisa dituturkan dengan sangat sentimental. Ini Nobuyoshi Araki yang saya ingat. Selain tentu foto-fotonya yang begitu kontroversial. Sisi Araki yang ‘happy go lucky’ , namun sentimental inilah yang amat men...