Skip to main content

Review Film: I'm Not There

Saya tidak terlalu familiar dengan lagu-lagu milik Bob Dylan. Hanya ada satu lagunya berjudul Like A Rolling Stones yang sempat 'nyantol' di kepala karena ada sebuah film yang menggunakannya sebagai soundtrack. 

Ketika kuliah dulu, saya sempat punya CD nya, tetapi tidak terlalu saya simak dan hanya saya dengar sambil lalu karena banyak nada-nada yang Dylan mainkan agak tidak sepaham dengan kuping saya. Sekarang entah kemana CD itu. 

Sebelum akhirnya menonton film yang berkisah soal kisah hidup pencipta lagu dan penyanyi Bob Dylan yang kebanyakan lagunya adalah puisi yang bernarasi, saya sudah sering mendengar film ini. Apalagi ada aktris Cate Blanchett, yang kebetulan salah satu aktris favorit saya, memainkan salah satu karekter Dylan dalam film ini. 

Ini jadi amat menarik bagi saya, karena seorang perempuan menjadi dan melebur dalam karakter laki-laki si penyanyi eksentrik itu. Ini adalah sesuatu yang sangat orisinil dan baru buat saya. Maka ketika salah seorang kawan mengajak menonton DVD bajakan berjudul I'm Not There, tentu saya sangat bergembira. Dan, sungguh seperti yang saya harapkan. 

Film yang bercerita soal berbagai kisah hidup Dylan digambarkan dengan sangat apik dan menyenangkan. Sepanjang film penuh dengan lagu-lagu Bob Dylan yang (ternyata...lama-kelamaan) jadi ramah pada kuping saya. Selain lagu-lagu yang memenuhi film ini, gambar-gambar dalam film ini sangat menyenangkan untuk dilihat, karena diambil dengan gaya dan jenis film yang berbeda, seperti salah satu plot tentang Jack Rollins yang dimainkan oleh Christian Balle diambil dengan film 16 milimeter, dan khusus plot Jude Quinn diperankan oleh Cate divisualisasikan dalam format hitam putih.  
Selama film berlangsung, tak habis-habisnya saya berkata..."anjing...keren banget", banyak dialog yang terinspirasi oleh puisi naratif milik Dylan membuat saya tergugah. Apalagi ada adegan dimana ia bertemu dengan sastrawan Alan Gainsborough dan sama-sama memaki patung Yesus disalib, ini adegan yang penuh dengan sarkasme tetapi sangat menyadarkan. Saya cuma ketawa terpingkal-pingkal melihatnya. 

Ada enam karakter Dylan dalam film ini, yaitu Marcus Carl Franklin yang memainkan karakter Dylan sebagai Woody Guthrie yang digambarkan sebagai seorang anak kulit hitam berusia 11 tahun dan melarikan diri dari sebuah tahanan anak. Ada Jack Rollins yang dimainkan oleh Christian Bale yang merupakan versi Dylan sebagai seorang penyanyi folk muda dengan kesadaran berpolitik, lalu ada Cate Blanchett sebagai Jude Quinn yang adalah versi Dylan pada masa keemasannya di sekitar tahun 60 an. 

Ini menurut saya yang paling sempurna. Akting Cate luar biasa, kata kata "anjing...anjingg...keren banget" berkali kali keluar dari mulut saya ketika melihat Cate. Lalu ada Ben Whishaw yang menjadi Arthur Rimbaud dimana ia menjadi karakter Dylan muda yang pemberontak. Ada juga Heath Ledger yang memerankan Robbie Clark. Dalam plot ini dikisahkan soal romantisme perceraian Dylan dengan istrinya Claire (dimainkan oleh Charlotte Gainsbourg). Dan terakhir ada Richard Gere yang memerankan versi tua Dylan, dan bersetting sebuah kota Wild West klasik yang amat sureal. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Todd Hayness ini berdurasi sekitar 135 menit. Dan selama 135 menit itu, kira-kira ada sekitar 50 kata-kata "anjing keren banget" keluar dari mulut saya....hahahaha, itu prestasi, karena saya biasanya malas menghitung kata-kata anjing itu.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.