Skip to main content

Review Film: Dog Day Afternoon

Ini adalah salah satu film terbaik Al Pacino (subjektif menurut saya). Film yang sederhana, cuma soal perampokan bank yang dilakukan hampir tiga hari, karena mereka (para perampok) ini mau tidak mau harus menyandera para pegawai bank itu. 

Sederhana, karena film ini hanya berisi cerita perampokan serta penyanderaan itu. Dan hebatnya, alur yang sederhana itu tidak membuat saya tertidur. Kisahnya dari sebuah kisah nyata, soal seorang lelaki bernama Sonny Wortzik (Pacino) yang begitu putus asa karena benar-benar membutuhkan uang dalam waktu dekat, nekat mengajak kawannya Sal (John Cazale) merampok bank. 

Perampokan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak profesional ini pun, tidak berlangsung mulus dan akhirnya baunya tercium hingga ke Kepolisian Kota yang segera mengirimkan puluhan pasukannya untuk memblokade bank yang tidak tergolong besar itu. 

Panik dan bingung harus melakukan apa, Sonny dan Sal pun memutuskan untuk terus menyandera para pegawai bank itu hingga keinginan mereka dipenuhi. Salah satunya, melarikan diri dengan sebuah pesawat jet ke Algeria. Supaya lebih jelas, sebaiknya segera saja tonton film ini , karena film yang dibuat berdasarkan artikel pada majalah Life ini, begitu detil menggambarkan berbagai adegan yang ada dalam kisah perampokan itu. Buat saya, film ini begitu menggugah dan banyak memotret masalah-masalah sosial yang secara implisit digambarkan dalam dialog-dialognya, misalnya saja soal isu homoseksualitas, transgender ataupun kemiskinan.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.