Skip to main content

Review Film: New York I Love You

Kalau saya tinggal di New York mungkin saya akan mengalami hal yang sama seperti para tokoh dalam film New York I Love You, ....tapi bisa jadi tidak. Mungkin saja hidup saya akan berjalan dengan hambar-hambar saja, plain, tidak ada romantisme soal pencarian atau kehilangan. Bisa saja saya akan mengalami kemalangan luar biasa, dan pada akhirnya membenci habis-habisan kota yang katanya tidak pernah tidur itu. 

Kalau saya boleh memirip-miripkan, New York mungkin saja agak sedikit mirip dengan Jakarta. Sibuk, selalu hidup, melting pot, banyak pertemuan, banyak perpisahan, banyak kisah yang rumit dan banyak juga yang sederhana. Harapan, skeptisisme, keacuhan, individualistis, ketidakpercayaan, kegelisahan, sedikit banyak jadi semacam karakter para penghuninya. Semua bercampur, bergerak dalam dinamisme, dan mengalur membentuk kisahnya masing-masing, walau pada akhirnya benang merahnya cuma satu, yaitu tentang bagaimana hidup di kota yang tidak pernah tidur. 

Ini mungkin yang kurang lebih saya dapatkan dari menonton film yang merupakan franchise tentang kota-kota cinta yang diproduseri oleh Emmanuel Benbihy. Film pertamanya adalah salah satu favorit saya yang settingnya di Paris, Paris Je’taime (Paris I Love You). Masih dengan spirit yang sama, kolektifitas! Dengan semangat itu, film ini sepertinya ingin menampilkan gambaran beragam dari beberapa penulis serta sutradara ternama, tentang New York. 

Beberapa sutradara ternama terlibat dalam film ini antara lain Jiang Wen, Mira Nair, Shunji Iwai, Yvan Attal, Brett Ratner, Allen Hughes, Shekhar Kapur, Natalie Portman, Fatih Akin, Joshua Marston dan Randy Balsmeyer. Film New York I Love You ini memberi gambaran  beragam yang rata-rata berdurasi 10 menit. Masing-masing gambaran sepertinya ingin memperlihatkan New York sebagai kota dunia yang penghuninya selalu berasal dari suatu tempat yang jauh. Titik beratnya pada masalah dasar yang melulu (sepertinya) menjadi isu besar bagi banyak manusia, cinta. Cinta bukan hanya pada pasangan, tapi cinta antar anak dan orang tua, kawan atau bahkan pada orang yang benar-benar tidak dikenal. 

Bagi saya, menonton film ini adalah hal yang mengasyikan. Dahi saya tidak perlu berkerut-kerut, otak tidak perlu diperas karena mengira-ngira ingin bicara apa film ini, serta jantung saya tidak perlu berdebar-debar karena takut menghadapi frame apa yang akan ditampilkan selanjutnya. Yang saya lakukan cuma menselonjorkan kaki di depan layar 14”, menikmati setiap frame yang manis (walau saya lebih menikmati edisi pertamanya) dan begitu terharu menyaksikan kisah sepasang suami istri yang telah menikah selama 63 tahun, yang melulu bertengkar dengan mesra selama berjalan menuju pantai, serta tersenyum-senyum sendiri melihat makhluk-makhluk gelisah yang sedang mencari dan (mungkin) akan menuju sebuah pertemuan (juga perpisahan).

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.