Skip to main content

Diskusi Antar Gelas

Ini bukan semacam perayaan. Ini hanya sebuah pertemuan, pertukaran kata antara dua orang kawan yang telah lama tak bersua, sebuah diskusi.

 
Bukan diskusi yang melelahkan. Soal pemilu yang sedang hangat-hangat tai ayam, atau soal utang negara yang menumpuk, atau masalah perbatasan negara yang bikin bingung. Ini hanya sebuah diskusi antara dua air, yang selalu bicara tentang perdamaian. Bacardi dan JackD yang mampu meluruhkan penat di otak. Diskusi yang melarut hingga dini hari itu, dimulai dari sebuah jalan raya di ujung Bioskop Metropole, Cikini. Kerinduan dua orang kawan lama yang telah lama tak bersua dimuntahkan saat itu. Bicara tentang kekasih, mantan kekasih, tentang kebosanan, kemarahan juga hal-hal yang remeh temeh. 

Saat itu, deru mobil yang terjebak macet, jadi semacan musik ilustrasi bagi kisah-kisah yang keluar secara jujur dan spontan dari mulut dua orang kawan itu. Belum ada air dengan kadar alkohol tinggi yang hadir dalam perbincangan itu. Hanya sebuah minuman kemasan botol yang rasanya manis bukan kepalang, jadi teman pengiring malam. 

Malam makin melarut, dua perempuan itu pun butuh zat peringan otak. “Mari kita lanjutkan keriaan sederhana ini, ke ujung jalan lainnya?” ucap dua kawan itu bersepakat. Sambil menumpang kendaraan bermoncong maju berwarna merah, ujung malam pun terus bergulir di jalan sekitaran Wahid Hasyim. Di melly’s kami kembali berdiskusi. Seorang kawan turut bergabung. Kawan baru bagiku. Kawan dengan setumpuk kemarahan pada seseorang juga setumpuk kerinduan di dalamnya. Ia bercerita, aku mendengar. 

Kawanku yang lain juga bercerita, aku mendengar. Tidak cuma mendengar, tetapi juga memutar otak, dan kadang-kadang melayangkan pikiran entah ke mana. “Hei, bukan sekedar bir yang kita butuhkan, aku mau JackD, kau mau tidak?” Kawanku bertanya. “Menarik, sudah lama tidak memasukkan minuman kadar alkohol tinggi ke tubuhku. Hmm aku mau Bacardi kalau gitu, minuman yang sempat bikin aku muntah-muntah di pelataran parkir pasar baru tiga tahun lalu,” ucapku menggumam. Maka datanglah Bacardi dan JackD untuk bergabung dalam diskusi tiga orang kawan itu. 

Seteguk Bacardi, membuat perutku panas dan otakku meranggas. Dua teguk lainnya membuatku berpikir tentang seseorang yang entah sedang apa di sana dan entah memikirkanku atau tidak. Tiga teguk lainnya, membuat otakku sedikit melayang. Ada ranah abu-abu yang muncul saat itu. Semua seperti berhenti. 

Kawanku yang sedang sibuk meneguk minumannya, asap rokok yang membumbung bumbung dari mulu-mulut kami, teriakan dan tertawa lepas orang-orang, musik yang mengalun dari alat pemutarnya, semua berhenti pada titik itu. Bahkan suara deru mobil, bajaj, dan angin dini hari di jalan Wahid Hasyim juga berhenti. Cuma diriku yang masih meneguk cairan itu, tidak ikut berhenti. Damai sekali rasanya saat itu. Aku bisa mengamati wajah kawanku yang juga sedang meneguk Jack D dengan cermat. Mungkin saja saat ini, ia sedang mengalami hal yang sama denganku di kepalanya. Saat dimana dunia berhenti, dan memberi salut untuk sebuah perdamaian. 

Ketika itu, aku cuma menyelonjorkan kaki, menyenderkan bahuku pada tembok melly’s dan menarik nafas panjang, memejamkan mata dan ikut berhenti bersama dengan atmosfir di sekelilingku. Lalu seteguk Bacardi, lainnya, membuat semua yang berhenti kembali berjalan, walau tubuhku semakin ringan rasanya. Aku bersama dua kawanku pun kembali bercerita, berdiskusi dan menertawakan kebodohan. Maka kami bersulang untuk kebodohan. “Tingggg”, Bacardi dan JackD pun bersentuhan di udara dan meneruskan diskusinya sambil merayakan kehidupan. Yah...hidup yang bodoh, menyebalkan, mengerikan, lucu atau menyenangkan. Salut for Life. 


Jack Daniel's is a brand of Tennessee whiskey that is among the world's best-selling liquors and is known for its square bottles and black label. It has been prominently featured in movies, songs, and novels, and is strongly linked to rock and roll, country music, American biker culture, Jimmy Page, Frank Sinatra, Keith Richards, Lemmy, Nikki Sixx and Slash. The brand is produced in Lynchburg, Tennessee by Jack Daniel Distillery, which has been owned by the Brown-Forman beverage company since 1956. Despite the operational distillery, Jack Daniel's home county of Moore is a dry county. (source wikipedia) Bacardi is a family-controlled spirits company, best known as a producer of rums including Bacardi Superior and Bacardi 151. The company sells in excess of 200 million bottles per year in nearly 100 countries. The company's sales in 2007 were $5.5 billion USD, up from $4.9 billion USD in 2006. Bacardi is headquartered in Hamilton, Bermuda and has a 16-member board of directors led by the original founder's great-great grandson, Facundo L. Bacardi. The President Bernard F. Ramirez and Co-President Charles M. Hernandez, also play a large part in production and sales. (source wikipedia)

Comments

Anonymous said…
Dasar.. udah tau haram malah diminum, gebleg. Ini nih tipikal cewek jaman sekarang, biar dikira gaya, gampang dipengaruhi utk diajak ngedrunk. Ini tipe orang yg bikin ancur teman2 disekelilingnya, lama kelamaan, proses penghancuran akan meluas, tapi dia sendiri tidak sadar akan hal itu.
Lucia Dianawuri said…
masalahnya buat kami gak haram om, mas, mbak, pak....

:D soalnya tuhan saya juga minum bareng sama saya....

toast deh buat anda....


:p

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.