Fotografi adalah medium. Ia
juga bisa menjadi bahasa. Sarana untuk bercerita, menyampaikan kisah atau
sebuah pesan. Lewat gambar-gambar fotografis, sebuah cerita diartikulasi secara
personal oleh pembacanya. Beberapa gambar bahkan diartikulasi menjadi sebuah
realitas.
Nigerian
Monarchs karya George Osodi ini adalah salah satu essay foto yang
dibuat untuk memanfaatkan kemampuan medium fotografi itu. Karya ini muncul dari
kegelisahan George akan realitas di negerinya akhir-akhir ini. Sebuah realitas
yang menurutnya tidak menyenangkan. Kegelisahan George pada negerinya itu kemudian
disampaikan secara menarik lewat karya yang hingga kini masih terus ia kerjakan.
Sebuah karya yang dibuat agar ia bisa merekonstruksi realitas negerinya.
Realitas Nigeria
Masa Kini
Unknown
gunmen have stormed a viewing center in Nigeria's northeastern town of
Potiskum, killing two people and leaving several others wounded. http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/
Nigeria kini adalah sebuah
negeri yang sedang bergerak dinamis. Negeri ini adalah salah satu negara
terluas di Afrika Barat. Nigeria memiliki kekayaan sumber daya, baik manusia
serta alam, yang amat melimpah. Ia kaya minyak dan memiliki etnis yang berwarna.
Namun, kekayaan negeri ini selain menguntungkan, rupanya juga sangat merisaukan.
Sumber-sumber kekayaan negeri itulah yang selama ini sering menjadi pemicu
konflik.
|
Seperti Indonesia, Nigeria juga
sempat menjadi jajahan negara Barat. Baru pada 1 Oktober 1960, Nigeria mendapat
kemerdekaan dari Inggris. Lepas dari Inggris, Nigeria akhirnya memasuki
pemerintahan diktator dan baru ketika Olusegun Obasanyoda terpilih sebagai
presiden Nigeria, Nigeria memasuki era demokrasi. Olusegun terpilih secara
demokratis dengan mengantongi 2/3 suara. Ia diusung oleh People's Democratic
Partay (PDP). Ini menjadi tanda berakhirnya masa kediktatoran di Nigeria.
Namun Nigeria yang sejatinya
amat beragam itu, belum benar-benar bisa bersatu, karena keberagaman itu juga memunculkan
banyak kepentingan. Tercatat, selama lebih kurang 30 tahun Nigeria sempat
mengalami perang saudara. Salah satu nya adalah berbagai konflik yang dipicu
oleh kelompok Boko Haram yang ingin mendirikan negara Islam murni. Kelompok ini
sempat menjadi perhatian dunia karena belum lama ini telah menculik 200 pelajar
perempuan. Selain Boko Haram, sejumlah kelompok militan yang tersebar di
beberapa penjuru Nigeria sering berkonlik dengan pemerintah, dan menyebarkan
teror.
MAIDUGURI,
Nigeria (AP) — After a weekend of violence, officials say 32 people were
killed in an attack on the northern Nigerian village of Mafa Sunday night,
after soldiers fled the area, outgunned by suspected Islamist insurgents. http://www.bet.com/news/global/2014/03/03/nigeria-bloodshed-continues-with-32-dead.html
|
Foto dan Realitas Nigeria
Sejak awal ditemukan, kemudian
diproduksi secara massal, kamera telah menjadi benda yang amat revolusioner.
Dengan kemampuannya merekam gambar serta memberhentikan momen, kamera telah
mencipta revolusi pada sejarah kebudayaan umat manusia.
Apalagi ketika kamera semakin
kecil dan semakin terjangkau. Semua orang pun berlomba-lomba memiliki kamera. George
Eastman, seorang pebisnis yang melihat peluang besar dari bisnis visual ini,
adalah salah satu pioner dari keterjangkauan kamera itu. Dengan tagline, “You Press The Button We Do The Rest”
kamera Brownie keluaran Kodak ciptaan Eastman itu, menjadi barang yang ketika
itu layaknya camilan populer, jika belum memiliki bisa dianggap tidak mengikuti
semangat jaman. Orang- orang pun menjadi penikmat fotografi dan menjadi
produsen serta obyek foto itu sendiri.
Wabah itu pun menjangkiti
dunia. Fotografi menjadi medium yang sangat berguna. Ia juga digunakan oleh
orang-orang yang berkepentingan untuk mencapai tujuannya. Salah satunya adalah
rezim yang berkuasa. Citra fotografis yang diproduksi dan direproduksi
terus-menerus, lalu disebarkan pada ruang-ruang yang pas, adalah alat sempurna
untuk menciptakan realitas ala rezim itu. Ia adalah alat propaganda yang
mujarab.
Dalam sejumlah catatan, medium
fotografi mulai digunakan untuk mendokumentasikan Afrika, khususnya Afrika
Barat dan Tengah, pada tahun 1850 an dan 1860 an. Ketika itu studio foto mulai
dibuka di kota-kota pelabuhan seperti Freetown, Monrovia atau Accra.[2]
Ketika itu fotografer, termasuk fotografer Afrika sendiri, berlomba-lomba
menampilkan Afrika yang eksotis,[3]
sekaligus sebagai negeri “hitam”.
Konstruksi bahwa Afrika itu “hitam”,
miskin, dan “tidak beradab” adalah salah satu peninggalan kolonialisme yang
masih tetap kronis pada era paska kolonialisme. Oleh para penjajah, Afrika dicitrakan
secara fotografis sebagai sesuatu di luar diri mereka. Sesuatu dari negeri jauh
yang pada beberapa bagian amat eksotis.
Pada masa kolonial, bagi
khalayak pribumi, kamera adalah sesuatu yang tidak tersentuh. Sebuah medium
yang asalnya dari negeri barat yang hanya mampu diakses oleh segelintir orang
saja. Pribumi menjadi tidak bersuara. Keterbatasan aksesibilitas pada kamera itu
pun dimanfaatkan dengan semena oleh segelintir orang yang berkepentingan
mengkonstruk realitas orang-orang yang mereka anggap sebagai jajahan. Fotografi
kemudian menjadi medium untuk menciptakan citra tentang bangsa Barat yang
datang ke benua itu sebagai Mesias untuk memperadabkan Afrika.
Salah satu fotografer asal
Afrika yang menampilkan Afrika secara elegan dari mata Afrika sendiri adalah
Seydou Keita. Ia adalah salah satu fotografer asal Afrika yang tercatat dalam
sejarah fotografi kontemporer dunia. Seydou adalah fotografer asal Mali. Lewat
lensanya, Keita menampilkan Afrika yang glamor dan berkelas. Ketika itu, jika
warga Mali dan sekitarnya, terutama kalangan atas dan pesohor ingin membuat
citra fotografis yang elegan, mereka akan datang ke Keita. Ia berjaya pada
tahun 1950-an. Namun Keita baru mendunia puluhan tahun kemudian, ketika ia
sudah tidak aktif lagi memotret. Sebelum itu, di Eropa, Seydou Keita hanya
dikenal dengan sebutan unknown. Seorang
unknown yang memotret wajah-wajah
Afrika yang eksotis, yang sesuai dengan harapan masyarakat Barat tentang negeri
jauh itu.[4]
Hingga kini, tidak bisa
dipungkiri, citra-citra fotografis tentang Afrika yang beredar di dunia
kebanyakan adalah gambaran eksotis penuh dengan stereotipe negeri “hitam” itu. Di
luar Keita, sejumlah fotografer –baik orang Afrika sendiri- yang namanya tidak
tercatat, seringkali masih mencitrakan Afrika dalam satu citra fotografis
seperti ini.
Gambar fotografis ini tampaknya
sudah menjadi semacam realitas yang dimaklumi kebenarannya oleh khalayak. Ini
terbukti, ketika saya sedang melakukan riset sederhana untuk tulisan ini. Saya
bertanya kepada sejumlah kawan fotografer tentang apa yang ada di kepala
mereka, ketika membicarakan Nigeria dan fotografi. Kebanyakan dari mereka akan
menjawab, “Kayaknya fotografinya belum berkembang dan yang kelihatan ya
foto-foto tentang kerusuhan, Boko Haram, atau kemiskinan.”
Namun setelah saya berselancar
di dunia maya, ternyata ada sebuah essay foto karya fotografer asli Nigeria yang
begitu menarik mata saya. Dalam karya itu terlihat para lelaki kulit hitam mengenakan
pakaian tradisional berwarna-warni yang tampak begitu berwibawa, dan sangat
elegan. Ya, karya itu adalah Nigerian
Monarchs, milik George Osodi.
Rekonstruksi
Identitas Nigeria Lewat Nigerian Monarchs
George Osodi adalah seorang
fotografer kelahiran Nigeria yang sudah memiliki rekam jejak di dunia
internasional. Ia mendokumentasikan Nigeria dari berbagai sisi. Ia tidak hanya
mendokumentasikan soal-soal yang gelap dan hitam saja. Ia mendokumentasikan
Nigeria yang begitu berwarna, Nigeria yang sebenar-benarnya. George adalah
salah satu generasi baru fotografi di Nigeria yang memanfaatkan medium ini
bukan hanya sebagai alat propaganda yang berkuasa, tetapi sebagai alat untuk merepresentasikan
diri, refleksi dan merayakan diri sendiri. Nigerian
Monarchs adalah salah satu contoh karya fotografis itu.
Dalam foto essay ini, George
memotret para penguasa tradisional dari berbagai kerajaan di Nigeria yang
banyak diantaranya telah ada semenjak konsep Nigeria sebagai sebuah negeri
belum dimunculkan oleh pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1914.
screenshot
dari http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/
Bila ditelusur ke belakang, kerajaan-kerajaan
tradisional di Nigeria sudah bermunculan lebih dari 2000 tahun yang lalu,
termasuk Kerajaan Kanem-Borno, kerajan Hausa dari Katsina, Kano, Zaria dan
Gobir di bagian utara Nigeria Utara, Kerajaan Yourba dari Ife, Oyo dan Ijebu di
Nigeria Barat Daya dan Kerajaan Benin di sebelah Selatan, serta komunitas Ibo
di bagian Timur.[5]
Namun ada sejumlah kerajaan
yang baru muncul sesudah tahun 1914, dan bahkan juga ada yang muncul baru-baru
saja. Kemunculan kerajaan-kerajaan yang baru saja adalah gambaran dari begitu
besarnya tarik ulur kepentingan diantara mereka. Sejumlah kerajaan yang muncul
sesudah 1914 kebanyakan adalah bentukan pemerintah kolonial Inggris yang ingin
menciptakan Raja-Raja boneka yang dapat mereka kontrol secara langsung.
Memang secara formal dalam
pemerintahan negara, kedudukannya tidak terlalu berpengaruh dalam hal kebijakan
publik. Namun secara informal para Raja ini memiliki pengaruh sangat kuat diantara
rakyat pendukungnya. Hal ini terjadi karena para Raja umumnya memiliki kapital ekonomi, kapital
sosial, kultural serta simbolik yang amat kuat.
Pada mulanya Nigeria adalah
bagian dari kebudayaan kuno Nok. Perbatasan Nigeria dan Kamerun adalah rumah
bagi orang-orang yang berbicara bahasa Bantu, sebuah bahasa yang secara umum
menjadi bahasa ibu bagi banyak negara-negara Afrika di bagian selatan Gurun
Sahara. Kini tercatat kurang lebih ada 500 kerajaan tradisional di Nigeria. Masing-masing kerajaan itu memiliki corak dan
warna yang beragam. Masing-masing juga memiliki pemerintahan dan kepemimpinan
tradisional yang khas sesuai dengan adat tradisi serta pengalaman sejarah
mereka masing-masing.
Para pemimpin tradisional ini mendapat
pengakuan akan kekuasaanya dari kesetian rakyat mereka, walaupun tidak ada
Undang-Undang yang menjadi dasarnya. Kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional
ini dibiayai oleh kekayaan serta properti yang diwariskan, selain itu juga berbagai
kontribusi dari seluruh anggota komunitas.
Kebanyakan dari kelompok etnis
ini tersebar di sepanjang Delta Niger, tempat dimana sumber daya alam Nigeria
yang paling kaya tersembunyi. Perebutan kuasa atas ladang-ladang minyak yang
besar itu pulalah yang seringkali menjadi sumber konflik antar klan di Nigeria.
Selain juga karena sejumlah perbedaan keyakinan dan kepentingan yang sudah
tidak bisa dijembatani lagi secara damai.
screenshot
dari http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/
Dalam rentetan foto itu, Para
Raja serta para pendampinya tampak berpose secara kaku di hadapan kamera
George. Mereka pun mengenakan pakaian kebesaran lengkap beserta ornamen-ornamennya.
Para Raja beserta pendampingnya, dipotret dilatari interior desain istana. Hal
ini menggambarkan kekuasaan atas rakyat mereka. Beberapa Raja juga tampak duduk
di atas kursi kebesarannya. Secara simbolik foto semacam ini jelas sebuah afirmasi
atas bentuk kekuasaan. Dalam konteks ini adalah, kekuasaan para Raja ini atas rakyat
Nigeria di daerah yang mereka kuasai.
Foto-foto ini memang tampak berjarak.
Namun justru jarak inilah yang membuat rakyat serta pemerintahan Nigeria segan
kepada para pemegang kekuasaan Monarki ini. Para Raja ini justru yang paling
kenal dan ‘dekat’ dengan rakyat Nigeria, karena keterbatasan wilayah kekuasaan
membuat mereka sering berhubungan secara langsung dengan rakyat. Kekuasaan para
Raja ini masih bisa terus hidup, justru karena mereka dihidupi oleh loyalitas
rakyat. Dalam beberapa hal, menurut George, pendapat para Raja ini akan lebih
didengar dibanding pendapat Presiden atau bahkan Tuhan sekalipun.
Cara mendokumentasikan yang
demikian itu adalah upaya George menampilkan Nigeria yang berwibawa dan tidak
sehitam seperti yang selama ini ditampilkan. Dengan barisan foto yang berwarna-warni,
serta barisan jubah yang tampak anggun dan elegan, George ingin menggambarkan
bahwa orang-orang Nigeria adalah orang-orang yang bangga akan dirinya sendiri,
akan identitasnya serta akan kebudayaannya.
Nigerian
Monarchs adalah gambaran bahwa Nigeria memiliki kekayaan yang tidak
banyak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, kekayaan ini
tidak seharusnya menjadi sumber konflik yang membabibuta. Bagi George,
keberagaman ini adalah harta karun Nigeria yang seharusnya menjadi sumber
kebanggaan seluruh bangsa. Sebuah identitas Nigeria yang kaya warna namun tetap
harmonis dalam perbedaan.
Lewat essay foto ini, George
ingin merekonstruksi identitas Nigeria. George ingin merayakan identitas ke-Nigeriaan-nya.
Lewat dokumentasi serta arsip-arsip visual ini, George berharap khalayak
pembaca Nigerian Monarchs dapat
semakin mengerti sejarah bangsa Nigeria. Dan selanjutnya, ia berharap, hal ini
bisa menjadi cara ampuh untuk mengembangkan rasa cinta pada identitas nasional
bangsa Nigeria.
Kecintaan pada identitas
nasional Nigeria ini menjadi begitu krusial karena berbagai konflik yang
terjadi selama ini adalah gambaran betapa bangsa Nigeria belum benar-benar
mengenal, atau menurut George, sudah melupakan budaya serta sejarahnya sendiri.
Jika diri sendiri belum benar-benar mengenal diri, bagaimana mungkin orang luar
juga akan mengenal mereka dengan baik.
Jika kita tidak mengenal diri
dengan baik dan tidak mewartakan yang baik ke luar, maka orang luar akan
memiliki kuasa untuk mewartakan hal apapun yang dianggap laku dijual. Berbagai
stereotipe serta hal-hal kontroversiallah yang akan diwartakan. Sudah saatnya,
menurut George, orang Nigeria sendiri, bercermin pada budaya sendiri, bangga
akan hal itu lalu menampilkannya pada dunia luar.
Nigerian
Monarchs adalah on going
project. Hingga kini George masih terus mendokumentasikan Raja-Raja kecil
Nigeria yang tersebar di penjuru negri. Perjalanan jauh serta akses ke para
Raja ini yang ternyata tidak mudah, membuat projek ini menjadi projek yang
tidak sebentar. Namun, hingga kini, tanggapan amat positif telah bermunculan
dari khalayak. Karya George ini telah melanglang buana dan dipamerkan di
sejumlah negara Eropa. Khalayak Nigeria sendiri pun amat positif menyambut
karya ini, karena akhirnya ada mata Nigeria sendiri yang mengabadikan Nigeria
sebenar-sebenarnya.
Lucia Dianawuri
Peneliti Pussaka Institute
*Tulisan ini ditulis untuk newsletter Biennale Jogja, The Equator, edisi Oktober 2014
Referensi :
Peres, Michael R (ed), Focal Encyclopedia of Photography,
4th Edition, Oxford:
Elsevier
Inc., 2007.
Contemporary Arts in Northern Nigeria
Exposing Nigeria’s historical photographs.
George Osodi : Kings of Nigeria
Mengenal Sejarah Nigeria
Nairaland Forum
Nigeria’s Image in Africa : Big Country Thin Skin
Nigerian Monarchs
Nigerian Artist, George Osodi
Nigerian Monarchs : A Major Exhibition By Acclaimed
Nigerian Photographer George Osodi
Press Release announced for George Osodi’s “Nigeria
Monarchs Exhibition”
Photography of West Africa and beyond, 1840 to now.
Traditional States of Nigeria
Sumber foto-foto Nigerian Monarchs http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/
Sumber foto Kemiskinan Afrika http://www.b.dk/kommentarer/afrika-i-vore-hjerter
Sumber foto Kekerasan di
Nigeria http://www.bet.com/news/global/2014/03/03/nigeria-bloodshed-continues-with-32-dead.html
Sumber foto Unknown Gunmen
in Nigeria http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/
Film
New African Photography 2013 episode George Osodi, Produksi Aljazeera
Film
BBC The Genius of Photography episode 6, Produksi BBC
[1]Hitam di sini adalah metafora
terhadap situasi yang buruk, negatif. Berkebalikan dengan putih yang secara
umum dipersepsikan orang sebagai kondisi yang baik, bersih, atau tidak tercela.
Secara faktual, sejumlah gerakan separatis memang sering muncul di dalam
negeri. Walaupun kaya akan sumber minyak, tingkat kemiskinan juga cukup tinggi
di negara ini. Selain itu Nigeria juga terkenal menjadi salah satu tempat bersarangnya kejahatan terorganisir atau
mafia, terutama dalam hal penjualan narkoba. Pembajakan juga kerap terjadi,
umumnya menyerang kapal-kapal milik perusahaan penambangan minyak di Delta
Niger. Sejak Januari 2007, sudah terhitung sekitar 26 pembajakan dilakukan.
[2] http://africaphotography.org/about
[3] Ini
tidak jauh berbeda dengan terma Moi Indie
(Beautiful Indies) di Nusantara. Saat
Nusantara masih dikolonisasi oleh Barat, foto-foto juga lukisan-lukisan yang
ditampilkan adalah, citra-citra yang menampilkan eksotisme visual Nusantara.
Hindia-Belanda yang cantik dan indah.
[4] BBC The
Genius of Photography, episode 6
Comments