Skip to main content

Araki yang Sentimental

Ketika hidup sedang tidak terlalu ramah, beberapa orang mungkin akan pergi meracau pada yang lain, sosial media, tidur, atau pergi melangut sendiri. Sementara itu beberapa yang lain akan pergi memotret. Seperti yang dilakukan Nobuyoshi Araki. 

“A man should never show his sadness. Even if you feel pain, don’t show it. You shouldn’t do that. Whenever a man fells pain or sadness, he should keep it inside. You should erase those feelings by taking photos. Just like that, it goes away. Don’t be sad and pathetic!”[1]
Ya, jangan jadi orang menyedihkan. Simpan sedihmu jauh-jauh di dalam, dan keluarkanlah lewat medium fotografi. Tapi bukan berarti fotografi bisa semerta-merta membuat yang sedih langsung gembira. Dengan memotret, ketidakramahan dalam hidup bisa dikeluarkan. Bisa dituturkan dengan sangat sentimental.

Ini Nobuyoshi Araki yang saya ingat. Selain tentu foto-fotonya yang begitu kontroversial. Sisi Araki yang ‘happy go lucky’ , namun sentimental inilah yang amat menarik buat saya.



Siapakah Araki ?


Nobuyoshi Araki adalah seorang Jepang yang lahir pada tahun 1940. Ia dibesarkan di Tokyo, sangat menikmati Tokyo, jatuh cinta pada kota sibuk itu dan tidak bisa meninggalkannya.

Nobuyoshi Araki -selanjutnya akan saya sebut Araki- dibesarkan dengan segala tradisionalitas dan humanitas yang sangat Jepang. Ia besar dengan kultur Patriarki Jepang, serta dididik dengan latar sosio kultur yang sudah turun temurun mengalir dari jaman Edo. Walaupun demikian, segala kualitas laki-laki klasik ala Jepang itu, tidak membuatnya semerta-merta menjadi seorang yang patriarkis. Seorang kawan Araki mengatakan, Araki itu selalu hidup dengan semangat “bocah laki-laki”.

Araki menyelesaikan pendidikan fotografi dan produksi film di Universitas Chiba, setelah itu ia bekerja sebagai fotografer komersil pada Dentsu, sebuah agen periklanan. Di sinilah ia bertemu dengan Yoko yang akan menjadi istrinya kemudian. Pada periode ini, Araki menggelar pameran pertamanya, Satchin dan Mabo. Seri ini berbicara mengenai kehancuran yang ditimbulkan oleh perang serta bagaimana Jepang membutuhkan sebuah awal baru untuk memulai lagi membangun masyarakatnya.

Pada periode ini, sekitar 1970-an, Araki mulai memantapkan dirinya pada ranah fotografi fine art. Tahun 1971, ia mengeluarkan buku foto pertamanya berjudul Sentimental Journey. Karya inilah yang membuat namanya mencuat.

Dalam Sentimental Journey ia menampilkan kisah bulan madunya bersama Yoko. Araki menangkap momen-momen personalnya bersama Yoko dan membekukannya dalam gambar-gambar yang begitu intim. Gambar-gambar itulah yang membuat karya ini jadi begitu kontroversial ketika itu. Publik Jepang begitu kaget, sekaligus diam-diam mengagumi gambar-gambar dalam Sentimental Journey. Kemudian pada tahun 1991, ia melanjutkan karyanya itu. Sentimental Journey/Winter Journey. Ini adalah dokumentasi Araki atas Yoko yang ketika itu mulai menurun kesehatannya. Hingga akhirnya Yoko meninggal.

Semenjak itu, Araki mulai menciptakan kontroversi-kontroversi dalam berbagai karyanya. Erotisme menjadi pusatnya, dan kehidupan serta kematian mengelilingi pusat itu. Obsesinya pada tema-tema itu tercipta dari pengalaman masa kecilnya di tempat ia dibesarkan.

Araki bercerita bahwa taman bermainnya ketika itu adalah sebuah pemakaman yang berada tidak jauh dari rumahnya. Di sebelah pemakaman itu ada sebuah lokalisasi. Menurut Araki, para PSK yang mati dan tidak memiliki keluarga, akan dikebumikan secara massal pada tempat yang sudah disediakan di pemakaman itu. Pengalaman melihat peristiwa itu, ternyata sangat membekas dalam ingatannya.

Araki kecil sudah mengalami sendiri soal erotisme, kehidupan dan kematian yang saling berkelindan itu. Mereka saling bersatu. Dari pengalaman masa kecilnya itu Araki merasakan bahwa erotisme adalah pusat kehidupan dari para PSK itu, dan pada akhirnya mereka tidak bisa mengelak dari kematian. Bagi Araki, apa yang ia alami dalam penggalan kecil ruang hidupnya itu adalah inti dari Tokyo yang ia tinggali selama ini -atau bisa saya katakan, itu adalah inti dari kehidupan yang sesungguhnya- dimana hidup dan kematian berdampingan satu sama lain. Ada sudut-sudut di Tokyo yang begitu ramai penuh kehidupan, tetapi ada juga sudut-sudut yang begitu sepi, seperti sebuah kematian.

Saat Araki menjalani kesehariannya di Tokyo, ia akan masuk dalam dunia monokrom dan mengalami kematian, kemudian setelah itu ia akan masuk dalam dunia warna untuk akhirnya mengalami kehidupan. Selalu berulang. Menurut Araki, itulah yang ia lakukan selama ini, berjalan diantara keduanya. Konsep itu yang kemudian menginspirasi mayoritas karyanya. Karya tentang hidup itu sendiri, yang secara visual diwujudkan oleh Araki lewat gambar-gambar erotis yang secara vulgar mengeksplorasi ketelanjangan.

Lewat seni Kinbaku, sebuah tradisi bondage[2] ala Jepang, Araki mengelaborasi konsep erotisme, kehidupan dan kematian itu dan melakukan berbagai eksplorasi visual. Sejak tahun 1979, Kinbaku telah menjadi salah satu cara Araki mengekspresikan kecintaanya yang teramat sangat pada perempuan. “Sexually and unconsciously. I just found myself drawn to woman.” Karena bagi Araki, vagina adalah awal dari munculnya seni visual itu. Atau paling tidak, awal inspirasi bagi Araki untuk berkarya di ranah visual.

Kecintaan Araki pada perempuan –tubuh perempuan- itu yang terus menginspirasi Araki menciptakan karya-karya yang erotis. Salah satu seri foto Araki tentang bunga adalah salah satu contoh karya Araki yang demikian. Walaupun tidak secara vulgar menampilkan tubuh-tubuh telanjang, secara implisit karya ini berbicara tentang pusat dari keperempuanan ataupun kelaki-lakian, yaitu alat genital mereka.

Karya-karya yang kontroversial serta banyak memainkan simbol-simbol itu membuatnya sering dicap gila, bahkan monster. Seorang monster yang selalu tampak gembira, tetapi karya-karyanya selalu mendobrak konservatisme ala Jepang. Pendobrakannya itu ia lakukan dengan cara mengadopsi berbagai tradisi Jepang, mengolahnya bersama dengan imajinasinya yang liar, kemudian menampilkannya dengan cara yang amat biasa, sehari-hari. Ia memotret para model perempuannya dengan kimono yang sangat tradisional khas Jepang. Tetapi, dalam beberapa frame foto ia akan menampilkan vagina para perempuan itu dengan begitu vulgar dan terang-terangan. Araki seperti menggabungkan yang tradisional dengan yang kontemporer dan meramunya dalam kerangka erotisme yang kental.

Banyak yang belum bisa menerima ide ini. Araki pun sempat berurusan dengan pihak yang berwenang di Jepang. Banyak yang begitu ketakutan untuk datang ke pamerannya, karena dianggap tidak layak dipertontonkan di ruang publik. Dalam masyarakat Araki (masyaraakat kita), seks dan erotisme memang selalu menjadi tema yang diperdebatkan, apalagi ketika hal ini diumbar di ruang publik. Seks memang dikebiri di ruang publik. Bagi kaum feminis, karya-karya Araki dianggap seksis dan melecehkan perempuan. Sementara para kaum moralis menganggap karya-karya Araki dapat membahayakan status quo.

Namun selain apresiasi yang demikian, kontroversi yang muncul di seputar karyanya itu, justru membuat Araki menjadi fenomenal. Karya-karyanya pun diakui secara nasional serta internasional. Ia tercatat sebagai salah seorang fotografer era kontemporer yang cukup berpengaruh di dunia. Sejumlah karyanya telah masuk dalam museum-museum dunia seperti Tate Modern, San Francisco Museum of Modern Art serta the Fotomuseum Winterthur di Swiss. Dan buku foto pertamanya Sentimental Journey (1971) serta buku foto lainnya, Tokyo Lucky Hole (1985) dan Sentimental Journey/Winter Journey (1991), tercatat sebagai buku foto yang diperhitungkan sebagai referensi bagi dunia fotografi kontemporer saat ini.

Bagi Daido Moriyama –seorang fotografer ternama Jepang serta salah satu kolega Araki-, Araki adalah salah satu fotografer yang mampu mengubah pandangan masyarakat tentang pubic hair (rambut di pubis perempuan). Dulu foto-foto yang berkenaan dengan pubic hair ini akan berada pada dua ranah yang ekstrim. Pertama ia akan berada di ranah seni, atau di ranah pornorgrafi. Tetapi, dengan orisinalitasnya yang nakal dan cerdas, Araki mampu mengubah hal itu. Araki menolak dua ranah itu, dan berhasil menggabungkan keduanya dengan sangat cantik. “Rambut di pubis” itu bahkan telah menjadi hal yang -layaknya seperti- sebuah keseharian, menjadi hal yang biasa saja.


Fotografi itu Sentimental


Araki, Sentimental Journey, 1971

Araki si monster yang “happy go lucky”, atau Araki si monster yang sentimental. Bagi saya, dua kualitas ini dimiliki oleh Araki. Ketika saya mulai terbenam dalam ‘dunia Nobuyoshi Araki’, dan dalam waktu sangat lama menyelesaikan tulisan ini, saya seperti mendapat pesan utama yang ingin disampailan oleh si “monster Jepang” ini. “Dont be sad and pathetic!”

Ya tentu ini sangat personal. Efeknya pasti sangat berbeda pada tiap persona. Seperti efek habis mengkonsumsi jamur tahi sapi. Kalau kata teman saya, setiap orang punya pengalaman estetiknya masing-masing saat mencapai titik hilang dengan jamur tahi itu. Kalau dalam konteks ini adalah saat saya dimediasi oleh teks-teks visual yang ia sampaikan, saya seperti hilang lalu bertemu dengan “si monster Jepang” ini secara langsung. Kualitas Araki yang “happy go lucky” namun sentimental itulah yang saya rasakan paling nyantol di ingatan saya.

Ini mungkin karena Araki memilih fotografi sebagai medium untuk menuturkan rasa. Sejak dari awal mula fotografi menjadi populer, medium ini memang telah menjadi medium yang amat sentimental untuk mengungkapkan rasa-rasa yang sulit terverbalkan. Bahkan ada jargon yang begitu populer “biar foto yang bicara”.

Ratusan karakter dalam narasi panjang sebuah teks tulis, mungkin bisa dirangkum dalam sebuah foto yang menggambarkan matahari terbenam misalnya. Atau gambar sebuah kuntum mawar yang berdarah, bisa dinarasikan begitu panjang dalam sebuah novel tentang pengkhianatan cinta. Ini adalah kekuatan foto yang rupanya belum benar-benar disadari oleh banyak orang. Dan Araki adalah salah satu yang mengetahui kekuatan besar foto kemudian memanfaatkannya dengan sangat maksimal. Araki yang sentimental ini, ketika sedih memilih mengungkapkan rasa-rasa yang ia alami dalam gambar-gambar fotografis.

Araki jelas sangat sentimental. Saya menjustifikasi dia demikian bukan semata-mata karena buku fotonya yang berjudul Sentimental Journey (1971) dan Sentimental Journey/Winter Journey (1991). Tetapi karena saya sungguh merasa demikian ketika melihat gambar-gambar fotografis milik Araki. Saya jadi sangat sentimental juga, apalagi ketika melihat karya-karya intimnya tentang Yoko – Sentimental Journey dan Sentimental Journey/Winter Journey-.

Saya merasakan ada cinta yang begitu besar serta kepedihan yang begitu dalam. Mungkin saja saat Araki memotret Yoko saat bulan madunya ketika itu, ia sudah merasakan bahwa Yoko akan pergi meninggalkannya. “Our honeymoon was a journey to death”.Tetapi bukankah bagi Araki, kehidupan dan kematian adalah hal-hal yang saling berdampingan, sehingga kematian Yoko yang terdokumentasi dalam sequel Sentimental Journey itu tentu bukan hal yang mengagetkan. Namun, sungguh, saya yakin, jarang yang bisa benar-benar siap kehilangan. Apalagi kehilangan kawan seperjalanan, karena bagi Araki, pernikahan adalah sebuah perjalanan yang sentimental -Sentimental Journey-.

Termasuk juga fotografi yang bagi Araki juga sebuah perjalanan yang sentimental. Fotografi itu adalah kepingan dari waktu-waktu. Ia punya realitas sendiri. Hampir seperti sebuah ilusi. Tetapi kalau kita terus mengumpulkan kepingan itu, maka akan membentuk semacam garis yang akan menggambarkan hidup kita. Dan menurut Araki itulah yang secara tidak sadar dilakukan oleh seorang fotografer. Ia mengumpulkan kepingan momen-momen itu saat ia menekan shutter kamera.

Jadi, jika ingin mengetahui bagaimana sesungguhnya “si monster Jepang” yang tampak selalu gembira ini, tengoklah gambar-gambar fotografisnya. Bagi Araki, kesedihan adalah sesuatu yang tidak perlu secara eksplisit ditunjukkan, dan hanya lewat fotolah, “si monster” ini bisa menunjukkannya. “It’s possible to communicate feeling without talking. That’s what I believe in. I mean, that goes for the camera as well. In this place you don’t have to talk.”

Dan lewat medium ini, Araki seperti ingin mengatakan, bahwa Yoko adalah pusat dari seluruh karya-karya fotonya ini, pusat dari sentimentalitasnya itu. Araki yang patah hati karena ditinggal oleh kekasih hatinya ini kemudian mengikat tubuh-tubuh perempuan yang tidak akan pernah ia bisa miliki jiwa atau hatinya. Karena hanya tubuh perempuan itu yang bisa ia ikat, sementara jiwa atau hatinya (Araki) sendiri, mungkin saja, sudah menjadi hak milik Yoko. Dan hanya lewat foto ia bisa memiliki tubuh-tubuh perempuan itu.

Ya, lewat medium foto, kita tidak perlu secara verbal mengungkapkan sentimentalitas kita, karena dalam foto ada titik-titik yang merangkai makna. Ada rupa-rupa studium[3] yang bisa dibaca sampai berbusa-busa, dan ada titik punctum[4] yang mampu melukai untuk sampai pada waktu ketiga[5]. Dan ketika kita sampai, segala yang ada dalam foto itu hanya akan menjadi semacam gambar yang akan menuntun kita pada refleksi personal tentang diri kita sendiri.

Ini yang sepertinya sedang coba saya lakukan, menuju pada waktu ketiga saya sendiri, sehingga foto-foto Araki hanya akan menjadi medium yang mengantar saya pada refleksi diri. Sebuah refleksi tentang hidup yang harus terus berjalan, walaupun ramuannya sangat sentimental. Kalau kata si monster yang sentimental ini “Focus on what alive, Yoko said, to move on.”


Nobuyoshi Araki






Referensi:
Film Arakimentari, Sutradara Travis Klose, Produser Jason Fried, Regis Trigano, Dylan Verrechia, Distributor Troopers Films, 2004.
www.artuner.com/artist/nobuyoshi-araki/
Barthes, Roland, Camera Lucida, London: Vintage, 2000.
Sunardi, St, Vodka dan Birahi Seorang “Nabi”, Yogyakarta: Jalasutra, 2012.

Sumber Gambar:
Araki, Sentimental Journey, 1971
Nobuyoshi Araki







[1]Petikan wawancara di film “Arakimentari” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
 [2] Bondage secara literal adalah kata dalam bahasa Inggris yang berarti perbudakan, perhambaan, ketergantungan. Dalam konteks tulisan ini, bondage berarti tradisi yang mengadopsi praktek-praktek kekerasan, misal mengikat pasangan ke tempat tidur, atau mengikat tubuh pasangan dengan tali, kulit, dll, saat berhubungan intim (seks).
[3] Studium adalah saat saya mengeksplorasi berbagai objek yang berkenaan dengan foto yang akan dibaca, dan saat saya menempatkan diri saya di depan foto dan menghubungan titik-titik yang berhubungan dengan konteks foto. (baca Camera Lucida hal 27 dan Vodka, dan Birahi seorang Nabi hal 216).
[4] Punctum adalah saat kita memaknai titik-titik yang ada dalam foto kemudian berhenti pada satu titik yang amat “melukai” kita. (baca Camera Lucida hal 43 dan Vodka, dan Birahi seorang Nabi hal 218).
[5] Waktu ketiga atau Satori adalah saat kita sudah melepaskan diri dari foto itu dan melakukan kontemplasi. Saat ini adalah saat kita benar-benar berefleksi dengan diri, atau juga disebut sebagai waktu sebagai subjektivitas. (baca Vodka, dan Birahi seorang Nabi hal 219). 

Comments

Setiawan said…
Memang keren. Saya suka tulisan mbak Luci yang mengupas realitas dari sudut pandang yang unik. Pilihan diksinya juga diluar dugaan.
Lucia Dianawuri said…
Ahhh mas Leo bisaa ajaaa...ahoyyyg
Lucia Dianawuri said…
Makasihhh @Tikah ....hehehe...telat yo mbalese...

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.