Skip to main content

Generasi Muda Rimba Ditengah Perubahan

"Ibu cubalah bekebar lagi, akeh ndok nganing kebaran anggo counterpain iyoy" (ibu coba bernyanyi lagi, aku mau mendengar lagu counterpain itu-red), ucap Penguar seorang bocah Rimba di Makekal Hulu.

Maka keluarlah sebuah nyanyian dari kelompok Peter Pan berjudul Ada Apa Denganmu dari mulutku yang sempat hidup bersama bocah-bocah Rimba di Makekal Hulu, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

Mereka membahasakan Peter Pan dengan Counterpain karena merk obat pegal itu memiliki rima yang sama dan amat familiar di telinga mereka. Sering kali para aktivis LSM yang masuk Rimba membawa obat itu ke dalam Makekal Hulu.

Bocah-bocah rimba yang selalu menemaniku di rimba itu begitu senang dan sering terpaku mendengarku menyanyikan lagu-lagu dari "lain dunia" di luar Rimba.
Aksesibilitas mereka yang begitu terbatas tehadap modernitas membuat mereka begitu haus terhadap segala sesuatu yang baru dari dunia luar.

Lagu-lagu seperti Ada Denganmu serta Karena Cinta milik Joy Tobing adalah lagu yang sering kunyanyikan di Rimba, dan hal inilah yang membuat mereka ingin selalu mendengar lagu itu.
Orang Rimba adalah masyarakat adat satu-satunya yang tinggal di Taman Nasional Bukit 12, Provinsi Jambi.Mereka adalah salah satu komunitas adat di Indonesia yang masih tetap mempertahankan tradisi berburu dan meramu dalam kehidupannya.

Tradisi ini lah yang membuat mereka begitu tergantung dengan hutan dan begitu jauh dari sentuhan dunia luar.
Tetapi gempuran modernitas yang begitu hebat, telah menginfiltrasi kehidupan mereka secara pelan-pelan, merekapun tak punya kuasa untuk menahan gempuran itu.

Persentuhan mereka dengan para pebalok (pelaku ilegal logging), orang trans asal Jawa, aktivis LSM serta para wisatawan yang begitu terkesima dengan eksotika mereka, pelan-pelan menyusup masuk dan mengubah ranah pikir mereka.

"Kiniya urang Rimba lah hopi samo lagi, urang Rimba kiniya lah pake sabun, piado lagi bahelo di Rimba, segelonya lah berubah. Kamiya hopi depot berbuat apa" (sekarang orang Rimba tidak sama lagi, sekarang orang Rimba sudah pakai sabun dan sudah tidak ada lagi dewa di sini. Kami tidak dapat berbuat apapun-red), ucap induk Pengusay, seorang perempuan warga Rimba sambil menghisap sebatang tembakau linting.

Perubahan yang terlalu cepat dan melompati tahap evolusi ini lah yang membuat mereka tidak siap menerima kondisi itu.

Misalnya saja Pengendum (19) seorang pemuda asal Makekal Hulu yang membeli Handphone tanpa bisa menggunakannya.

Ia membeli Handphone itu karena tergoda oleh begitu banyak orang yang masuk Rimba membawa benda kecil berteknologi itu.

Tentu saja, Pengendum sulit menggunakan Handphone itu karena keterbatasan sinyal dan pengetahuannya tentang benda itu.

"Yang penting punya dulu, saya kan kadang ke Bangko, nah di sana sinyal banyak dan juga sudah punya banyak teman,"ujarnya dengan Bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Pengendum adalah salah satu generasi muda Rimba yang telah begitu melebur dengan dunia luar.

Ia sering pergi ke luar Rimba bersama Ibu guru Butet Manurung yang telah mengajarinya baca, tulis dan hitung.

Begitu juga Mijak, kawan sepermainan Pengendum yang juga sering pergi bersama ke luar Rimba, selalu ingin keluar dari Rimba dan hidup sebagai orang meru (terang, dalam hal ini sebutan untuk orang dari luar RImba atau pada konteks ini sebagai orang desa-red).

"Ingin bisa ke luar Rimba sebagai orang desa, tapi kan nanti bagaimana dengan ladang dan rumah di sini. Terus aku kerja apa di luar,"ujar MIjak.

Mijak bahkan tidak ingin menikah dengan perempuan asal Rimba. Baginya perempuan Rimba jorok, tidak modern, dan ketinggalan jaman.

"Hopi, akeh pindok betuna samo perempuan Rimba, rambutnya berkutu, kulitnya ado panu dan kurap ngoli hopi pernah becibuk (tidak, aku tidak mau menikah sama perempuan rimba, rambutnya berkutu, kulitnya penuh panu dan kurap, karena tidak pernah mandi-red),"ujar lelaki berusia 18 tahun ini.

Bagi Mijak, menikah dengan perempuan rimba berarti akan terkungkung terus selamanya di rimba.

Keinginan Mijak untuk berpacaran dengan orang desa sekarang belum terpenuhi, karena perempuan desa pun melihat dia tetap sebagai seorang asal Rimba dengan segala stereotipenya.
"Sulitlah menikah sama orang dusun, karena mereka tetap melihatku sebagai orang rimba. Ya kalau tidak dapat-dapat juga, baiklah aku menikah sama perempuan rimba saja,"katanya sambil memperlihatkan deretan gigi coklatnya.

Penguar, Pengendum dan Mijak hanyalah potret dari ribuan generasi muda Orang Rimba yang sudah semakin terdesak secara kultural dari habitat hidupnya.

Entah sampai kapan kita bisa merasakan keberadaan Orang Rimba sebagai sebuah komunitas budaya di Taman Nasional Bukit 12 dan sekitar Bukit 30, Provinsi Jambi, karena perubahan adalah sesuatu yang absolut dan tidak bisa disangkal.


*tulisan ini dibuat ketika saya masih jadi kuli tinta di sebuah kantor berita nasional

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.