Skip to main content

Kali Adem Rumahku


Sore itu di pinggiran bantaran kali sebuah daerah kumuh Utara Jakarta, tampak perempuan-perempuan dari berbagai generasi berbagi cerita juga tawa. Diantaranya ada Nining seorang perempuan 22 tahun dengan senyum cerah dan rambut panjang berminyak, ada Samsiyah seorang ibu juga nenek yang lebih dari seperempat abad mencecap lumpur dan keruhnya air Kali Adem, ada Nengsih yang sudah bertahun-tahun berjualan ikan asin di pasar Muara Angke, juga ada sejumlah anak perempuan usia sekolah yang duduk-duduk tertawa sambil beberapa diantaranya memainkan hp camera. Mereka semua tampak larut dalam keriaan sederhana yang rutin dirayakan setiap matahari sore perlahan-lahan masuk ke peraduannya. “Memang biasanya setiap sore jam 3 sampai jam 5, ibu-ibu di Kali Adem ini duduk-duduk sambil bergosip di atas dekat gapura kampung. Semuanya bisa dibicarakan di sini,” celetuk Nining sambil memain-mainkan ujung rambutnya. 

Bergosip dan bercanda di sore hari memang saat-saat menyenangkan bagi perempuan-perempuan Kali Adem. Semua masalah seakan mengendap dan lebur ketika itu. “Kalau sudah ngobrol suka lupa dengan lainnya, jadi saya betah banget pada saat-saat seperti ini,” ucap Nining kembali sambil tertawa. 

Sementara itu di sudut lain Kali Adem, tampak sekumpulan pria sedang tidur-tiduran di sebuah balai warga, beberapa diantaranya tampak menggoyang-goyangkan tangan dan kakiknya mengikuti alunan musik dangdut pantura yang disetel keras-keras lewat pengeras suara berbentuk kotak. Para lelaki itu tampak begitu sumringah dengan senyumnya yang tertahan. Mereka semua tampak lupa sejenak dengan apa yang terjadi di luar sana. 

“Dangdut memang candu. Ibarat rokok, sekali hisap pasti ketagihan,” teriak sang Kopral, seorang pelaut handal dengan tahi lalat besar di mukanya. Musik memang bisa membuat lupa, apalagi musik dangdut ala pantura dengan ritme-ritme menghentak dan syair yang menggoda. Dan sebuah balai warga di bantaran Kali Adem itulah yang sering jadi tempat pelarian kecil buat para lelaki warga setempat, untuk berkumpul, mencandu sejenak, tertawa terbahak dan merenggangkan rongga dada dari himpitian nyata. 

“Kalau lagi beruntung suka ada dangdut keliling di pasar atau pelelangan. Cuma kalau lagi tidak ada, ya mending kita kumpul di balai warga sini. Lebih mudah dan murah, apalagi kita sudah punya pengeras suara sendiri,” ucap Naling atau Mulyono yang jadi salah seorang tokoh masyarakat di bantaran kali itu.  
Kali Adem memang punya cerita sendiri. Sebuah cerita soal kemiskinan, sebuah cerita akan harapan. Cerita yang disusun oleh ribuan orang yang tinggal dan menempati sebuah bantaran kali kumuh tidak jauh dari pelelangan ikan Muara Angke di Kelurahan Pluit. Ribuan orang nelayan yang mayoritas berasal dari Indramayu dengan harapan, bahwa ibukota akan bersikap ramah dan memeluk mereka dengan hangat serta memberi susu formula yang akan membuat mereka kuat dan sejahtera. 

Ribuan orang yang kini hanya berjumlah 149 kepala keluarga ini adalah aktor-aktor yang akan bercerita kepada kita tentang bagaimana kemiskinan memang sungguh terjadi, di negara yang berlimpah sumber daya alamnya. 

Menurut kisah dari mulut ke mulut, pemukiman di bantaran kali ini sudah ada sejak tahun 60 an. Sebuah masa dimana Indonesia masih punya kisah tentang seorang pemimpin besar yang jadi salah satu pencetus kemerdekaan. Ketika itu bantaran Kali Adem masih berupa rawa dan empang. “Ini dulu belom seperti sekarang, belum ada kompleks, belum ada pemukiman kaya Blok X, yang ada hanyalah hutan, rawa dan empang-empang,” ucap Casmana lelaki 66 tahun yang telah menjadi saksi dari jaman ke jaman, bagaimana Kali Adem berubah seiring putaran waktu. 

Menurut Casmana, Kali Adem saat itu masih begitu sepi dan belum ada ratusan gubuk juga lapak bertengger di atas bantaran kalinya. “Semua terjadi dan datang begitu saja”, ucapnya kembali, seperti menerawang masa-masa dulu ketika ia masih muda dan giginya masih utuh sempurna. 

Di bantaran kali itulah, satu persatu nelayan asal Indramayu dan sebagian kecil nelayan dari sejumlah daerah di Pulau Jawa pertama-tama menambatkan perahunya lalu mulai membangun gubuk dari kayu seadanya. “Pertama-tama kita butuh tempat untuk menyandarkan perahu. Dan tentunya kita butuh tempat untuk tinggal dan membangun kehidupan kita,” ucap Naling yang ketika itu terjadi ia masih kecil dan belum benar-benar melaut. “Dulu kalau bapak ibu saya bilang sih, dengan membangun gubuk di bantaran kali, semuanya bisa jadi lebih mudah. 

Untuk membangun di atas bantaran kali ini tidak perlu bayar, dan amat dekat dari tempat kita untuk mencari uang,” ucapnya kembali. Bagi para nelayan Indramayu yang hijrah ke Jakarta ini, jakarta adalah sebuah mimpi dan harapan yang harus mereka rengkuh. Walau pada akhirnya tidak seindah harap dan mimpi mereka, laut di Jakarta masih lebih baik dibandingkan di Indramayu. “Di Jakarta hasilnya lebih besar, kita bisa melaut sendiri-sendiri dan kalau hasil laut lagi kosong, kita bisa melakukan apapun yang dapat menghasilkan uang untuk menambal hidup,” papar Naling. 

Dibanding harus bertani di Indramayu untuk menambal waktu dan kantong jika hasil laut sedang tidak baik, mengupas udang di pelelangan ikan Muara Angke akan lebih besar hasilnya. Hal itulah salah satu yang membuat para nelayan ini lebih rela meminjam perahu kepada tengkulak di Jakarta dan menjeratkan lehernya kepada para tengkulak yang bisa mempermainkan harga ikan semaunya. 

Memang para nelayan yang tinggal di bantaran kali ini, seluruhnya tidak memiliki perahu sendiri. Mau tidak mau mereka harus meminjam perahu dan modal kepara para tengkulak atau yang mereka sebut bos, agar mereka bisa melaut. “Kita pinjam perahu dan nanti sekaligus akan dikasih modal sekitar 12 juta rupiah untuk ongkos kita melaut seperti membeli bahan bakar dan makanan,” cerita Indo salah seorang nelayan Kali Adem yang meminjam sebuah perahu kepada tengkulak bersama dengan tiga orang temannya. 

Konsekuensi meminjam perahu dan modal bagi para nelayan itu adalah sebuah kerelaan akan diikat oleh para tengkulak yang kebanyakan tinggal di kompleks. “Si bos si tinggalnya di kompleks, itu di depan rumah-rumah tembok yang ada di depan rumah-rumah gubuk kami ini,” ucap Indo. Dengan ikatan di leher itu, para nelayan Kali Adem mau tidak mau harus selalu menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak yang akan memainkan harga tanpa peduli dengan standar harga yang ada di pasaran. 

“Kalau di pasar bisa sampai 20 ribu per kilo, kalau kita jual ke tengkulak paling Cuma dikasih 5 sampai 10 ribu per kilo,” ucap Casmana. Dengan kondisi seperti itu, para nelayan Kali Adem ini tentu tidak pernah bisa merasakan apa itu sejahtera dan bagaimana kayanya sumber daya alam tanah air tercinta. Mereka terus terkungkung dalam jeratan tengkulak yang mengambil untung dari keringat para nelayan yang kebanyakan tidak lulus SD ini. 

Bagi mereka, yang paling penting adalah bertahan hidup untuk hari ini. “Yang penting kan bisa makan dan hidup untuk hari ini. Perkara besok gak punya duit karena anginnya lagi jelek buat melaut, ya itu masalah nasib,” ucap Naling sambil tersenyum yang menyiratkan bahwa baginya dan bagi nelayan di Kali Adem hidup adalah melulu perjuangan untuk bertahan. 

Ketidakpastian pendapatan serta ketidakbebasan memiliki hasil keringatnya itulah yang membuat mereka harus berpikir kreatif untuk dapat meneruskan roda hidupnya dan keluarga. Para perempuan, istri dan ibu lah yang akhirnya mencoba berpikir kreatif dan turut merengkuh rejeki agar ia dan keluarganya bisa makan untuk hari ini. “Ibu-ibunya banyak yang kerja di luar selain membantu ngelaut. Banyak yang kerja di pelelangan ikan dan pasar, terus ada juga yang jadi buruh cuci di kompleks adan juga yang kerja di restoran-restoran Muara Karang,” ungkap Naling. 

Bagi Naling dan bagi banyak nelayan di Kali Adem, pendapatan istrinyalah yang paling dapat diandalkan. Karena walaupun dengan jumlah yang amat kecil, pendapatan itu pasti akan mereka hasilkan tiap bulan. “Kalau ibu-ibunya juga bekerja, kan beban rumah tangga bisa ditanggung bersama, jadi semua akan terasa lebih ringan,” papar Naling. 

Salah seorang perempuan yang masih bekerja hingga usianya menginjak senja adalah Samsiyah yang telah berumur 60 tahun. “Harus tetap bekerja walau sudah tua, karena bapak sudah sakit dan gak bisa kerja lagi. Saya paling kalau lagi untung dapet penghasilan 20 sampai 30 ribu per hari untuk ngupas udang di pelelangan ikan. Kalau lagi tidak beruntung ya gak dapet apa-apa,” ucap perempuan yang garis-garis wajahnya tampak letih tetapi ingin berkata bahwa saya bisa menghasilkan uang dari tangan-tangan rapuh ini. 

Dengan pendapatan yang amat minim itu, Samsiyah telah menghidupi suaminya juga enam orang anaknya yang dua diantaranya adalah juga seorang pelaut yang bisa berada di laut berbulan-bulan. “Di bantaran kali ini saya sering ditinggal sendiri, karena empat orang anak saya ada di Serang bersama suami yang telah sakit. Jadi saya di sini tinggal bersama dua orang anak yang pelaut,” ucapnya sambil tersenyum. 

Nengsih adalah seorang perempuan Kali Adem lainnya yang juga bekerja tiap hari untuk menambal kantong keluarga. “Saya jualan ikan asin di pasar. Yah lumayan buat membantu suami,” ucap ibu tiga orang anak ini sambil tersenyum lebar. Tiga orang anaknya yang masih sekolah itu adalah salah satu prioritas yang amat penting ia pikirkan. “Syukur bisa lebih pintar dari saya dan bapaknya. Jadi nantinya bisa membantu keluarga juga,” papar Nengsih. 

Pendapatan suaminya yang tidak pasti karena harus berkompromi dengan tengkulak dan alam yang seringkali tidak bersahabat adalah cambuk bagi Nengsih agar ia bisa benar-benar membantu ekonomi keluarga tanpa mengeluh. Baginya keluarga adalah segalanya dan ia amat terbantu dengan tinggal di bantaran kali itu karena tidak perlu lagi menambah pengeluaran untuk sewa rumah. “Untung saja kita tinggal di bantaran kali ini. Selain suami dekat dengan tempat usaha, kita juga gak perlu bayar sewa tiap bulan. Termasuk bayar listrik dan air. Kalau di Kali Adem kan cuma bayar listrik per minggu 7000 rupiah ditambah beli air minum,” jelas Nengsih sambil menunjuk-nunjuk letak rumah dan perahu pinjamannya yang berada tidak jauh dari depan gang pemukiman bantaran kali itu. 

Selain Marsiyah dan Nengsih, masih banyak perempuan Kali Adem yang turut membangun ekonomi dan menjadi pondasi ketahanan ekonomi keluarga-keluarga di Kali Adem. Walaupun demikian, walau penghasil pundi-pundi uang utama keluarga adalah perempuan, budaya patriarki yang masih teramat kental hidup dalam kultur masyarakat nelayan ini, membuat para perempuan ini memiliki beban ganda yang terkadang sungguh memberatkan mereka. 

Fungsi domestik sekaligus fungsi publik dalam konteksnya dengan ekonomi keluarga harus dijalani sekaligus. “Yah sebelum kerja, ibu-ibunya pasti harus masak, nyuci dan ngurus anak dulu dong. Kalau gak gitu, siapa lagi yang akan ngurus, masa kita laki-lakinya,” papar Naling dengan senyum yang mengembang. Dengan fungsi ganda itu, tidak serta merta membuat para perempuannya menjadi superordinat dalam lingkungan masyarakat nelayan itu. Bias gender masih teramat jelas teraplikasi dalam kultur masyarakat ini. Perempuan masih tetap tidak menjadi pengambil keputusan, perempuan masih dianggap harus melakukan pekerjaan domestik dan perempuan tidak memiliki kewenangan bicara dalam ruang-ruang publik formal para warga nelayan ini. Terlihat jelas dari pembagian ruang-ruang publik mereka. Jarang sekali perempuan yang hadir di balai warga jika sedang ada rapat warga, atau bahkan ketika sedang dalam konteks kumpul-kumpul. 

Balai warga yang menjadi pusat kegiatan warga secara formal yang menjadi representasi formal warga Kali Adem terhadap komunitas luar, didominasi oleh kaum lelakinya. Sementara para perempuannya lebih memilih untuk kumpul-kumpul di teras rumah atau di depan gang-gang pemukiman kumuh itu. Bias gender itu pun diamini oleh para perempuannya sendiri. “Memang sudah kewajiban kita sebagai perempuan untuk mengurus suami, anak dan rumah. Kan suami itu kepala keluarga, sementara kita ini perempuan harus nurut apa yang dikatakan oleh suami,” papar Nining yang telah menikah sejak berusia 15 tahun. 

Tetapi tentu, tidak ada istilah bias gender dalam komunitas ini. Masalah ruang publik, domestik, superordinat dan subordinat antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang sudah lumrah dan kultural bagi masyarakat Kali Adem. Mereka sudah disosialisasi sejak kecil dan terinternalisasi dengan paradigma itu. Sehingga masalah yang sungguh menjadi signifikan dan melulu mewarnai ruang-ruang hidup warga Kali Adem adalah masalah penggusuran yang selalu membuat mereka was-was dan seringkali tidak bisa membuat mereka tidur nyenyak. “Digusur kok kaya tradisi aja,” seloroh Naling sambil sesekali mengepul-ngepulkan asap rokok Sampoerna kreteknya. 

Penggusuran memang tidak asing bagi warga Kali Adem. Posisi mereka sebagai penghuni bantaran kali yang seringkali dianggap tidak ada oleh negara membuat komunitas ini hidup dalam ketidakpastian yang semakin mendera. “Banyak banget yang gak punya KTP DKI, soalnya untuk mengurus itu amat mahal dan merepotkan. Boro-boro mau buat KTP, untuk makan aja kita harus banting tulang dulu, nah kalau mau buat KTP harus banting apa lagi,” ucap Naling yang memancing tawa orang-orang di sekitarnya yang sedang asyik ngbrol-ngobrol sore di balai warga. 

Tentu warga Kali Adem sadar bahwa KTP amat penting bagi mereka agar posisi dan kedudukan mereka sebagai bagian dari warga Jakarta dan Indonesia dapat diakui oleh negara. Tetapi miskinnya pengetahuan soal alur birokrasi yang pas untuk mengurus KTP secara cepat dan mudah, membuat warga Kali Adem ini terkungkung dalam ketidakpercayaan diri. Tidak percaya diri bahwa mereka bisa membuat identitas administratif legal secara benar dan murah. “Ya tentu banyak dari kita yang gak tahu gimana yang benar. Soalnya sepertinya, kalau ngikut jalur yang bener repot banget. Jadi banyak yang memilih untuk nembak aja,” papar Casmana. 

Untuk “menembak” atau membuat KTP dengan jalur tidak resmi dengan membayar lebih, para warga Kali Adem harus melakukan pendekatan kepada RT yang mau diajak kompromi. “Kita harus kongkalingkong sama ketua RT yang mau mengakui kita sebagai warga. Soalnya kita di bantaran kali ini kan dianggap sebagai warga ilegal,” ucap Casmana dengan nada sedikit keras. Dengan pendekatan yang manis kepada ketua RT itu, para warga Kali Adem harus membayar kurang lebih 300 ribu rupiah untuk duah buah KTP serta sebuah kartu keluarga. Sebuah jumlah yang cukup lumayan bagi warga miskin ini. Dengan mahalnya harga KTP yang harus mereka bayar itu, banyak warga Kali Adem yang memilih untuk tetap tidak ber KTP. “Karena kok sama saja, kalau punya KTP atau tidak. Buktinya saya punya KTP DKI tetap saja digusur,” papar Naling. 

Bagi warga Kali Adem penggusuran bukan masalah tidak punya KTP saja, tetapi juga masalah karena mereka orang miskin yang tidak memiliki cukup kapital untuk membuat mereka lebih berdaya seperti warga kaya di Blok X yang persis tinggal bersamping-sampingan dengan mereka. “Kalau kita punya duit, mungkin kita gak akan digusur-digusur terus seperti ini. Soalnya kan kita bisa beli rumah atau tanah gak di bantaran kali, tapi di tempat yang lebih baik,” keluh Casmana sambil menghela napas panjang. 

Berbagai masalah yang terus menghimpit ruang-ruang hidup warga Kali Adem adalah sebuah warna yang sudah menjadi bagian rutin hidup orang-orang bantaran kali ini. Masalah yang seringkali membuat mereka menghela napas dan menyeka keringat di dahi, hingga terduduk lemas di ruang-ruang istirahat mereka. “Mungkin ini memang sudah nasib kita sebagai warga nelayan miskin. Gak punya apa-apa dan dikejar-kejar terus. 

Tetapi buat apa bersedih terus,” ucap Naling sambil memberi senyum paling lebarnya. Warna-warna yang mengisi hidup warga Kali Adem itu tidak melulu kelam. Warga miskin ini secara natural menciptakan sebuah mekanisme bertahan dan meleburkan seluruh masalahnya dalam ruang-ruang hidup mereka yang lain. Berbagai mekanisme pertahanan hidup yang mereka ciptakan dari tekanan yang mendera itu membuat mereka masih bisa tersenyum, tertawa bahkan terbahak setiap saat. Dengan mekanisme itu pulalah mereka masih merasa menjadi manusia dan menciptakan keriaan-keriaan sendiri yang sungguh menjadi pelipur lara mereka. 

Salah satu mekanisme pertahanan hidup yang membuat mereka bisa bertahan hingga sekarang adalah ruang-ruang diskusi informal antar warganya. Ada diskusi informal antara ibu-ibu yang rutin berlangsung tiap sore ketika matahari hampir pupus. Juga ada ruang diskusi informal antar lelaki yang seringkali berlangsung di balai warga, dimana di tempat itu mereka bisa tidur-tiduran sejenak, merokok, ngopi atau sekedar duduk-duduk sambil bergoyang mendengarkan irama dangdut pantura. 

Ruang-ruang ngobrol itu, merupakan ruang yang menjadi pelepas lelah dan tong-tong sampah warga Kali Adem atas berbagai himpitan hidup yang mendera mereka. Di ruang-ruang informal itu, mereka mendapatkan semacam kartasis dan ekstase sesaat sehingga sedikit lupa bahwa mereka akan digusur hari ini, minggu depan atau bulan depan. Mereka juga lupa bahwa kantong keluarga mereka sedang bolong, karena tidak bisa melaut berhari-hari, dan mereka juga sedikit lupa kalau anak-anak mereka butuh makan dan butuh uang untuk bayar SPP. Sebuah ruang ekstase yang sungguh mudah, murah dan amat meriah untuk diakses oleh mereka. 

Semua warga dengan forum-forum informal ini memiliki semacam psikolog pribadi mereka yang secara kolektif dibentuk dari kerumunan warga yang berkumpul. Tampaknya ada semacam kesehatan psikis yang diraih sesudah saling bercerita. “Senang bisa ngobrol dan berbagi cerita dengan teman-teman satu nasib satu perjuangan,” seru Naling. Selain ruang diskusi informal itu, para warga Kali Adem juga memiliki sebuah ruang formal yang menjadi representasi mereka di ruang publik. Ruang formal itulah yang akhirnya menghubungkan warga Kali Adem secara resmi dengan komunitas lainnya. 

Ruang formal yang bernama Mustika (Mitra Usaha Titian Kali Adem) itulah yang dibentuk oleh para warga, karena mereka merasa butuh tempat untuk merapatkan barisan melawan hal-hal yang tidak menguntungkan. Salah satunya adalah penggusuran. “Dengan Mustika yang sudah berjalan satu tahun ini, kita ngerasa lebih kompak dan orang bisa melihat kita ada,” ucap Naling yang secara aklamasi dan demokratis dipilih oleh warga Kali Adem sebagai ketua kelompok Mustika. 

Lewat Mustika pula, mereka bisa mendapatkan berbagai bantuan yang dibutuhkan dari komunitas lainnya. “Selain kompak kita juga lebih mudah mendapatkan bantuan sembako,” sambung Casmana. Mustika yang awalnya bernama Kemilam ini, hingga kini telah mampu mengorganisir diri mereka serta warga yang dilingkupinya. Walaupun belum memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang tertata rapi, Mustika sudah memiliki iuran mingguan sebesar 1500 rupian yang sebagian digunakan untuk kas dan sebagian lagi untuk koperasi. 

Dengan koperasi itu, warga yang sedang terdesak kebutuhan, dapat lebih mudah meminjam uang di koperasi. Walau hanya dibatasi maksimal masing-masing warga sebesar 200 ribu rupiah sekali meminjam. “Lumayan membantu sekali koperasinya, kalau minjem uang di bank susah sekali persyaratannya. Bagaimana mungkin orang kayak kita ini bisa dapet pinjaman uang di bank,” ucap Casmana. Sementara untuk uang kas, para warga Mustika ini dapat menggunakannya sebagai biaya kebutuhan kegiatan seluruh warga Mustika. Seperti konsumsi ketika rapat warga atau menjamu tamu dari luar Kali Adem yang berkunjung ke balai warga. 

Berbagai peraturan yang telah seluruh warga Mustika buat dan aplikasikan itu, membuat seluruh bagiannya merasa menjadi bagian yang utuh. “Kita merasa bisa melawan apapun dengan Mustika sebagai tamengnya. Buktinya hingga kini, setelah penggusuran 2003 yang memakan korban harta cukup banyak, kita akhirnya masih bisa bertahan dari gusuran yang seruannya datang awal Desember 2008 ini,” ungkap Naling. Sebuah seruan gusuran yang telah menyita banyak waktu dan pikiran warga bantaran kali ini. Berhari-hari mereka tidak bisa melaut dan mencari penghidupan karena mereka harus terus berjaga di rumahnya yang kini sedang terancam. Mustika ini lah yang bagi seluruh warga Kali Adem menjadi semacam corong teriakan mereka yang sebelumnya bagai berteriak di tengah padang gurun. Walaupun mereka hidup bersebelahan dengan para warga kelas atas Jakarta yang dibatasi tembok besar, teriakan mereka sungguh tidak pernah didengar. Bahkan warga kelas atas dibalik tembok itulah salah satunya yang menjadi pendukung utama agar mereka digusur. Sebuah ironi ibukota yang ternyata tidak seindah harap dan mimpi yang dulu sebelum hijrah ke Jakarta mungkin saja sering menjadi awang-awang dan surga di ranah-ranah abstrak kepala mereka. Sebuah ruang mimpi yang sering berteriak minta dibangunkan ketika siang bolong menjelang. 

Kini Mustika adalah salah satu sarana pengeras suara mereka. Dengan Mustika, para warga bantaran kali ini secara sadar dan teroganisir melakukan rapat-rapat warga yang dibantu oleh seorang pendamping dari sebuah lembaga nirlaba, agar mereka memiliki senjata yang bukan pisau, senapan atau pedang. Tetapi senjata berupa pengetahuan untuk melawan sesuatu yang merugikan hidup mereka. 

Lewat Mustika pula, mereka pergi ke Komnas HAM untuk mengadukan nasibnya. Sebuah tindakan yang secara perlahan tapi pasti mengikis kemiskinan mereka soal pengetahuan tentang haknya sebagai warga negara. Dengan Mustika pula mereka mulai sedikit kaya akan pengetahuan bahwa sebagai warga negara mereka juga memiliki kewajiban secara administratif. Mungkin belum maksimal, karena organisasi ini baru hidup di tengah mereka selama tiga tahun. Dan baru setahun saja menjadi benar-benar berjalan secara teratur. Tetapi, bagi mereka, ruang formal ini adalah sebuah harap yang menambah sedikit lampu dari kelamnya gang-gang kumuh di Kali Adem. Lampu-lampu yang mewarnai dan memberi ruang-ruang katarsis bagi warga bantaran kali yang kerap terhimpit masalah tidak ringan itu, mampu menjadi mekanisme pertahanan hidup, hingga mereka bisa tetap sadar akan kemanusiannya. 

Kesadaran akan kemanusiannya itulah yang membuat suasana Kali Adem tetap nyaman dan menyenangkan bagi banyak manusia-manusia yang tinggal di situ. Masih banyak bocah-bocah dengan kaki telanjang berlari-larian di lumpur becek yang bisa sampai di atas mata kaki ketika air laut pasang tiba. Asap-asap kayu bakar dan kompor minyak untuk memasak masih terus mengepul dari dapur-dapur sempit yang menjadi satu dengan ruang tidur, ruang tv, ruang keluarga dan ruang bermain mereka. 

Ketika senja menjelang, televisi masih menyala dan meneriakkan berbagai dialog sinetron masa kini yang makin tidak masuk akal saja. Para ibu masih menyusui dan menggendong anak balitanya dengan sayang tanpa keluh. Orang tua masih mencari kutu di rambut-rambut anak gadisnya yang lumayan berminyak. Para lelakinya masih bisa santai mengepulkan asap-asap rokok kretek di teras rumah dan menghirup hitamnya kopi pahit di balai warga dan para pelaut handal ini masih bisa menjahit jala-jala bolongnya di atas perahu pinjaman para tengkulak. Dinamika hidup itu masih terus bergulir dan mewarnai seluruh aura Kali Adem. Seluruh bantaran kali yang disebut sebagai rumah oleh orang-orang nelayan yang dianggap miskin dan juga menganggap diri mereka miskin. Sekelompok manusia-manusia laut yang terjebak di bantaran kali utara Jakarta dan seringkali dianggap tidak ada oleh otoritas. “Walau banjir pasang mendera tiap hari, walau ancaman gusuran selalu menghantui istirahat siang, malam dan sore kami, walau duit tidak pernah penuh di kantong, Kali Adem tetap sebuah rumah bagi kami,” ucap Naling sambil tersenyum lebar.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.