catatan: tulisan ini saya buat ketika masih menjadi wartawan pada LKBN ANTARA
Sastra adalah sebuah dunia kreativitas yang tak berkesudahan. Ia harus terus dihidupi oleh nafas-nafas segar dari sang empunya yaitu para sastrawan dengan imaji dari kantong-kantong pikir dan rasanya. Kolaborasi dari elemen pikir dan rasa itu kemudian membentuk sebuah rangkaian kata yang diekspresikan dalam bentuk prosa, puisi ataupun sebuah syair.mHorison sebagai satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang masih tetap hidup walaupun begitu tertatih-tatih selama hampir lebih 40 tahun ini merupakan salah satu media ekspresi rangkaian kata kantong rasa dan pikir itu.
"Sejak kelahirannya, Horison telah memainkan peran yang signifikan, dalam melahirkan sastrawan-sastrawan Indonesia terkemuka," ucap Taufik Ismail, sastrawan sekaligus pendiri majalah Horison. Berbagai eksperimentasi sastra kerap kali diumumkan pertama-tama di majalah Horison sebelum belakangan ia diterima sebagai bagian dari tradisi sastra modern Indonesia. "Horison dipilih sebagai media eksperimentasi karena hanya majalah sastra ini yang mempu memberi ruang berkreativitas sedemikian besarnya," kata sastrawan asal pulau Sumatera itu.
Pada media massa lainnya seperti koran, karya sastra yang ditampilkan akan dibatasi jumlah karakter ataupun halamannya. "Sedangkan pada majalah Horison para penulis, baik yang belum memiliki banyak portfolio tulisan maupun yang sudah kenamaan, memiliki kesempatan sama untuk menampilkan secara bebas hasil tulisan mereka," katanya.
Walaupun demikian, pada kenyataannya saat ini tampaknya pamor Horison sebagai satu-satunya majalah sastra di Indonesia telah menurun. "Lahirnya banyak sastrawan melalui Horison ternyata tidak diimbangi dengan lahirnya pembaca sastra yang sepadan," kata lelaki yang selalu memakai topi tersebut. Sastra kerap kali hanya beredar di kalangan segelintir sastrawan dan para pemerhati sastra. "Ibarat air, ia menggenang tidak mengalir ke mana-mana," ucap Taufik.
Ketika baru terbit, dengan nama besar seperti H.B Jassin dan Mochtar Lubis, apalagi karena waktu itu koran belum berfungsi seperti sekarang, maka Horison menjadi tolok ukur serta rujukan. "Walaupun koran memiliki keterbatasan-keterbatasan terutama dalam masalah jumlah karakter tulisan, tetapi karena jangkauan pembaca koran lebih besar maka dari itu media sastra yang selama ini sering dianggap sebagai sebuah majalah penelitian atau jurnal khas keilmuan makin tidak populer," ujarnya. Publik penggemar sastra akan lebih tertarik untuk membeli langsung sebuah novel, kumpulan cerpen, puisi dan drama dibandingkan harus membeli sebuah majalah sastra.
Sastra di Negeri Orang
Jika kita membandingkan minat terhadap sastra antara negri kita dan negeri orang lain, maka fakta yang tidak terlalu menyenangkan dapat terlihat. “Mesir yang merupakan dunia ketiga terdapat 12 majalah sastra, ada yang jenisnya mirip dengan Horison, dengan resep gado-gado yaitu memuat puisi, cerpen, esei, kritik, penggalan drama dan novel, serta berita sastra,” kata Taufik Ismail. Ada pula majalah sastra yang semata-mata memuat ulasan buku, katanya dan terbit bulanan setebal 120 halaman. “Negeri asal Firaun itu hanya berpenduduk 60 juta, sementara itu Indonesia yang berpenduduk 220 juta jiwa hanya memiliki satu buah majalah sasatra,” katanya.
Hal tersebut sungguh memalukan, kata lelaki yang pernah menerbitkan kumpulan puisi bertajuk Malu (aku) Jadi Orang Indonesia itu, karena jika mendasarkan pada perbandingan itu seharusnya di setiap provinsi harus ada satu majalah sastra. “Sehingga pertumbuhan jumlah sastrawan dan karyanya dapat berkembang lebih pesat karena mereka tidak antri panjang di depan pintu kantor majalah, menanti pemuatan karya mereka,”tuturnya. Jadi dibandingkan dengan Mesir, maka ketertinggalan negeri kita adalah 2,5 persen dan mereka lebih maju sebesar 97,5 persen.
“Selain Mesir, Korea Selatan yang berpenduduk 50 juta ternyata memiliki majalah sastra sampai dengan 50 buah,” kata dia.
Di negeri jiran Malaysia majalah sastra mereka yang bertajuk Dewan Pelajar memiliki tiras sebesar 50 ribu eksemplar, dan sisipan Kakilangit majalah Horison di Indonesia tirasnya hanya sebesar 12 ribu eksemplar. Meskipun begitu, menurut Taufik, jika dibandingkan dengan Belanda, Perancis, Afrika Selatan dan Amerika Serikat, Indonesia patut berbangga sedikit karena tiras majalah sastra mereka hanya sekitar 300-500 eksemplar dibandingkan dengan Horison yang bertiras sekitar 12 ribu eksemplar.
“Tiras yang sekitar 12 ribu itu pasti tidak menarik perhatian pengiklan, sehingga amat dimaklumi jika penerbit beser pers tidak tertarik untuk menerbitkan majalah sastra walaupun mereka bermodal kuat,” ujar lelaki yang hampir sebagian besar rambutnya sudah berwarna kelabu itu.
Masa Depan Sastra
Hamsad Rangkuti, seorang sastrawan yang juga mantan pemimpin redaksi majalah sastra Horison mengatakan saat ini sebenarnya dunia sastra Indonesia cukup berkembang terutama di kalangan generasi muda. “Masa depan sastra Indonesia memang terletak pada generasi muda yang masih memiliki daya cipta segar dan nafas panjang untuk berkreasi,” kata lelaki asal Medan tersebut.
Sastrawan pada generasi terdahulu kebanyakan sudah mandeg dalam berkreativitas dan tidak mau lagi mempergunakan talentanya untuk menciptakan sebuah karya sastra.
“Mereka sudah puas dengan karya sastra mereka terdahulu dan hanya mau mendapatkan pujian dari karya lama mereka,” ujarnya. Jadi, menurut Rangkuti, perkembangan sastra di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari para anak muda, karena jika terus mengharapkan pada “orang tua” sastra tidak akan pernah maju para “orang tua” itu kebanyakan sudah tidak mau terbuka terhadap yang baru. “Sulit menemukan sastrawan besar seperti Pramoedya Ananta Toer, yang terus berkarya sampai dengan usia yang lanjut, bahkan sampai kematian menjemputnya,” ujar lelaki yang murah senyum itu.
Horison, menurut Rangkuti cukup signifikan jika dijadikan cerminan perkembangan sastra Indonesia, mengingat posisinya sebagai satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang tetap eksis setelah melewati berbagai orde kepemimpinan. “Selama 40 tahun ini paling tidak Horison masih tetap berusaha pada idealisme lamanya untuk tetap netral dan tidak menjadi propaganda pada salah satu keyakinan, politik ataupun golongan,” katanya.
Oleh karena itu sebisa mungkin, sampai saat ini orang-orang yang duduk pada dewan redaksi harus selalu memiliki latar belakang netral yang kuat. “Akhirnya saya berharap, sastra harus selalu kembali pada fungsinya sebagai sebuah kontrol sosial suatu masyarakat, sehingga idealnya suatu tatanan dapat terus terjaga,” kata lelaki berpenampilan sederhana itu sambil menyungging senyum di bibirnya.
Comments