Skip to main content

Saya Terinspirasi oleh Si Pembunuh Tuhan

Sepotong Kisah Hidupnya

Adalah seorang Jerman bernama Friedrich Nietzsche yang terlahir di Rocken pada 15 Oktober 1844. Hari kelahirannya sama dengan hari lahir Friedrich Wilhelm seorang Raja Prusia waktu itu. Ayah Nietzsche bernama Karl Ludwig Nietzsche seorang Lutheran yang taat dan ibunya bernama Franzizka Oehler. Ibunya begitu memaklumi kekristenannya dan sikapnya itu pada akhirnya akan sering bertabrakan dengan sikap-sikap Nietzsche selanjutnya mengenai Kekristenan.

Nietzsche mulai akrab dengan karya-karya Goethe dan Wagner ketika ia masuk ke sebuah sekolah gymnasium. Namun pada umur 14 tahun ia pindah sekolah yang sekaligus asrama bernanam Pforta. Di sekolah itu Nietzsche mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Pada tahun-tahun terakhir di Pforta,ia sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisan Ohme Heimat (tanpa kampung halaman), Nietzsche mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami. Bersamaan dengan itu pula, ia juga mulai mempertanyakan iman kristennya dan bahkan secara perlahan-lahan mulai meragukan kebenaran seluruh agama. Nietzsche kemudian sempat bersekolah di Universitas Bonn dan kemudian pindah ke Universitas Leipzig untuk belajar filologi. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan karya-karya Schopenhauer.

Nietzsche sempat mengajar di Universitas Basel Swiss dari tahun 1869-1879. Selama berkarir di Bassel, Nietzsche mengalami kondisi kesehatan yang amat buruk. Berkali-kali ia harus cuti untuk beristirahat demi kesembuhan dirinya. Ia mengalami sakit mata dan kepala parah sejak 1875, dan serangan paling parah pada 1879 yang membuatnya terpaksa berhenti bertugas sebagai dosen. Saat-saat Nietzsche beristirahat dari sakit itulah merupakan waktu paling produktifnya dalam berkarya. Pada periode ini ia menghasilkan banyak karangan yang dikemudian hari tergolong karya-karya terbaiknya.

Sejak meninggalkan Bassel pada Juni 1879, hidupnya lebih diwarnai dengan kesuraman dan kesepian. Nietzsche selalu menyendiri dan seringkali berpindah-pindah tempat pada beberapa kota di Italia dan Swiss. Dalam pengembaraannya itu, Nietzsche seringkali ditemani oleh Elizabeth (saudaranya), Lou Salome dan Paul Ree. Bagi Nietzsche, Lou Salome adalah salah seorang perempuan paling cerdas dan paling menyenangkan yang pernah ia temui. Ia pernah meminta Lou untuk menikah dengannya, tetapi Lou mengajukan syarat agar ia juga bisa menikah dengan Paul Ree. Elizabeth mengetahui hal itu dan mengadukan kepada ibunya. Akibatnya, ibu Nietzsche sangat menentang hal itu. Kekecewaan terhadap sikap ibunya itulah yang salah satunya membuat Nietzsche memutuskan untuk tetap sendiri seumur sehidupnya.

Tahun 1889 adalah tahun yang paling menyedihkan bagi Nietzsche. Ia ditimpa sakit jiwa. Hampir semua usaha penyembuhan sia-sia saja. Saat-saat terakhir hidup Nietzsche sungguh tragis. Selama dua tahun terakhir masa hidupnya, ia sudah tidak dapat mengetahui apa-apa dan tidak dapat lagi berpikir. Bahkan ia tidak tahu kalau ibunya sudah meninggal dan ia juga tidak tahu kalau ia mulai menjadi termahsyur. Nietzsche meninggal di Weimar pada 25 Agustus 1900.

Kegilaan-nya lah yang Menginspirasi Saya

Banyak konsep-konsep yang Nietzsche telurkan. Mulai dari nihilisme, kehendak untuk berkuasa, ubermensch, juga pembunuhan tuhan oleh dirnya. Ratusan tulisan yang berangkat dari refleksinya terhadap historisitas kegilaan-kegilaan jaman juga telah diterbitkan. Banyak sekali manusia-manusia hebat sesudahnya terinspirasi oleh Nietzsche seperti Michel Foucault, Karl Jaspers, Martin Heidegger ataupun Muhammad Iqbal. Secara pribadi, saya tidak pernah benar-benar paham jalan pikirnya yang diekspresikan lewat berbagai bahasa tulisnya itu. Entah kenapa saya tidak pernah sanggup meneruskan membaca buku-buku Nietzsche. Ada kesan arogan ketika membaca buku filsuf luar biasa ini. Hampir semua karya gagasan Nietzsche memang tidak pernah ditulis secara sistematis. Ia menulis dalam bentuk aforisme untuk mengungkapkan gagasannya. Satu aforisme terdiri dari beberapa kalimat atau hanya satu paragraf. Bahkan ada satu aforisme yang terdiri dari satu kalimat. Satu aforisme ini merupakan gagasan yang tidak tergantung pada aforisme sebelum dan sesudahnya. Jika ada penggolongan-penggolongan pada berbagai aliran filsafat maka Nietzsche akan masuk dalam aliran eksistensialisme. Secara konseptual eksistensialisme berpendapat bahwa filsafat harus bertitiktolak pada manusia yang kongkret, yaitu manusia sebagai eksistensi. Para filsuf yang merasa dirinya beraliran eksistensialisme sependapat bahwa bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.

Yang membuat saya kagum pada Nietzsche adalah, keberaniannya (pada saat jamannya dimana pemberontakan-pemberontakan pikir seperti pada saat itu dianggap sebagai sebuah kegilaan) untuk menyerang moralitas yang berdasarkan pada nilai-nilai dan sangsi-sangsi Ilahi. Moralitas ini pertama-tama berakar pada iman seperti diajarkan dalam agama wahyu.

Nietzsche membuat Tuhan beristirahat dalam tenang. Inilah titik awal saya begitu terinspirasi padanya. Ada sebuah ungkapan dalam bahasa latin yang begitu terkenal Requiem aeternam, ungkapan itu kira-kira berarti ‘semoga engkau beristirahat dalam kedamaian abadi’. Nietzsche kemudian menggantinya dengan Requiem aeternam deo! yang berarti ‘semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi’. Kemudian dalam sebuah aforismenya yang paling terkenal ia mengatakan “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya.

Nietzsche mengungkapkan gagasannya tentang pembunuhan Tuhan itu dalam sebuah aforisme berjudul Orang Gila. Nietzsche ingin mengidentifikasikan diri sebagai seorang gila karena ia ingin menunjukkan situasi jama yang sudah kehilangan apa yang dulu dianggap mapan, biasa dan wajar, termasuk yang pernah dialaminya sendiri. Nietzsche mengalami banyak pemberontakan pikir. Ketika remaja ia pernah ingin menjadi seorang pendeta dan berlutut penuh khidmat di depan altar untuk menerima sakramen-sakramen dari Gereja, pada akhirnya ia kemudian memaklumi sebuah kondisi tentang nihilistik dari kematian Tuhan itu sendiri.

Yang paling esensial menurut saya adalah, menurut Nietzsche manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai. Nilai-nilai kemanusiaan yang berpangkal pada manusia itu sendiri. “Saya mencintai manusia dan kemanusiaannya”. Begitu kira-kira kalau saya pikir mengapa Nietzsche mau berlelah-lelah membunuh Tuhan.

(referensi dari: ST Sunardi, Nietzsche; Fuad Hassan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme)

Ohme Heimat Flüchtge Rosse tragen Mich ohme Furcht und Zagen Durch die weite Fern. Und wer mich silht, der kennt mich: Den heimatlosen Herrn... Niemand darf es wagen, Mich danach zu fragen, Wo mein Heiman sei: Ich bin wohl nie gebunden An Raum und flüchtge Stunden, Bin wie der Aar so frei!...

(Flee horses bear me, without fear or dimness, through distand places. And whoever sees me knows me, and whoever knows me calls me: the homeles man. No one dares to ask me where my home is: perhaps I have never been fettered to space and flying bours, am as free as an eagle)

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.