Skip to main content

Tradisi Mubeng Beteng

Hening adalah bentuk refleksi manusia atas eksistensi dirinya. Eksistensi diri manusia yang mengada karena adanya sang pencipta. Bentuk refleksi atas permulaan kemanusiaan itu diejawantahkan oleh masyarakat Yogyakarta dalam bentuk tradisi mubeng beteng dalam kebisuan yang dilaksanakan tiap malam 1 Suro. 

Mubeng beteng atau berjalan mengelilingi benteng Kraton Kasultanan Yogyakarta adalah tradisi yang terbuka untuk siapa saja tetapi harus benar-benar diam dan tidak berkata-kata serta harus berjalan kaki memutar sejauh kurang lebih empat km di seputaran benteng selama sekali, tiga kali ataupun lebih asalkan dalam jumlah yang ganjil dengan tujuan mendengarkan suara hati juga nurani. 

Pada mulanya, mubeng beteng adalah tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu. Tradisi asli Jawa itu disebut muser atau munjer (memusat) yang artinya mengelilingi pusat, dalam hal ini pusat wilayah desa. Ketika pedesaan kemudian pada akhirnya berkembang menjadi kerajaan, maka muser pun menjadi sebuah tradisi mengelilingi pusat wilayah kerajaan. Sumber sejarah lainnya mengatakan, Mubeng beteng merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram (Kotagede) membangun benteng mengelilingi Kraton yang selesai pada tanggal satu Suro 1580. Para prajurit Kraton ketika itu rutin mengelilingi (mubeng) benteng untuk menjaga Kraton dari ancaman musuh – pada waktu itu Pajang. Setelah kerajaan membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada abdi dalem Kraton. Agar tidak terkesan seperti militer, para abdi dalem itu menjalankan tugasnya dengan membisu sambil membaca doa-doa di dalam hati agar mereka diberi keselamatan. 

Tradisi mubeng atau memutar itu sebenarnya tidak hanya berada di seputaran benteng Kraton Kasultanan Yogyakarta, tetapi juga terdapat tradisi mubeng kuthagara, dan mubeng manca negara karena sebagai pusat negara, Kraton dikelilingi oleh kutha negara dan kutha negara dikelilingi oleh manca negara. Manca negara yang dimaksud di sini adalah daerah-daerah di luar wilayah kesunanan dan kesultanan tetapi masih wilayah Kerajaan Yogyakarta. Karena tradisi mubeng beteng lebih mudah diikuti oleh masyarakat secara luas, maka tradisi itulah yang kemudian paling terkenal. Karena amat terkenal itulah, tradisi mubeng beteng setiap tahunnya selalu diikuti oleh ribuan masyarakat Yogyakarta juga luar Yogyakarta yang memang ingin berlaku batin ataupun mereka yang hanya ingin merasakan aura hening dari laku tapa bisu itu. 

Hingga saat ini tradisi yang tetap lestari sebagai rangkaian acara perayaan malam tahun baru Islam itu dimulai dari Bangsal Ponconiti Kraton Yogyakarta menuju Alun-alun Utara untuk selanjutnya bergerak ke arah barat mengelilingi tembok benteng Kraton. Laku tapa bisu itu biasanya berlangsung tepat tengah malam pada tanggal 1 Suro. 

Laku mengelilingi tembok benteng Kraton dalam keheningan total itu merupakan simbol keprihatinan serta kesiapan masyarakat Yogyakarta khususnya penganut kejawen untuk menghadapi tahun yang akan datang. Diharapkan dengan sikap prihatin, mereka lebih mawas diri dan tidak berpuas diri terhadap segala sesuatu yang telah diraih pada tahun-tahun sebelumnya.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.