Skip to main content

Jakartabites

Jakarta, sebuah ibukota dengan penduduk mencapai 10 juta ketika siang dan 8 juta waktu malam sudah menjadi semacam monster yang kalau digelitik sedikit akan menggigit. Jakarta juga bagai bentol gigitan nyamuk, makin digaruk makin gatal. Sebuah rasa yang sungguh menyebalkan, tetapi kadang-kadang cukup membuat rindu.

Ia membuat banyak orang jadi tergantung, mau tidak mau mesti mencintainya, dan seperti layaknya monster, kalau orang yang jadi tergantung itu berteriak-teriak, misuh-misuh tentang si Jakarta, ia akan menggigit, malah kalau bisa dikunyah hidup-hidup, sampai orang itu berteriak minta ampun dan terpaksa kembali mencintai apa adanya.

Ini gambaran Jakarta yang personal untuk saya, seorang perempuan berusia lebih dari seperempat abad yang terlahir, besar di Jakarta dan mau tidak mau harus mencintainya.

Bagi saya, menjadi warga Jakarta semenjak lahir adalah sebuah keberuntungan sekaligus malapetaka yang inheren. Beruntung karena tanda-tanda berpijarnya Indonesia tercinta ada di Jakarta. Ada pusat pemerintahan, ada pusat ekonomi juga pusat-pusat dunia sureal yang bikin kita tersenyum miris karena seperti di dunia mimpi: mall-mall dan plaza-plaza yang tumbuh berjamur seperti panu di tubuh. Jadi malapetaka karena Jakarta suka menggigit, dan siapa pula yang suka digigit? Akan jadi mending kalau giginya ompong seperti manula, tetapi Jakarta punya gigi bertaring yang tajamnya tanpa ampun.
Kenapa Jakarta suka menggigit?


Pertanyaan inilah yang sering jadi bahan pikir tidak penting ditengah rongsok pikiran otak saya. Padahal Jakarta bukan kucing, anjing, macan atau tokek yang sekali gigit tak mungkin dilepas. Jakarta cuma sebuah kota yang luasnya hanya sepersekian dari Pulau Jawa. Tetapi mengapa orang satu pulau itu, bahkan satu negara tercinta Indonesia, selalu termangap-mangap mendengar atau melihat Jakarta.
Saya sering mendengar patah-patah ucapan soal “pantas anak Jakarta” ketika saya berada di luar kota dan bergaul dengan penduduk setempat. Atau ketika motor plat B saya ada di kota berplat AB sering ada slentingan kiri kanan kalau saya sedang mengendarai motor di jalanan dan mulai sedikit ngebut, “mentang-mentang plat B”. Aduh. Cuma satu kata itu yang bisa saya ungkapkan. Sebegitu burukkah orang Jakarta berkendara, sampai-sampai biang ngebut dan rusuh di jalanan juga jadi stigmanya.

Saya tidak pasti harus bagaimana menjawab pertanyaan saya sendiri itu. Karena kalau dipikir-pikir, sangat beralasan mengapa stigma itu menempel di setiap jidat penduduk Jakarta. Alasan tepat yang saya temukan adalah, Jakarta memiliki monster penunggu. Kalau tidak ngebut di jalan, monsternya bisa menggigit kita. Kalau tidak jalan menyelip nyelip, ada monster lainnya yang akan mengejar-ngejar. Jadi kalau tidak siap digelendoti monster, jangan pernah berani sekali-kali mencoba jadi penduduk kota Jakarta.

Apa saja monster di Jakarta yang suka menggigit?

Jakarta bisa jadi gudang para monster. Macam-macam bentuknya. Ada yang suka berpakaian rapi dan necis, juga kadang-kadang suka ada yang berpakaian seperti agamawan.

Ada monster waktu yang durasinya sekitar jam 9 sampai jam 5. Ini monster paling menakutkan di kota supersibuk ini. Kalau si monster itu sudah berteriak-teriak, maka tidak ada satupun orang Jakarta yang sudah tanda tangan kontrak dengannya sanggup mengelak. Semua patuh, dan langsung terbirit-birit lari tunggang langgang kalau si monster sudah mulai menguap dan bangun dari tidurnya. Berani tidak patuh, ya bakal digigit habis-habisan, sampai tidak ada yang tersisa. Sebenarnya si monster itu sudah menempel dan menghisap seluruh energi makhluk-makhluk yang sudah tanda tangan kontrak itu, bahkan ada beberapa yang sampai membubuhkan cap jempol darah. Kalau sudah kena monster ini, maka setiap pukul 5 sore ke atas, muka-muka orang Jakarta yang tadinya bersih-bersih dan wangi-wangi, berubah menjadi kucel, kusam dan berbau keringat campur minyak wangi. Semua efek monster akan meruyak membaur jadi satu dalam bis-bis transjakarta, motor-motor yang bertebaran bagai nyamuk di jalan-jalan, metro mini, kopaja, angkot, trotoar, sampai mall-mall, tempat orang Jakarta bersembunyi sejenak dari monster mengerikan itu.

Lalu ada monster yang hobinya menyendiri, individualis, dan matanya cuma satu. Monster ini seperti sebuah patogen bagi banyak orang Jakarta yang waktunya sudah termakan habis dengan monster 9 to 5 itu. Akibat monster ini pula banyak orang Jakarta yang merasa dunia berpusat pada dirinya, sehingga tidak ada orang lain di sekitarnya. Fenomena keterjangkitan monster ini dapat terlihat pada sarana-sarana umum ataupun tempat-tempat umum di Jakarta. Tempat dan sarana umum itu menjadi semacam jejak rekam bagi monster penyendiri akan keberhasilannya sebagai salah seorang monster yang berada di jajaran hal-hal yang suka menggigit di Jakarta.

Jejak rekam itu kalau digambarkan salah satunya adalah seperti ini; sudah lama pintu di halte bis Blok M transjakarta itu ingin berteriak minta tolong. Pagi ini sekitar pukul 8 pagi waktu indonesia barat, ia melihat orang-orang Jakarta yang antri di halte itu berdesak-desakan bagai antri beras murah jatah Bulog. Lebar antrian yang seharusnya sesuai dengan lebar pintu sudah sama sekali dilanggar. Semua orang ingin masuk duluan ke dalam bis, tak peduli di kiri kanannya ada orang yang juga punya pikiran sama. Semua rasa sudah dimatikan. Rasa peduli dan rasa kemanusiaan secara otomatis mati, ketika sekitar hanya seperempat jam-kalau sedang beruntung dan lebih dari setengah jam kalau lagi apes-mengantri bis transjakarta itu. Dorong depan, dorong kiri, injak kanan, injak kiri malah kalau bisa bikin orang-orang di sekitarnya terjelengkang, asal bisa masuk bis berAC itu duluan. Padahal kalau dipikir-pikir tak banyak membawa perbedaan kalau saja semua orang punya sedikit sabar. Tetapi tampaknya monster autis ini sudah benar-benar menjangkiti semua orang. Jadi apa mau dikata, walaupun bis transjakarta jurusan blok m, cukup banyak jumlahnya, tradisi dorong depan, belakang, kanan, kiri sambil memasang wajah tak berdosa seakan-akan sudah jadi keharusan, ya tidak mungkin akan berubah. Jika sudah selesai dorong mendorong dan berhasil masuk ke dalam bis, semua tampak terburu-buru sambil mendorong dorong lagi mencari tempat duduk yang tidak akan pergi entah kemana juga walau mereka ribut mencari-cari.

Selamat untuk si monster autis. Ini cuma salah satu keberhasilannya menjangkiti makhluk-makhluk ibukota yang secara tidak sadar sudah menjadi monster itu sendiri sebenar-benarnya.

Kalau bicara mengenai monster-monster yang ada di Jakarta, ujung-ujungnya sih cuma satu. Semua monster itu punya jiwa sama yang membuat orang Jakarta terkesan tidak peduli pada yang lain, dan itu adalah masalah bertahan hidup. Survival of the fittest. Siapa yang paling kuat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, paling adaptif, dialah yang akan bertahan dalam rantai makanan yang saling makan-memakan ini. Bertahan hidup kemudian menjadi semacam apologi bagi banyak orang dan khususnya dalam konteks ini adalah masyarakat Jakarta, supaya mereka bisa tetap eksis dalam kota metropolis yang sungguh chaotic ini.


Sebenarnya masih banyak monster lain yang suka menggigit di Jakarta. Bukan hanya si monster 9to5 dan monster autis. Tetapi memang hanya dua monster itu yang sungguh paling nyantol di kepala saya akhir-akhir ini. Yah karena mau tidak mau, saya harus kembali menjalankan rutinitas orang Jakarta dan merelakan diri untuk terus digigit oleh monster-monster itu. Sampai saat ini si, saya berusaha untuk tidak dipengaruhi racun monster-monster itu. Karena sampai saat ini saya masih sangat sadar bahwa saya tidak mungkin terus menjalankan rutinitas itu.

Sebal sekali rasanya kalau saya sudah mulai komplain dengan sikap orang-orang yang sudah kena kutuk monster itu lalu orang-orang itu akan mengeluarkan senjata paling ampuh. Yaitu sebuah perkataan yang bisa bikin saya panas hati dan ingin sekali memberi pelototan tajam setajam sinar x ke orang yang berucap itu. Seperti misalnya ketika sedang antri di halte busway, lalu ada peristiwa dorong mendorong , saya lalu mencoba bilang kepada orang di belakang saya “Pak jangan dorong-dorong dong”. Maka dengan sigap sebuah senjata pertahanan hidup yang paling mujarab itu keluar, “Namanya juga Jakarta mbak”, ....ughhhh saya sumpahin digigit monster orang itu, upss atau memang sudah digigit dia.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.