Ini adalah kali kedua saya ikut Pemilu.Well, ini adalah hal yang cukup luar biasa bagi saya yang tergolong cukup apatis dengan kondisi negri ini. Makin apatis, ketika ketiga calon tidak ada satupun yang peduli dengan masalah lingkungan. Semua bilang ekonomi ekonomi ekonomi, tapi yang bikin miris, pasti kalo ketiganya ditantang naik kereta ekonomi ketika musim liburan, didalam gerbong sumpek tak ada tempat duduk yang lampunya mati selama 18 jam, pasti tidak ada yang mau naik dengan sukarela, (tentunya harus minus pampampres dan bla bla bla protokol Kepresidenan itu).Piuuhhh hal..hal yang miris dan bikin bibir meringis.
Barusan, tepatnya beberapa lama yang lalu (lebih tepatnya lagi kemarin), saya mencontreng. Bukan mencoblos, melingkari atau menyilang. Yah saya mencontreng. Mencontreng wajah-wajah menawan dan rupawan, yang punya berpuluh-puluh topeng simpatik. Ini bukan cuma mengenai satu pasang calon saja, tapi ketiga-tiganya. Mereka punya tim make up artist yang handal dan pandai mengambil hati banyak orang. Dan buat saya pribadi, jargon yang pas buat mereka ya, “boleh percaya boleh tidak, saya oke loh”. Kalimat itulah yang melulu terngiang-ngiang di kepala ketika membuka kertas suara dengan tempelan tiga pasang pas foto itu.
Sekitar seminggu yang lalu, sebenarnya saya sudah yakin untuk golput saja. Alasannya amat sederhana, bingung dan bingung. Bagi saya, semua tidak ada yang representatif. Yang pertama agak-agak pilon dengan dibayangi wajah diktaktor, yang kedua super jaim dan yang ketiga tingkahnya ceninilan seperti bola pingpong. Semua bikin saya muak.
Tapi parahnya, memilih ataupun tidak memilih. Kebijakan negara yang akan sedikit banyak berpengaruh terhadap atmosphere hidup saya di negara ini, akan ditentukan oleh orang-orang itu. Lalu...memilih atau tidak ya.
Pertanyaan itulah yang menjadi semacam headline kepala saya ketika tiga hari sebelum Pemilu. Apalagi di hari itu bapak memberikan undangan mencontreng dari TPS di RT saya. Saat itu bapak sempat bilang, “Ayo Lus, kita nyontreng bareng, buat nambah-nambahin suara....”. Lalu saya menjawab “Ah males ah, bingung”. Dan bapak cuma mengatakan “Yo wes, sak karepmu”.....tapi, beberapa menit kemudian dia menambahkan, “Sayang lah, kowe ki wes diundang ko ra teko, ra penak lah karo Pak RT”. Pak RT yang saya sebut-sebut, kebetulan tinggal persis di samping rumah saya. Orangnya baik dan sudah seperti keluarga sendiri. Pemilu Lagislatif yang lalu, saya sempat terang-terangan bilang kepadanya, “Pak RT saya golput ya”, dan Pak RT cuma menjawab, “Wes terserah”. Sambil tersenyum si Pak RT menjawabnya, tapi kok sepertinya, sebuah senyum yang tak rela. Tapi tetap, Pemilu Legislatif yang lalu, saya tidak memilih dan terang-terangan ngeloyor pergi, melewati TPS yang di dalamnya ada Pak RT serta sejumlah tetangga yang jadi panitia.
Masalah memberikan suara atau tidak memberikan suara, bagi saya adalah urusan yang sangat personal. Semua orang bisa merespon ajakan untuk berdemokrasi ini dengan keputusan yang sangat personal pula. Memilih adalah sebuah idealisme begitu juga tidak memilih. Begitu juga alasan dibalik pengambilkeputusan itu. Apakah ia tidak enak dengan Pak RT, terikut euforia, ingin memilih pemimpin yang lebih ganteng, ingin negara lebih baik, bingung karena semua penipu, atau cuma ingin iseng-iseng mencelupkan jari ke tinta. Tetapi kalau ada-ada hal yang membuat ia jadi terpaksa, apakah ia dipaksa untuk tidak bisa memilih karena ada kekacauan sistem yang sungguh sayang jadi lumrah di negara ini, atau ada paksaan secara persuasif dengan amplop atau apapun, ceritanya jadi lain tentunya. Ini si bukan kebebasan personal lagi. Dan tidak sepatutnya dimaklumi. Cuma masalahnya, ini kan Republik Maklum. Ya, maklumlah, namanya saja baru belajar demokrasi.
Akhirnya, demi menghormati Bapak, dan sedikit kena euforia mass media. Saya putuskan, pada 8 Juli kemarin. Untuk mencontreng, bukan mencoblos, meyilang atau melingkari. Walau di dalam kotak suara, saya berdiri lebih dari 3 menit. Bingung juga melihat wajah-wajah itu. Maka biar tidak bingung, saya pun bersenandung dan percaya hal-hal yang ajaib akan menuntutn saya. Lalu keluarlah lagu cap cip cup cap cip cup kembang kuncup, sampai lagu itu selesai pada sebuah gambar wajah berpeci. Dan sayapun mencontreng kotak dengan lelaki berpeci disitu.
Comments