Skip to main content

Mengapa Ini Disebut Munafik

Ini sebuah rezim yang selalu punya wacana untuk berkata tentang ini layak, itu tidak layak, ini bermoral atau itu tidak bermoral. Ini adalah sebuah rezim yang munafik. 

Foucault, seorang filsuf Prancis mengatakan, bahwa sejak lama dan sampai kini pun kita dibayangi oleh norma-norma zaman Victoria. Ratu yang angkuh dan puritan itu selama ini melambangkan seksualitas kita berciri menahan diri, diam, munafik. Seksualitas yang adalah bagian paling naluriah dari manusia telah dikurung dan diperangkap dalam sebuah wacana yang dianggap tabu dan berdosa. Seks tidak lagi bisa dibicarakan secara bebas, walaupun dalam konteks yang reflektif. 

Pada awal abad ke-17, konon, orang-orang masih bisa membicarakan seksualitas dengan bebas merdeka. Kita bisa menemukan kata-kata polos, pelanggaran norma yang terang-terangan, aurat yang dipertontontkan, anak-anak bugil yang lalu lalang tanpa rasa malu ataupun menimbulkan reaksi orang dewasa: tubuh-tubuh, pada waktu itu, tenggelam dalam keasyikan. 

Tetapi ketika borjuasi zaman Victoria masuk, seksualitas mulai dipingit, masuk dalam ruang-ruang tidur yang dianggap privat dan hanya bisa dimasuki oleh pasangan-pasangan yang sah. Seksualitas dianggap sebagai penyakit. Hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas dan tidak dilakukan atau tidak dikatakan sesuai dengan garis-garis norma yang ditentukan oleh yang “punya kuasa”, akan mendapat sebutan sebagai suatu hal yang ‘bidaah’, berdosa, menyimpang, patogen, penyakit. Sehingga hal-hal yang “menyimpang” itu harus dihilangkan, atau jika dalam perjalanan menghilangkan penyakit itu, ia terus berteriak, mendobrak minta dikeluarkan, maka hal yang paling rasional dilakukan adalah melokalisir penyimpangan-penyimpangan itu. 

Pelacuran adalah salah satu hal yang telah menembus batas-batas rezim wacana jaman borjuasi Victoria itu. Pelacuran adalah tema yang menggelisahkan, sekaligus seperti gatal-gatal yang membuat orang ingin terus menggaruknya. Ia dibungkam, sekaligus dibutuhkan. Serta yang tidak bisa dipungkiri, pelacuran adalah fenomena yang mendunia, karena ia berangkat dari kebutuhan dasar manusia. Termasuk di Nusantara, ia telah menjadi semacam bagian dari sejarah manusia di negeri ini.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.