Skip to main content

Mimpi Tentang Genesis dan Purgatorio

Bermimpi,... ini adalah sebuah predikat yang dengan semena sepertinya cukup pas saya tempelkan pada apa yang sedang dilakukan oleh dua kawan saya, Mike dan Naga. Terma itu tiba-tiba saja terlintas di kepala, sehabis melihat dan kemudian mendengar cerita dua kawan saya ini tentang Genesis dan Purgatorio. 

Mike bermimpi tentang sebuah penciptaan dunia yang berawal dari sebuah titik nihil yang kemudian secara ironis (sepertinya akan) menuju pada titik nihil kembali. Sebuah kehancuran yang disebabkan oleh hasil dari penciptaan itu sendiri. Sementara Naga bermimpi tentang sebuah perjalanan. Perjalanan yang berpusat pada sebuah gunung, yang menjadi semacam pusat kosmis orang Jogja. 

Mimpi-mimpi kedua kawan saya ini, kemudian mereka narasikan dalam fragmen-fragmen gambar yang ingin secara lugas maupun secara simbolik berbicara tentang pengalaman personal mereka soal manusia, soal diri mereka sendiri dengan alam sekitar mereka. 

Seperti membaca sebuah buku, mengikuti kisah dua orang kawan saya melalui rangkaian foto-foto ceritanya itu, saya harus benar-benar berkonsentrasi dan bersabar membuka lembar demi lembar gambar yang ingin bercerita tentang sesuatu. Kedua kawan ini seperti ingin berefleksi terhadap kondisi kekinian manusia dengan alamnya. 

Mengutip ucapan seorang kawan lain, seperti ada gugatan yang ingin disampaikan oleh Mike dan Naga. Sebuah gugatan terhadap manusia. Manusia yang sejatinya menjadi penciptaan terakhir dan utama dalam narasi besar Genesis, serta titik penting yang membuat narasi Purgatorio dalam trilogi La Divina Commedia milik Dante Alighieri berjalan. Tanpa tokoh-tokoh manusia, dua narasi besar itu, akan kosong dan tidak berarti. Dengan media foto, Mike ingin mengatasi batas-batas ruang dan waktu, serta memapatkan mimpinya tentang sebuah “gugatan” dalam sebuah kisah Genesis, The Shadow of the 6th Day. Genesis, adalah sebuah narasi besar dalam tradisi Kristianitas tentang awal mula seluruh alam semesta. Secara harafiah, Mike mengurutkan satu per satu urutan awal mula terciptanya elemen-elemen yang ada di semesta ini. Air, lautan, matahari, hingga yang ke enam, manusia, sebelum akhirnya Tuhan berlibur sejenak. 

Mike memotret komunitas masyarakat lokal di Putussibau, Kalimantan Barat. Sebuah komunitas lokal yang mau tidak mau harus berjuang menahan gerusan jaman dan modernitas. Perlahan tetapi pasti modernitas dan benturannya itu telah merenggut kearifan lokal mereka. Secara satir Mike ingin bercerita bahwa “bayang-bayang” manusia lah yang kemudian merusak satu- persatu yang dicipta itu. Bahkan pada akhirnya manusia itu sendiri. Mike tidak ingin “otoriter” dalam bercerita, ungkapnya tentang warna-warna dalam fotonya. Lewat warna-warna dalam fotonya, Mike ingin menjadikan semacam media gugatan tentang ironi sebuah relasi antara manusia dengan alam sekitarnya. Sebuah titik nihil yang kembali lagi ke titik nihil. 

Sementara Naga, lewat media foto hitam putih yang menurutnya sederhana itu, ingin berbicara soal mimpinya tentang sebuah perjalanan. Perjalanan personal, melihat dan mengalami sendiri tentang sebuah kota yang telah didiami selama hampir sembilan tahun. Merapi adalah pusat kisahnya. Sebuah gunung yang dipercaya menjadi semacam pusat kosmis orang Jogja. Dahulu, ia begitu sakral, Ia menjadi semacam simbol dari hidupnya mitos-mitos yang melingkupi Jogja. Sekarang, Ia telah melebur dalam peradaban kekinian. Merapi tidak melulu sakral, tetapi sejatinya ia terus dan melulu menghidupi orang-orang yang ada di sekitarnya. Baik secara materi maupun imateri. 

Lewat Purgatorio, sebuah proyek kisah mata yang masih terus berjalan, Naga ingin menggugat secara satir, bahwa “Merapi” seharusnya “dicuci” dari leburan kekinian itu. Yah, tentu ini sebuah utopia, apalagi dengan bergulirnya jaman, “Merapi” juga harus peka dan berkompromi terhadap putaran zaman itu. Tetapi, tampaknya Naga hanya ingin bermimpi. Bermimpi bahwa Merapi benar-benar menjadi Merapi. Sebuah tempat yang secara personal dimaklumi Naga memiliki aura magis dimana siapapun bisa hanya terduduk diam memandanginya. 

“The photograph is a thin slice of space as well as time. In a world ruled by photographic images, all borders (“framing”) seem arbitrary.” (sontang, on photography). Mimpi dari Genesis sampai Purgatorio ini adalah sebuah irisan ruang juga waktu, yang telah melebur batas-batas imajinasi dua kawan saya ini. Mungkin saja kalau saya boleh sok tahu, mimpi tentang selarasnya manusia dengan alam, dengan makro juga mikrokosmos sekitar mereka. 

Lucia Dianawuri, apresiasi untuk presentasi foto Michael Eko dan Karolus Naga (Chepas Foto Forum) di Galeri Foto Jurnalistik Antara.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai...

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gert...

Araki yang Sentimental

Ketika hidup sedang tidak terlalu ramah, beberapa orang mungkin akan pergi meracau pada yang lain, sosial media, tidur, atau pergi melangut sendiri. Sementara itu beberapa yang lain akan pergi memotret. Seperti yang dilakukan Nobuyoshi Araki.  “A man should never show his sadness. Even if you feel pain, don’t show it. You shouldn’t do that. Whenever a man fells pain or sadness, he should keep it inside. You should erase those feelings by taking photos. Just like that, it goes away. Don’t be sad and pathetic!” [1] Ya, jangan jadi orang menyedihkan. Simpan sedihmu jauh-jauh di dalam, dan keluarkanlah lewat medium fotografi. Tapi bukan berarti fotografi bisa semerta-merta membuat yang sedih langsung gembira. Dengan memotret, ketidakramahan dalam hidup bisa dikeluarkan. Bisa dituturkan dengan sangat sentimental. Ini Nobuyoshi Araki yang saya ingat. Selain tentu foto-fotonya yang begitu kontroversial. Sisi Araki yang ‘happy go lucky’ , namun sentimental inilah yang amat men...