“Aku adalah orang asing di tanah yang penuh dengan ranum madu dan hentak kaki bocah-bocah pada asinnya air laut serta kokohnya tembok-tembok kota tua ini.”
Ini adalah sebuah pertemuan antara Barat dan Timur, juga sebaliknya. Sebuah pertemuan yang membawa melankoli bagi masing-masing yang bertemu. Bagi Caro, juga bagi Erik.
Caro bertemu Erik di negeri Timur, dimana srengenge* selalu bersinar serta wajah-wajah manusianya, selalu tersenyum lebar terbakar matahari. Pertemuan mereka itu berlanjut pada sebuah kisah soal bagaimana akhirnya cita-cita mereka membangun sebuah rumah bertaut.
Timur, bagi banyak masyarakat Barat, begitu banyak menjanjikan eksotika visual yang selalu menarik untuk direkam. Sebuah masyarakat yang bagi banyak orang Barat, masih tradisional, hidup dengan mitos-mitos, serta amat berwarna dalam kesehariannya. Sementara Barat, dari kacamata orang Timur, seperti gambaran sebuah tembok raksasa besar, dengan bangunan-bangunan kokoh, terkesan dingin, serta makhluk-makhluk modern yang lebih individualis. Sebuah dikotomi Barat Timur, yang pada jaman ini, seharusnya sudah lebur dan tidak berbatas lagi. Karena Barat juga telah menghibrid Timur, begitu pula sebaliknya. Tidak ada lagi batas ruang dan waktu, karena Barat dan Timur adalah sebuah konsepsi yang juga secara semena dikonstruks.
Caro dan Erik dalam lanskap mata mereka, sepertinya ingin berkisah tentang gambaran personal mereka soal negeri Barat dan negeri Timur itu. Lewat seri foto, Caro, “My Baby is Sleeping in the Middle of the Wave, dan Erik, “No Title” , ingin merefleksikan pengalaman personal mereka tentang orang Barat melihat Timur dan orang Timur melihat Barat. Dua orang yang masing-masing berada di tanah asing dengan begitu banyak kisah.
Caro merekam eksotika visual Timur di utara Borneo. Ia bertemu dengan pribadi-pribadi Bajau Laut yang selalu mengapung karena berumah di tengah lautan. Sementara Erik merekam sebuah kota di negeri Barat yang begitu bermakna personal untuknya. Ia bertemu dengan Wina, Ibukota Austria.
Bagi Caro, Bajau Laut, makhluk-makluk yang ada di dalamnya, serta luka bakar matahari pada kulit adalah sebuah senyum lebar kebahagiaan. Mereka bahagia dengan tradisinya, kesederhanaan, serta asin air laut yang telah menjadi urat nadi hidup mereka. Tanpa laut, mereka menjadi “miskin”. Sedangkan bagi Erik, Wina adalah sebuah kota khas Eropa, yang tua, diam, sepi, serta hitam putih. Riuh rendah sebuah ibukota, ditangkap Erik dengan kekosongan, karena untuk Erik, kosong adalah sebuah melankoli tentang yang terkasih, karena Wina adalah kota dimana sang terkasih tinggal.
Sebuah keindahan yang masing-masing dimaknai oleh Caro dan Erik secara berbeda. Keduanya, bertemu dan mempertemukan diri dengan apa yang akhirnya mereka cintai, di negeri asing. Di negeri, Barat ataupun Timur, yang masing-masing memberi hidup dan menginspirasi, untuk kemudian melebur menjadi satu. Menjadi sebuah kisah pertemuan seseorang pada suatu waktu di negeri asing.
Selamat menempuh hidup baru untuk Caro dan Erik,
Save journey to both Estrada.
Lucia Dianawuri.
(sedikit apresiasi untuk presentasi foto Erik dan Caro di Chepas Photo Forum, YUK, Jogja).
*matahari
Comments