Apakah memang dunia fotografi adalah dunia yang maskulin?
Pertanyaan ini bermula ketika beberapa waktu yang lalu, saya sempat bertemu dengan seorang kawan fotografer perempuan yang bekerja sebagai seorang fotojurnalis. Dalam sebuah kesempatan ngobrol yang begitu santai dan menyenangkan, saya sempat bertanya mengenai hal itu, dan jawabannya, membuat saya semakin berpikir saja. “Gak tau kenapa ya lus, semenjak gue kuliah, terus ikut klub fotografi di kampus, mata gue ini dah dibentuk jadi mata lelaki.”
“Mata lelaki”, sebuah idiom yang amat menarik. Apakah ini, dan bagaimanakah idiom ini bisa muncul dan terucap dari mulut kawan saya itu.
“Memang apa itu “mata lelaki?” tanyaku kepada kawan itu kemudian. “Maksudnya ya itu Lus, waktu gue motret, gue seperti melihat dari sudut pandang lelaki. Misalnya saja, waktu gue motret perempuan, perspektif keindahan seorang perempuan menurut gue adalah bagian-bagian dari tubuh perempuan yang dianggap seksi itu.”
Pembicaraan itu kemudian semakin menarik saja, karena dalam sebuah kajian gender saya sempat membaca tentang konsep male gaze, yaitu bagaimana sebuah perspektif kelaki-lakian membantuk “mata masyarakat”. Kongkritnya adalah, bagaimana ketika seorang perempuan dalam prilakunya, misalnya saja ketika ia berpakaian, berdandan, berjalan atau melakukan hal-hal tertentu yang secara visual bisa tertangkap mata, melakukannya atas kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan itu akan dilihat oleh lelaki.
Dengan kesadaran itu, maka segala tindakannya akan dibentuk untuk memuaskan atau paling tidak mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh lelaki itu.
Dan yang menjadi masalah adalah, ketika kesadaran ini sudah menjadi sebuah kesadaran turun-temurun, dan dilakukan dari dari generasi ke generasi baik oleh lelaki atau perempuan. Maka kesadaran yang sejatinya adalah sebuah konstruk, akhirnya dimaklumi menjadi sebuah kesadaran yang sejati dan benar.
Mungkin saja, itu yang dimaksud oleh kawan saya, male gaze. Sebuah konsep yang samar tetapi pasti bahwa memang masyarakat kita, telah patuh mengikuti konstruk itu.
Tetapi kemudian saya kembali bertanya-tanya, bahwa sangat banal dan tidak berdasar jika saya kemudian menjustifikasi, bahwa mata para pembidik yang menekan shutter adalah seluruhnya terkonstruk oleh “mata lelaki”. Bahwa kemudian memang secara empiris, jika dilihat dari jumlah, (lagi-lagi saya sok tahu, ini juga berdasar pengamatan saya di lapangan) fotografer lelaki jumlahnya lebih banyak dibanding perempuan. Misalnya saja (ini justifikasi semena) dalam penganugerahan PFI, juri perempuan hanya satu orang, dan pemenang dari kelamin perempuan hanya satu orang. Tentu tidak bisa dikatakan bahwa seluruh fotografer (khususnya yang ada di Indonesia) memiliki konstruk pandang yang benar-benar lelaki (baca patriarki). Tentu ada juga, bahkan mungkin tidak sedikit, fotografer (bahkan lelaki) yang memiliki sudut pandang sangat sensitif gender. Misalnya saja, salah seorang kawan fotografer yang saya kenal, Karolus Naga, memotret kisah para Waria dalam Pesantren Senin-Kamis di Yogyakarta. Tentu saya bisa mengatakan bahwa, upaya Naga untuk memotret para Waria ini adalah semacam cara untuk mendokumentasi sekaligus meneriakkan isu-isu gender yang masih terus berkelindan dalam masyarakat kita. Selain itu, saya juga mengenal seorang kawan fotografer perempuan yang lewat karyanya ingin mengisahkan soal perempuan serta berbagai permasalahannya. Stefanni Imelda adalah salah seorang kawan fotografer perempuan yang saya kenal itu. Lewat Mata Perempuan, sebuah eksibisi yang mencoba mendokumentasikan perempuan dari mata perempuan, Fanni yang menjadi salah satu motor penggeraknya, ingin menjadikan fotografi sebagai medium bercerita yang mampu menembus gender dan realita.
Jadi, jika demikian, kebingungan saya ini tampaknya butuh sebuah penjelasan yang amat bijak. Dan sepertinya pembicaraan tentang mengapa banyak mata pembidik, salah satunya adalah kawan perempuan saya yang fotojurnalis itu, terbentuk menjadi “mata lelaki” harus dimulai dari saat media fotografi ini tercipta.
Dari hasil obrol-obrol saya lainnya, tentang tema yang kurang lebih sama dengan serang kawan fotografer lainnya, secara amat singkat, bisa dikatakan, bahwa pada mulanya, fotografi adalah sebuah medium yang diciptakan oleh para pencetusnya untuk menghadirkan satu paradigma baru. Para pencetusnya, yaitu William Henry Fox Talbot, Joseph Nicephore Niepche dan Louis Jacques Mande Daguere melakukan berbagai percobaan pada waktu dan tahun berbeda untuk menjawab tantangan akan pencarian obyektifitas dari the real. Bagaimana hal yang benar-benar terjadi atau benar-benar ada, serta sudah terlampaui waktu itu, dapat dibekukan secara visual dan dapat dilihat kembali terus menerus. Pada saat itu, fotografi belum benar-benar menjadi industri massif, fotografi masih menjadi barang mahal, hobi yang hanya dapat dimiliki dan digunakan oleh para kalangan atas saja. Selain itu, dengan alat foto yang begitu besar dan berat, fotografi pada saat itu secara tidak langsung menjadi semacam monopoli para lelaki (ini sepertinya berhubungan dengan konstruk di masyarakat, bahwa fisik perempuan lebih lemah dibanding para lelaki).
Tetapi ketika ada fotografer-fotografer perempuan ‘militan’ yang secara fisik dan karya tidak berbeda dengan para fotografer laki-laki (seperti Dorothea Lange, misalnya yang pada tahun 1936, memotret para keluarga migran di California), anggapan bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam dunia fotografi, seperti tidak berlaku lagi.
Apalagi jika merunut kembali ke tahun-tahun sebelumnya saat seorang “Eastman” dengan Kodaknya mencipta kamera yang begitu compact, murah dan terjangkau, maka asumsi bahwa dunia fotografi hanya mampu digumuli oleh para lelaki adalah sesuatu yang sepertinya tidak tepat lagi. “You press the button we do the rest”, dengan slogan ini, Eastman sepertinya ingin mengatakan ‘siapapun bisa memotret, karena memotret adalah pekerjaan mudah, dan kerepotan selanjutnya akan langsung ditangani oleh Kodak’.
Lalu kemudian, ketika ranah-ranah dalam foto semakin berkembang, seiring dengan makin berkembangnya kapitalisasi dalam dunia fotografi, komodifikasi keindahan, kecantikan, dan akhirnya perempuan mulai berkembang. Dari hasil obrol-obrol ngalur ngidul itu, kami berkesimpulan, salah satu ranah yang cukup terkapitalisasi karena harus berkompromi teramat sangat dengan pasar adalah ranah photo fashion. Saat pasar mulai benar-benar berkembang, dan memasuki hampir setiap ranah kehidupan manusia, kebutuhan akan propaganda pun makin meningkat. Dalam kebutuhan akan propaganda itu, kebutuhan akan aktor untuk dikomodifikasi tentu begitu besar. Dalam masyarakat yang sungguh patriarkis ini, perempuan akhirnya menjadi semacam santapan lunak yang seringkali dikomodifikasi. Dengan konstruk-konstruk yang mengelilingi tubuh perempuan, serta peran dan statusnya dalam masyrakat, banyak sekali propaganda-propaganda yang dilakukan oleh pasar itu semakin melanggengkan hal itu. Misalnya saja, simbol kecantikan seringkali divisualisasi dalam bentuk perempuan langsing, putih, berambut lurus, dan berwajah indo.
Kesimpulan dari obrol-obrol itu adalah, mungkin saja, ungkapan kawan saya yang mengatakan matanya sudah dibentuk menjadi ‘mata lelaki’ itu terjadi ketika fotografi mulai dikapitalisasi. Dan ketika itu, secara tidak langsung, sepertinya fotografi menjadi dunia yang maskulin, dan terma ini tidak hanya dalam ranah photo fashion, tetapi memasuki hampir seluruh ranah fotografi.
Tetapi, tentu arus-arus kesadaran lain akan kondisi itu, tentu begitu besar membuncah di sekitar kesadaran yang sudah (sepertinya) terfiksasi itu, banyak fotografer dengan karya-karyanya (mungkin karya idealisnya) mencoba mendobrak konstruk-konstruk itu. Dan ini tidak melulu tergantung pada kelaminnya, karena bisa saja, dan sangat mungkin, seorang fotografer perempuan sama sekali tidak memiliki perspektif kritis soal isu perempuan, tetapi sebaliknya, bisa saja seorang fotografer laki-laki memiliki perspektif itu.
Jadi bagaimana menurut kawan-kawan? Karena sungguh, saya sendiri merasa belum benar-benar menemukan jawaban atas pertanyaa saya itu.
salam
Lucia Dianawuri
Pertanyaan ini bermula ketika beberapa waktu yang lalu, saya sempat bertemu dengan seorang kawan fotografer perempuan yang bekerja sebagai seorang fotojurnalis. Dalam sebuah kesempatan ngobrol yang begitu santai dan menyenangkan, saya sempat bertanya mengenai hal itu, dan jawabannya, membuat saya semakin berpikir saja. “Gak tau kenapa ya lus, semenjak gue kuliah, terus ikut klub fotografi di kampus, mata gue ini dah dibentuk jadi mata lelaki.”
“Mata lelaki”, sebuah idiom yang amat menarik. Apakah ini, dan bagaimanakah idiom ini bisa muncul dan terucap dari mulut kawan saya itu.
“Memang apa itu “mata lelaki?” tanyaku kepada kawan itu kemudian. “Maksudnya ya itu Lus, waktu gue motret, gue seperti melihat dari sudut pandang lelaki. Misalnya saja, waktu gue motret perempuan, perspektif keindahan seorang perempuan menurut gue adalah bagian-bagian dari tubuh perempuan yang dianggap seksi itu.”
Pembicaraan itu kemudian semakin menarik saja, karena dalam sebuah kajian gender saya sempat membaca tentang konsep male gaze, yaitu bagaimana sebuah perspektif kelaki-lakian membantuk “mata masyarakat”. Kongkritnya adalah, bagaimana ketika seorang perempuan dalam prilakunya, misalnya saja ketika ia berpakaian, berdandan, berjalan atau melakukan hal-hal tertentu yang secara visual bisa tertangkap mata, melakukannya atas kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan itu akan dilihat oleh lelaki.
Dengan kesadaran itu, maka segala tindakannya akan dibentuk untuk memuaskan atau paling tidak mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh lelaki itu.
Dan yang menjadi masalah adalah, ketika kesadaran ini sudah menjadi sebuah kesadaran turun-temurun, dan dilakukan dari dari generasi ke generasi baik oleh lelaki atau perempuan. Maka kesadaran yang sejatinya adalah sebuah konstruk, akhirnya dimaklumi menjadi sebuah kesadaran yang sejati dan benar.
Mungkin saja, itu yang dimaksud oleh kawan saya, male gaze. Sebuah konsep yang samar tetapi pasti bahwa memang masyarakat kita, telah patuh mengikuti konstruk itu.
Tetapi kemudian saya kembali bertanya-tanya, bahwa sangat banal dan tidak berdasar jika saya kemudian menjustifikasi, bahwa mata para pembidik yang menekan shutter adalah seluruhnya terkonstruk oleh “mata lelaki”. Bahwa kemudian memang secara empiris, jika dilihat dari jumlah, (lagi-lagi saya sok tahu, ini juga berdasar pengamatan saya di lapangan) fotografer lelaki jumlahnya lebih banyak dibanding perempuan. Misalnya saja (ini justifikasi semena) dalam penganugerahan PFI, juri perempuan hanya satu orang, dan pemenang dari kelamin perempuan hanya satu orang. Tentu tidak bisa dikatakan bahwa seluruh fotografer (khususnya yang ada di Indonesia) memiliki konstruk pandang yang benar-benar lelaki (baca patriarki). Tentu ada juga, bahkan mungkin tidak sedikit, fotografer (bahkan lelaki) yang memiliki sudut pandang sangat sensitif gender. Misalnya saja, salah seorang kawan fotografer yang saya kenal, Karolus Naga, memotret kisah para Waria dalam Pesantren Senin-Kamis di Yogyakarta. Tentu saya bisa mengatakan bahwa, upaya Naga untuk memotret para Waria ini adalah semacam cara untuk mendokumentasi sekaligus meneriakkan isu-isu gender yang masih terus berkelindan dalam masyarakat kita. Selain itu, saya juga mengenal seorang kawan fotografer perempuan yang lewat karyanya ingin mengisahkan soal perempuan serta berbagai permasalahannya. Stefanni Imelda adalah salah seorang kawan fotografer perempuan yang saya kenal itu. Lewat Mata Perempuan, sebuah eksibisi yang mencoba mendokumentasikan perempuan dari mata perempuan, Fanni yang menjadi salah satu motor penggeraknya, ingin menjadikan fotografi sebagai medium bercerita yang mampu menembus gender dan realita.
Jadi, jika demikian, kebingungan saya ini tampaknya butuh sebuah penjelasan yang amat bijak. Dan sepertinya pembicaraan tentang mengapa banyak mata pembidik, salah satunya adalah kawan perempuan saya yang fotojurnalis itu, terbentuk menjadi “mata lelaki” harus dimulai dari saat media fotografi ini tercipta.
Dari hasil obrol-obrol saya lainnya, tentang tema yang kurang lebih sama dengan serang kawan fotografer lainnya, secara amat singkat, bisa dikatakan, bahwa pada mulanya, fotografi adalah sebuah medium yang diciptakan oleh para pencetusnya untuk menghadirkan satu paradigma baru. Para pencetusnya, yaitu William Henry Fox Talbot, Joseph Nicephore Niepche dan Louis Jacques Mande Daguere melakukan berbagai percobaan pada waktu dan tahun berbeda untuk menjawab tantangan akan pencarian obyektifitas dari the real. Bagaimana hal yang benar-benar terjadi atau benar-benar ada, serta sudah terlampaui waktu itu, dapat dibekukan secara visual dan dapat dilihat kembali terus menerus. Pada saat itu, fotografi belum benar-benar menjadi industri massif, fotografi masih menjadi barang mahal, hobi yang hanya dapat dimiliki dan digunakan oleh para kalangan atas saja. Selain itu, dengan alat foto yang begitu besar dan berat, fotografi pada saat itu secara tidak langsung menjadi semacam monopoli para lelaki (ini sepertinya berhubungan dengan konstruk di masyarakat, bahwa fisik perempuan lebih lemah dibanding para lelaki).
Tetapi ketika ada fotografer-fotografer perempuan ‘militan’ yang secara fisik dan karya tidak berbeda dengan para fotografer laki-laki (seperti Dorothea Lange, misalnya yang pada tahun 1936, memotret para keluarga migran di California), anggapan bahwa perempuan memiliki keterbatasan dalam dunia fotografi, seperti tidak berlaku lagi.
Apalagi jika merunut kembali ke tahun-tahun sebelumnya saat seorang “Eastman” dengan Kodaknya mencipta kamera yang begitu compact, murah dan terjangkau, maka asumsi bahwa dunia fotografi hanya mampu digumuli oleh para lelaki adalah sesuatu yang sepertinya tidak tepat lagi. “You press the button we do the rest”, dengan slogan ini, Eastman sepertinya ingin mengatakan ‘siapapun bisa memotret, karena memotret adalah pekerjaan mudah, dan kerepotan selanjutnya akan langsung ditangani oleh Kodak’.
Lalu kemudian, ketika ranah-ranah dalam foto semakin berkembang, seiring dengan makin berkembangnya kapitalisasi dalam dunia fotografi, komodifikasi keindahan, kecantikan, dan akhirnya perempuan mulai berkembang. Dari hasil obrol-obrol ngalur ngidul itu, kami berkesimpulan, salah satu ranah yang cukup terkapitalisasi karena harus berkompromi teramat sangat dengan pasar adalah ranah photo fashion. Saat pasar mulai benar-benar berkembang, dan memasuki hampir setiap ranah kehidupan manusia, kebutuhan akan propaganda pun makin meningkat. Dalam kebutuhan akan propaganda itu, kebutuhan akan aktor untuk dikomodifikasi tentu begitu besar. Dalam masyarakat yang sungguh patriarkis ini, perempuan akhirnya menjadi semacam santapan lunak yang seringkali dikomodifikasi. Dengan konstruk-konstruk yang mengelilingi tubuh perempuan, serta peran dan statusnya dalam masyrakat, banyak sekali propaganda-propaganda yang dilakukan oleh pasar itu semakin melanggengkan hal itu. Misalnya saja, simbol kecantikan seringkali divisualisasi dalam bentuk perempuan langsing, putih, berambut lurus, dan berwajah indo.
Kesimpulan dari obrol-obrol itu adalah, mungkin saja, ungkapan kawan saya yang mengatakan matanya sudah dibentuk menjadi ‘mata lelaki’ itu terjadi ketika fotografi mulai dikapitalisasi. Dan ketika itu, secara tidak langsung, sepertinya fotografi menjadi dunia yang maskulin, dan terma ini tidak hanya dalam ranah photo fashion, tetapi memasuki hampir seluruh ranah fotografi.
Tetapi, tentu arus-arus kesadaran lain akan kondisi itu, tentu begitu besar membuncah di sekitar kesadaran yang sudah (sepertinya) terfiksasi itu, banyak fotografer dengan karya-karyanya (mungkin karya idealisnya) mencoba mendobrak konstruk-konstruk itu. Dan ini tidak melulu tergantung pada kelaminnya, karena bisa saja, dan sangat mungkin, seorang fotografer perempuan sama sekali tidak memiliki perspektif kritis soal isu perempuan, tetapi sebaliknya, bisa saja seorang fotografer laki-laki memiliki perspektif itu.
Jadi bagaimana menurut kawan-kawan? Karena sungguh, saya sendiri merasa belum benar-benar menemukan jawaban atas pertanyaa saya itu.
salam
Lucia Dianawuri
Comments
Selamat Berkarya Brur :)