Skip to main content

Perhaps Love, Momen Personal dalam Bahasa Universal

Mungkin cinta adalah saat seorang ibu sedang berjuang antara hidup dan mati dalam ruang persalinan, mungkin cinta adalah saat seorang ibu tersenyum melihat sang buah hati menguap dalam dekapan, dan mungkin cinta adalah saat seorang ayah mengintip dari balik jendela bidik dan menekan tombol rana untuk mengabadikan momen yang tak pernah ingin ia lupakan.

 Mungkin Dicky Jiang, lewat bidikan-bidikannya itu sedang menunjukkan cinta pada keluarga kecilnya, dan mungkin foto-foto yang ditampilkan oleh Dicky Jiang ini adalah sebuah ekspresi cinta sederhana dari seorang lelaki yang begitu sentimentil, tentang momen ‘menjadi Ayah’.

Menjadi Ayah adalah sebuah momen personal yang dimaknai secara personal pula oleh sang empunya, dan secara personal, saya sendiri tidak pernah merasakan momen itu. Entah bagaimana rasanya mendengar dan melihat tangis pertama buah hati, atau melihat istri tercinta menangis terharu memeluk si kecil yang berteriak-teriak karena kenyamanannya selama sembilan bulan terusik. Sungguh saya hanya bisa ikut merasakan aura itu dari foto-foto Dicky Jiang yang begitu manis bertutur tentang rasa itu.

Memotret adalah kegiatan subyektif, memotret adalah sarana untuk memahami, berekspresi, dan tentu saja mendokumentasikan. Dalam bukunya On Photography, Susan Sontag sempat bertutur bahwa fotografi adalah sebuah kegiatan memandang dunia – to appropriate the thing photographed - putting oneself into a certain relation to the world. Memotret adalah saat-saat dimana diri kita sebagai persona lebur dalam frame-frame yang dibekukan. Ini adalah sebuah metamorfosa panjang dari awal mula terciptanya fotografi yang pada mulanya ingin menghadirkan satu paradigma baru dari apa yang diperjuangkan oleh William Henry Fox Talbot, Joseph Nicephore Niepce dan Louis Jaques Mande Daguere dengan sejumlah percobaan yang mereka lakukan pada waktu dan tahun yang berbeda.

Saat itu medium fotografi ditujukan sebagai medium yang mampu menjawab tantangan akan pencarian 'obyektifitas' dari 'the real'. Bagaimana hal yang benar-benar terjadi atau benar-benar ada, serta sudah terlampaui waktu itu, dapat dibekukan secara visual dan dapat dilihat kembali terus menerus. Namun, dalam konteks kekinian, ketika fotografi telah menjadi begitu massif, fotografi telah berproses menjadi sebuah bahasa, pesan visual subyektif sang fotografer.

Momen-momen personal yang begitu romantis, juga sentimentil adalah sebuah pernyataan yang secara implisit ingin dikatakan oleh si pembidik gambar lewat sebuah bahasa universal, bahasa foto. Lewat bahasa foto itu, si pembidik gambar –Dicky Jiang- mungkin saja dengan jujur ingin berkisah soal kisah cintanya yang begitu dalam pada keluarganya, pada kekasih, dan anak-anaknya. Kisah cintanya menjadi seorang ayah yang pada setiap alurnya membuat ia begitu tersentuh.

Lewat bahasa gambar Dicky Jiang ingin membagi rasa serta aura itu. Bahwa dalam kisah-kisah keseharian, yang bisa saja dialami oleh banyak orang, peristiwa menjadi Ayah yang merupakan sebuah peristiwa biasa dalam banyak masyarakat kita, merupakan sebuah peristiwa yang tidak biasa bagi Dicky Jiang, atau mungkin bagi beberapa orang. Karena dalam momen personal itu, ada kebahagiaan begitu mendalam yang berbeda dengan kebahagiaan lainnya, bahwa dalam momen personal itu, ia merasa beruntung memiliki kekasih-kekasih yang akan menjadi teman seumur hidupnya, bahwa dalam momen menjadi ayah itu, ada cinta yang tak terjelaskan sekaligus tanggung jawab yang mengikutinya. Sebuah gambar-gambar personal yang dapat merengkuh sebuah rasa yang universal. Rasa yang mungkin saja sempat dialami oleh banyak orang.

Seperti Barthes, dalam telaah visual terakhirnya yang begitu personal, mencoba merefleksikan apa yang mampu dihadirkan oleh foto Winter Garden dalam kenangan akan sang ibunda tercinta. Dalam telaahnya yang begitu sentimentil itu, Barthes akhirnya menemukan bahwa bukanlah foto si anak gadis yang dikenalinya sebagai sang ibu yang berbicara tentang kebangkitan ibunda tercinta, namun pada kegelisahan pribadinya, pada kerinduannya yang teramat dalam pada sang ibunda. Dari aura yang muncul dari foto yang begitu personal itu, Barthes memanifestasikan segala gelisah dan rindunya dalam sebuah puisi indah berjudul le chambre claire - Camera Lucida.

Benang merahnya adalah bukan pada fotonya, seperti yang dilakukan oleh Dicky Jiang, yang mungkin saja hanya ingin menjadikan foto sebagai media untuk bertutur soal kisahnya yang sentimentil, dan personal itu. Lewat medium foto pula, seorang Jacques- Henri Lartigue, menangkap momen-momen personal yang telah lewat. Sebuah pembekuan visual yang jika dilihat kembali akan menjadi sebuah ‘dunia’ yang utuh atau seperti yang dikatakan Sontang to collect photograph is to collect the worldOn Photography.

Atau mungkin saja, lewat foto-foto personal ini, Dicky Jiang ingin mengatakan bahwa perhaps love is HOPE.

*hadiah untuk Sarah Hope Yuwono
Lucia Dianawuri dan Karolus Naga, untuk citrakostha

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai...

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gert...

Araki yang Sentimental

Ketika hidup sedang tidak terlalu ramah, beberapa orang mungkin akan pergi meracau pada yang lain, sosial media, tidur, atau pergi melangut sendiri. Sementara itu beberapa yang lain akan pergi memotret. Seperti yang dilakukan Nobuyoshi Araki.  “A man should never show his sadness. Even if you feel pain, don’t show it. You shouldn’t do that. Whenever a man fells pain or sadness, he should keep it inside. You should erase those feelings by taking photos. Just like that, it goes away. Don’t be sad and pathetic!” [1] Ya, jangan jadi orang menyedihkan. Simpan sedihmu jauh-jauh di dalam, dan keluarkanlah lewat medium fotografi. Tapi bukan berarti fotografi bisa semerta-merta membuat yang sedih langsung gembira. Dengan memotret, ketidakramahan dalam hidup bisa dikeluarkan. Bisa dituturkan dengan sangat sentimental. Ini Nobuyoshi Araki yang saya ingat. Selain tentu foto-fotonya yang begitu kontroversial. Sisi Araki yang ‘happy go lucky’ , namun sentimental inilah yang amat men...