Skip to main content

Melancong ke Kota di Seberang Laut


Saya sempat terkesima ketika sebentar melancong ke negeri di seberang lautan. Ketika itu saya melakukan hal yang -sepertinya- sering dilakukan oleh para anggota DPR ketika studi banding ke negeri orang, “terkesima, membanding-bandingkan, berefleksi mengapa negerinya tidak seperti negeri ini, lalu sesudahnya jalan-jalan saja ala turis”. Nah pada kesempatan itu pun saya benar-benar menjadi turis dan tidak sengaja - iseng-iseng - membaca kota yang saya singgahi.

Jangan bayangkan sebuah pembacaan yang rumit dan semiotis. Pembacaan yang saya lakukan ini sungguh sederhana, apalagi ini hanya iseng-iseng saja. Mengingat apa yang saya lakukan dari awal hingga mengantar saya ke sebuah perjalanan ke luar negeri pertama kali, ya memang berawal dari sebuah keisengan. Iseng-iseng membuka situs maskapai penerbangan murah meriah, lalu kebetulan ada promo tiket murah, iseng-iseng memesan tiket untuk perjalanan enam bulan ke depan.

Mungkin kalau mau, tulisan ini bisa berjudul, ‘iseng-iseng berhadiah’, karena sebelumnya, pergi ke luar negeri adalah hal yang sepertinya ada di angan-angan saja, apalagi dengan uang sendiri. Lalu karena keisengan memesan tiket murah yang -saya pikir- kalau tidak jadi pergi ya tidak rugi juga, serta berbekal uang saku terbatas, saya dan kawan, nekat berangkat.

Ternyata, saya mendapat hadiah tidak mengecewakan. Perlancongan saya ini akhirnya menjadi sebuah perjalanan pertama kali yang menyenangkan dan cukup membuka mata. Terutama tentang bagaimana orang di luar negeri saya mengelola kota mereka.

Melihat dan Membaca Kota


Melihat kota adalah seperti melihat masyarakatnya. Melihat bagaimana sebuah kota dibangun, ditata lalu dipelihara, adalah sama dengan melihat bagaimana sekelompok masyarakat melakukan kerja-kerja itu.

Kalimat di atas sepertinya bisa merangkum berbagai perasaan yang menggelayuti selama saya melakukan perjalanan. Sebuah kekaguman sekaligus kegundahan setelah melancong ke dua kota di dua negeri yang berbeda.

Singapura dan Kuala Lumpur di Malaysia adalah dua buah kota pada negeri di seberang lautan itu. Dua kota yang membuat saya terkesima, terutama pada moda transportasi umumnya. Bolehlah jika ada yang mengatakan saya ini udik atau kampungan, karena termangap-mangap melihat hal itu. Tapi saya tidak bisa menyangkal bahwa moda transportasi itu sungguh luar biasa. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi di negeri saya sendiri, Indonesia tercinta.

Di Singapura ada Mass Rapid Transit (MRT). MRT adalah sebutan transportasi massa berbentuk kereta. Selain memiliki MRT, Singapura juga ramah dengan berbagai moda transportasi publik lain, seperti bus dan taksi. Tarif yang terjangkau, tempat menunggu yang nyaman dan mudah ditemukan, tepat waktu dan cepat, membuat bergerak di Singapura adalah sesuatu yang mudah dan menyenangkan.

Sementara itu Kuala Lumpur, juga tidak jauh berbeda dengan Singapura. Walau tidak sebersih dan serapi Singapura, kota ini memiliki transportasi umum berbagai bentuk yang lebih manusiawi ketimbang kota-kota besar di Indonesia. Transportasi publik di Kuala Lumpur terdiri dari bis, taksi dan kereta api. Rapid Transit di Kuala Lumpur terdiri dari tiga transportasi rel yang berbeda, yaitu RapidKL RAIL, KL Monorail, dan KTM Komuter. Stasiun KL Sentral berperan sebagai hub utama transportasi rel. Selain itu KL Sentral juga menjadi hub bagi jalur kereta antar kota yang dioperasikan oleh KTM Intercity, dengan layanan hingga Singapura dan Hat Yai, Thailand.

Seperti di Singapura, bis-bis di Kuala Lumpur tidak bisa berhenti sembarangan. Ada halte sesuai dengan jalur yang sudah ditentukan, serta ada jam-jam keberangkatan. Bis nya pun nyaman dan tarifnya lumayan terjangkau.

Jika tidak ingin naik bis, kereta atau taksi, Singapura dan Kuala Lumpur, amat ramah dengan para pejalan kaki. Sarana pedestrian begitu diperhatikan di kedua kota ini. Bahkan di tengah pembangunan kota yang begitu menggebu, kedua kota ini tetap menyediakan jalur-jalur pejalan kaki yang tidak dikalahkan oleh pengendara motor, pedagang kaki lima atau mobil yang parkir sembarangan. Maka dari itu, saya pun begitu betah berjalan kaki di kedua kota ini. Sampai-sampai kedua kaki saya kapalan karena tidak memakai alas kaki nyaman. Ah ini sungguh mengganggu, jadi mungkin bisa menjadi tips, pakailah alas kaki nyaman jika ingin bepergian ke dua kota ini, karena jalan kaki –seharusnya- bisa sangat menyenangkan -jika kaki anda tidak kapalan tentunya-.

Satu hal lagi yang membuat saya begitu iri tidak menjadi warga kota-kota ini adalah banyaknya ruang publik yang ada di setiap sudut. Ruang publik tempat dimana warga kota, serta pengunjung kota dapat menghabiskan waktu sambil duduk-duduk sendiri, bersama kawan dan kerabat atau hanya sekedar melihat-lihat keramaian. Dalam waktu yang begitu singkat selama perlancongan saya di Singapura, saya sudah bisa mengatakan Marina Bay adalah ruang publik favorit saya. Tidak ada pagar-pagar besi yang menutupi ruang ini, semua orang dari berbagai lapisan bisa masuk, duduk-duduk, atau bahkan tertidur di situ. Sambil duduk-duduk melihat Merlion dari kejauhan, saya pun bisa asyik surfing di dunia maya karena seluruh wilayah itu dikelilingi oleh Wifi gratis.

Di Kuala Lumpur, tempat publik favorit saya adalah KLCC dimana menara Petronas menjadi pusatnya. Untuk memasuki area ini, semua orang bisa lewat dari berbagai sisi, karena tidak ada pagar yang mengelilinginya. Walau tidak berpagar, berbagai fasilitas yang ada di ruang publik ini cukup terawat. Arena jogging tersedia dengan rapi. Bangku-bangku untuk duduk leyeh-leyeh juga disediakan dengan kapasitas memadai.Tidak ada bohlam lampu yang pecah atau mati. Tong-tong sampah masih ada di tempatnya dan berfungsi sebagaimana mestinya, sarana air minum publik gratis pun juga masih bisa digunakan dengan baik.

Berbagai kekaguman yang muncul dari sekilas penglihatan saya itu membuat saya sedikit membaca, bahwa dua kota itu memang dirancang untuk menjadi accesible bagi warganya juga bagi pengunjungnya. Sebuah kota memang seharusnya dirancang menjadi mudah bagi siapa saja, bukan hanya bagi orang yang punya duit.

Sayangnya di Indonesia, khususnya Jakarta, bahkan orang-orang yang berduit pun, tidak bisa merasakan kemudahan itu. Apalagi jika sudah berbicara soal masalah transportasi. Bagi saya, dan saya percaya, bagi banyak masyarakat Jakarta, sungguh ironis, sebuah ibukota tidak menyediakan alat transportasi publik yang layak bagi warganya.

Alat transportasi yang memadai adalah salah satu bentuk penghargaan, juga sebuah kewajiban hakiki sebuah kota kepada warganya. Dengan transportasi yang memadai, energi warganya dapat tersalurkan dengan efektif. Bukan untuk hal-hal negatif, seperti marah-marah karena mobilnya disalip motor, merengut karena berdesak-desakan di dalam bis kota atau mengeluh karena terperangkap macet berjam-jam. Ekonomi kota akan terdorong lebih maju, karena semua berjalan efisien, dan yang jelas, warga kota lebih sehat, baik fisik atau rohani. Tingkat stress menurun, kesehatan pernafasan pun lebih terjaga. Dan mungkin aksesibilitas kota ini lah salah satunya yang membuat standar hidup di dua kota ini lebih tinggi dibandingkan kota-kota di Indonesia.

Yah pembacaan iseng-iseng ini, mungkin hanya akan keluar dari seorang yang baru pertama kali ke luar negeri seperti saya. Tentu semua jadi exciting dan berbeda. Entah jika suatu saat nanti saya akan kembali lagi ke kota-kota itu atau ke kota lainnya, mungkin ada rasa kagum dan gundah yang tidak sama.

Namun yang jelas, Indonesia dan kota-kotanya akan selalu jadi rumah saya. Entah suatu saat nanti saya akan (mungkin iseng-iseng juga) pergi ke belahan dunia yang waktunya berbeda 17 jam atau suhunya berbeda ekstrim, pasti saya akan kembali lagi ke negeri ini. Negeri yang kota-kota didalamnya sedang bergulat dengan segala masalah dan dinamikanya.

Sepertinya tidak ada kota di dunia, seperti Jakarta atau Yogyakarta yang memiliki warung makan dengan menu seenak yang pernah saya rasakan. Tidak ada yang menyediakan nasi uduk jengkol ala Betawi atau gudeg Wijilan dengan cita rasa khas seperti di dua kota itu. Boleh taruhan jika tidak percaya...;p



Tips and Trick for budget traveler to Singapore and KL!

1. Rajin-rajin browsing di situs AirAsia.com, banyak promo tiket murah yang harus dipesan berbulan-bulan sebelum waktu keberangkatan.
2. Untuk melanjutkan perjalanan dari Singapura ke Kuala Lumpur, lebih murah ditempuh dengan bis, tetapi jangan naik bis langsung dari terminal Singapura ke Kuala Lumpur. Harga bisa ditekan hingga 50 persen kalau perjalanan dilakukan dari Johor Baru dan sesudah itu ke Kuala Lumpur.
Untuk ke Johor Baru dari Singapura bisa ditempuh dari terminal khusus untuk bis-bis ke Johor. Salah satu nama bis Singapura-Johor Baru yang cukup recomended bernama “Causeway Link”.
3. Jangan lupa tukar rupiah (Rp) dengan dolar Singapura (SGD) sebelum berangkat ke Singapura. Dan jangan lupa tukar SGD ke ringgit (MYR) di Singapura. Saya punya pengalaman ketika sudah sampai di terminal Johor Baru, saya belum menukar SGD ke MYR dan coba menukar di money changer setempat. Karena tidak cermat membaca catatan kecil di bawahr, bahwa rate dapat dinegosiasi, si pemilik money changer dengan seenaknya menukar dengan harga murah di bawah dari rate yang ia cantumkan besar-besar. Katanya kalau menukar dibawah 100 SGD ya ratenya dibawah itu, padahal tidak ada catatan atau peraturan seperti itu. Merasa ditipu saya dan kawan pun sempat berdebat dan akhirnya ia menaikkan ratenya sedikit sekali. Pengalaman menyebalkan pertama dengan seorang India.
4. Saya punya satu tempat rekomendasi menginap yang murah, meriah dan cukup lumayan di Singapura. Namanya Backpackers Inn, lokasnya di Bugis, tepatnya di depan Bugis Junction. Untuk tipe dorm (sekitar 4-6 orang per kamar) ratenya sekitar 18 SGD per malam. Di tempat ini kita dapat makan pagi (biasanya roti bakar yang semuanya self service) serta minum (kopi dan teh) pagi. Tapi memang tidak disediakan air putih di tempat ini. Kalau di Kuala Lumpur, bisa menginap di sekitaran Jalan Pudu. Di tempat itu banyak sekali hostel-hostel budget dengan tarif paling murah sekitar 35 MYR per malam per orang.
5. Untuk makan, saya dan kawan punya tempat favorit yang sering sekali kami kunjungi, karena rasanya enak, dan porsinya besar, serta harganya relatif murah. Tepatnya di Geylang, persis di depan stasiun MRT Aljuneid. Warung makan itu dimiliki oleh orang Cina dan menunya dijajar di depan warungnya persis seperti warteg di Indonesia. Waktu itu saya dan kawan makan dengan harga 2 SGD per porsi. Lumayan !!
6. Pakai alas kaki yang nyaman, lebih baik memakai sepatu yang enak digunakan untuk berjalan kaki, karena rugi kalau ke Singapura atau ke Kuala Lumpur tidak sempat keliling kota dengan jalan kaki.
7. Bawa payung dari Indonesia, karena cuaca sering tidak menentu dan harga payung di Singapura juga KL lumayan mahal.
8. Bawa botol minum atau jangan buang botol bekas air mineral, karena beberapa titik di Singapura (seperti di Changi) dan Kuala Lumpur (seperti di KLCC) menyediakan air minum reffil gratis. Lumayan menghemat untuk budget air.

Comments

arfan said…
nice black & white photografy
jepunjp said…
Perjalanan yg menyenangkan bgt keknya neh ..

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.