Catatan untuk pameran foto "Elements" oleh Cephas Photo Forum dalam rangka Bulan Foto LIP (3-19 Nov '10)
Membaca alam lingkungan adalah seperti membaca wajah yang berupa-rupa.
Wajah yang akhir-akhir ini seperti sedang berteriak, entah karena marah, entah karena ingin istirahat untuk sedikit menarik nafas. Wassior, Merapi dan Mentawai adalah rupa-rupa wajah alam yang kini sedang ‘merengut’, dan seperti mengingatkan makhluk alam lainnya bahwa mereka juga ingin didengar, dieja, lalu dibaca kembali dengan benar-benar.
Memotret adalah sebuah ejaan pada alam yang tidak melulu eksploitatif tetapi amat reflektif. Dengan memotret, pesan alam dan lingkungan sekitarnya bisa disampaikan kepada khalayak secara lugas. Pesan yang sepertinya hanya ingin bicara tentang keselarasan dan keharmonisan.
Mengutip Sontag, “to photograph is to appropriate the thing photographed. It means putting oneself into a certain relation to the world that feels like knowledge-and, therefore, like power”. Dengan memotret, sang pembidik telah mencipta sebuah hubungan dengan objek yang akan difoto, yang sejatinya adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan, sang pembidik seperti memiliki sebuah kuasa. Kuasa untuk mengontrol visualisasi dari karya foto yang dicipta sehingga pada akhirnya memiliki kuasa untuk mengatakan sesuatu.
Upaya untuk merestorasi bumi dan elemen di dalamnya lewat bahasa visual itu, telah dilakukan oleh sebuah Photo Forum, berbasis di Yogyakarta. Pameran foto bertajuk “Elements” yang bekerjasama dengan Lembaga Indonesia Perancis (LIP), adalah upaya Cephas Photo Forum, memberi sesuatu yang nyata kepada bumi dan wajahnya yang sedang ‘merengut’ itu.
Delapan fotografer yang tergabung dalam Cephas Photo Forum itu adalah :
Kurniadi Widodo, melalui karyanya yang berjudul “Unnatural Coexistence” mencoba membaca gejala-gejala yang ada di lingkungan sekitarnya, yaitu masyarakat urban Jogja yang harus berkompromi dengan alam juga modernitas. Misalnya saja, Wid memotret tanaman penghijauan pinggar jalan, yang ditanam oleh manusia. Mau tidak mau, tentu, tanaman itu harus tumbuh mengikuti arsitektur ruang yang menanamnya. Sebaliknya, Wid juga memotret sebuah pohon besar yang tetap kokoh berdiri pada tempat tumbuhnya semula, dan manusia yang hidup di dekatnya itulah yang menyesuaikan dengan pohon itu. Sebuah kompromi harmonis diantara keduanya.
Namun, dalam karya-karyanya itu, pada akhirnya Wid sebenarnya ingin bertanya, siapakah atau apakah yang harus berkompromi. Manusia atau alamkah? karena manusialah yang dengan semena membuat batasan-batasan pada alam tetapi manusia pun tak bisa mengelak ketika alam sedang bergolak.
Fauzan Ijazah atau Yo, lewat karya “Man-eating Tigers and Tiger Tamer”, mendokumentasikan seorang penangkap Harimau tradisional berusia 70 tahun bernama Syarwani Sabi dari Arongan, Aceh Barat. Dalam karya fotonya itu, Yo secara gamblang memperlihatkan bagaimana Syarwani menangkap seekor harimau dengan cara-cara yang masih tradisional, misalnya saja dengan menggunakan perangkap dari kayu, serta anjing sebagai umpan. Walaupun zaman sudah bergerak maju, Syarwani percaya, metode tradisional yang ia pelajari secara turun-temurun dari nenek moyangnya itu, masih ampuh menangkap harimau yang buas tanpa menyakiti si harimau. Sama seperti Wid, Yo, ingin mengatakan bahwa kedua elemen bumi ini harus saling berkompromi untuk bisa bertahan hidup.
Oscar P. Siagian membingkai ceritanya dalam “Rhythm of Life”. Ia membaca dan mendokumentasikan tradisi perburuan paus oleh sebuah masyarakat di dusun kecil Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Oscar, secara visual menampilkan ragam wajah bumi, dimana tradisi dan kearifan lokal masyarakat dalam membaca alam diterapkan dalam ritual tahunan masyarakat Lamalera. Cerminan sebuah kearifan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Budi N.D Dharmawan dengan karya “Green Gold” melihat sebuah upaya konservasi ditengah tebalnya deforestasi hutan Indonesia. Budi melihat adanya harapan bagi alam ini untuk tetap bernafas walau eksploitasi besar-besaran juga terus terjadi. Perusahaan milik pemerintah yang mengurusi kayu hutan di Blora, Jawa Tengah, adalah harapan yang menurut Budi dapat menjadi simpanan harta karun bagi masa depan alam, terutama Indonesia.
Ulet Ifansasti, mencoba membaca rupa alam di Sumatera, dengan karya foto “Deforestation in Sumatra”. Sebuah rupa yang begitu khas manusia, esksploitatif! Ifan memotret kondisi yang bertolak belakang dari Budi, betapa sifat khas manusia itu telah membuat rupa alam jadi begitu terancam. Misalnya saja atas nama kesejahteraan, hutan yang ramah lingkungan telah dikonversi menjadi hutan yang akhirnya mengganggu ekosistem, yaitu hutan Sawit. Akibatnya kerusakan parah yang terjadi di hutan Sumatera itu telah mengakibatkan sejumlah spesies langka Sumatera terancam punah.
Doni Maulistya, atau Aul, berefleksi lewat karya “Gone”. Ia melihat bagaimana hubungan (yang seharusnya) simbiosis mutualistis terjadi antara manusia, bumi dan elemen-elemen yang ada di dalamnya. Manusia (seharusnya) mencintai, merawat dan menghormati bumi karena ketika itu terjadi, bumi akan demikian juga. Tanpa ada manusia, bumi hanya sebuah tempat sepi tak dicintai. Tanpa ada bumi, manusia hanya akan jadi makhluk tanpa rumah ‘tuk berpijak.
Michael Eko, menyajikan karya “Knock-Knock, Knockin’ on Innocence Door” sebagai sebuah refleksi personal Eko tentang perjalanannya menembus pedalaman Kalimantan. Dalam perjalanannya itu, ia berefleksi tentang hubungan bumi dengan segala penghuninya, terutama elemen-elemen bumi yang ada di pedalaman Kalimantan, seperti hutan, manusia serta satwa yang ada di dalamnya. Sebuah refleksi romantis Eko, membaca rupa bumi yang tidak bisa melepaskan diri dari manusia dan segala apologinya terhadap alam sekitarnya, begitu juga sebaliknya.
Karolus Naga mencoba memotret Merapi sebagai bentuk refleksi personalnya atas sebuah gunung yang begitu membawa aura mistis bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Bagi Naga, Merapi bukan hanya sebuah gunung api yang saat ini sedang bergolak. Secara personal, ia memaknai Merapi sebagai sumber kehidupan, baik dari pasir, pariwisata, serta berkah kesuburannya. Selain berfungsi secara materil, Merapi juga dihidupi oleh mistisme Jawa yang begitu kental. Pembacaan dalam bentuk karya foto yang telah dilakukannya sejak 2001 itu, dibingkai Naga dalam sebuah karya sastra milik Dante, La Divina Commedia, “Purgatorio”, dimana Naga melihat perjalanan personalnya melihat Merapi sama seperti perjalanan spiritual Dante yang ditemani Virgil, saat mereka mendaki gunung Purgatorio.
Membaca Alam Melalui Fotografi
Membaca alam melalui media fotografi adalah hal yang patut dihargai, apalagi saat ini kita tidak bisa tidak mengelak dari serangan imaji-imaji visual. Seperti istilah Kundera , “imagology” yaitu sebuah kondisi dimana kenyataan telah semakin dipahami melalui rangkaian imaji, salah satunya melalui frame-frame gambar yang dicitrakan oleh pembidik melalui kamera.
Studium dan punctum yang dihasilkan oleh kedelapan fotografer ini adalah sebuah usaha untuk menyibak yang selama ini belum benar-benar terkemuka. Seperti yang dikatakan oleh Edward Weston , bahwa tugas fotografer bersifat profetik, subversif dan revelatoris. Ia harus berani mengungkapkan persoalan tersembunyi di balik yang tampak dan seperti seorang pembaharu, seorang fotografer juga harus berani menelurkan pencerahan yang dapat membuka mata khalayak tentang adanya masalah yang bergelayut. Sebuah persoalan mendasar tentang tidak selarasnya hubungan manusia dengan alamnya selama ini.
Dengan kekuatannya, fotografer harus mampu menarik perhatian yang menonton, serta mencipta visi-visi baru. Sebuah realitas yang kesannya banal, kejadian sehari-hari, serta hubungan normal antara manusia dan alam sekitarnya, seharusnya dapat dibuat oleh si fotografer menjadi rupa yang sungguh luar biasa, dan terkadang membuat ‘panik’ juga ‘miris’. Sebuah upaya untuk menarik perhatian massa atau kata Sontag, “aphotheosized”.
Daftar Pustaka:
Sontag, Susan, On Photography, New York: An Anchor Book, 1977.
Sunardi, St. Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002.
Motuloh, Oscar, Soulscape Road, tulisan pengantar oleh Bambang Sugiharto, R&W Publishing, 2009.
Cephas Photo Forum :
Forum diskusi bagi para pecinta, peminat, pemerhati dan pelaku fotografi di Yogyakarta.
Membaca alam lingkungan adalah seperti membaca wajah yang berupa-rupa.
Wajah yang akhir-akhir ini seperti sedang berteriak, entah karena marah, entah karena ingin istirahat untuk sedikit menarik nafas. Wassior, Merapi dan Mentawai adalah rupa-rupa wajah alam yang kini sedang ‘merengut’, dan seperti mengingatkan makhluk alam lainnya bahwa mereka juga ingin didengar, dieja, lalu dibaca kembali dengan benar-benar.
Memotret adalah sebuah ejaan pada alam yang tidak melulu eksploitatif tetapi amat reflektif. Dengan memotret, pesan alam dan lingkungan sekitarnya bisa disampaikan kepada khalayak secara lugas. Pesan yang sepertinya hanya ingin bicara tentang keselarasan dan keharmonisan.
Mengutip Sontag, “to photograph is to appropriate the thing photographed. It means putting oneself into a certain relation to the world that feels like knowledge-and, therefore, like power”. Dengan memotret, sang pembidik telah mencipta sebuah hubungan dengan objek yang akan difoto, yang sejatinya adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan, sang pembidik seperti memiliki sebuah kuasa. Kuasa untuk mengontrol visualisasi dari karya foto yang dicipta sehingga pada akhirnya memiliki kuasa untuk mengatakan sesuatu.
Upaya untuk merestorasi bumi dan elemen di dalamnya lewat bahasa visual itu, telah dilakukan oleh sebuah Photo Forum, berbasis di Yogyakarta. Pameran foto bertajuk “Elements” yang bekerjasama dengan Lembaga Indonesia Perancis (LIP), adalah upaya Cephas Photo Forum, memberi sesuatu yang nyata kepada bumi dan wajahnya yang sedang ‘merengut’ itu.
Delapan fotografer yang tergabung dalam Cephas Photo Forum itu adalah :
Kurniadi Widodo, melalui karyanya yang berjudul “Unnatural Coexistence” mencoba membaca gejala-gejala yang ada di lingkungan sekitarnya, yaitu masyarakat urban Jogja yang harus berkompromi dengan alam juga modernitas. Misalnya saja, Wid memotret tanaman penghijauan pinggar jalan, yang ditanam oleh manusia. Mau tidak mau, tentu, tanaman itu harus tumbuh mengikuti arsitektur ruang yang menanamnya. Sebaliknya, Wid juga memotret sebuah pohon besar yang tetap kokoh berdiri pada tempat tumbuhnya semula, dan manusia yang hidup di dekatnya itulah yang menyesuaikan dengan pohon itu. Sebuah kompromi harmonis diantara keduanya.
Namun, dalam karya-karyanya itu, pada akhirnya Wid sebenarnya ingin bertanya, siapakah atau apakah yang harus berkompromi. Manusia atau alamkah? karena manusialah yang dengan semena membuat batasan-batasan pada alam tetapi manusia pun tak bisa mengelak ketika alam sedang bergolak.
Fauzan Ijazah atau Yo, lewat karya “Man-eating Tigers and Tiger Tamer”, mendokumentasikan seorang penangkap Harimau tradisional berusia 70 tahun bernama Syarwani Sabi dari Arongan, Aceh Barat. Dalam karya fotonya itu, Yo secara gamblang memperlihatkan bagaimana Syarwani menangkap seekor harimau dengan cara-cara yang masih tradisional, misalnya saja dengan menggunakan perangkap dari kayu, serta anjing sebagai umpan. Walaupun zaman sudah bergerak maju, Syarwani percaya, metode tradisional yang ia pelajari secara turun-temurun dari nenek moyangnya itu, masih ampuh menangkap harimau yang buas tanpa menyakiti si harimau. Sama seperti Wid, Yo, ingin mengatakan bahwa kedua elemen bumi ini harus saling berkompromi untuk bisa bertahan hidup.
Oscar P. Siagian membingkai ceritanya dalam “Rhythm of Life”. Ia membaca dan mendokumentasikan tradisi perburuan paus oleh sebuah masyarakat di dusun kecil Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Oscar, secara visual menampilkan ragam wajah bumi, dimana tradisi dan kearifan lokal masyarakat dalam membaca alam diterapkan dalam ritual tahunan masyarakat Lamalera. Cerminan sebuah kearifan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Budi N.D Dharmawan dengan karya “Green Gold” melihat sebuah upaya konservasi ditengah tebalnya deforestasi hutan Indonesia. Budi melihat adanya harapan bagi alam ini untuk tetap bernafas walau eksploitasi besar-besaran juga terus terjadi. Perusahaan milik pemerintah yang mengurusi kayu hutan di Blora, Jawa Tengah, adalah harapan yang menurut Budi dapat menjadi simpanan harta karun bagi masa depan alam, terutama Indonesia.
Ulet Ifansasti, mencoba membaca rupa alam di Sumatera, dengan karya foto “Deforestation in Sumatra”. Sebuah rupa yang begitu khas manusia, esksploitatif! Ifan memotret kondisi yang bertolak belakang dari Budi, betapa sifat khas manusia itu telah membuat rupa alam jadi begitu terancam. Misalnya saja atas nama kesejahteraan, hutan yang ramah lingkungan telah dikonversi menjadi hutan yang akhirnya mengganggu ekosistem, yaitu hutan Sawit. Akibatnya kerusakan parah yang terjadi di hutan Sumatera itu telah mengakibatkan sejumlah spesies langka Sumatera terancam punah.
Doni Maulistya, atau Aul, berefleksi lewat karya “Gone”. Ia melihat bagaimana hubungan (yang seharusnya) simbiosis mutualistis terjadi antara manusia, bumi dan elemen-elemen yang ada di dalamnya. Manusia (seharusnya) mencintai, merawat dan menghormati bumi karena ketika itu terjadi, bumi akan demikian juga. Tanpa ada manusia, bumi hanya sebuah tempat sepi tak dicintai. Tanpa ada bumi, manusia hanya akan jadi makhluk tanpa rumah ‘tuk berpijak.
Michael Eko, menyajikan karya “Knock-Knock, Knockin’ on Innocence Door” sebagai sebuah refleksi personal Eko tentang perjalanannya menembus pedalaman Kalimantan. Dalam perjalanannya itu, ia berefleksi tentang hubungan bumi dengan segala penghuninya, terutama elemen-elemen bumi yang ada di pedalaman Kalimantan, seperti hutan, manusia serta satwa yang ada di dalamnya. Sebuah refleksi romantis Eko, membaca rupa bumi yang tidak bisa melepaskan diri dari manusia dan segala apologinya terhadap alam sekitarnya, begitu juga sebaliknya.
Karolus Naga mencoba memotret Merapi sebagai bentuk refleksi personalnya atas sebuah gunung yang begitu membawa aura mistis bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Bagi Naga, Merapi bukan hanya sebuah gunung api yang saat ini sedang bergolak. Secara personal, ia memaknai Merapi sebagai sumber kehidupan, baik dari pasir, pariwisata, serta berkah kesuburannya. Selain berfungsi secara materil, Merapi juga dihidupi oleh mistisme Jawa yang begitu kental. Pembacaan dalam bentuk karya foto yang telah dilakukannya sejak 2001 itu, dibingkai Naga dalam sebuah karya sastra milik Dante, La Divina Commedia, “Purgatorio”, dimana Naga melihat perjalanan personalnya melihat Merapi sama seperti perjalanan spiritual Dante yang ditemani Virgil, saat mereka mendaki gunung Purgatorio.
Membaca Alam Melalui Fotografi
Membaca alam melalui media fotografi adalah hal yang patut dihargai, apalagi saat ini kita tidak bisa tidak mengelak dari serangan imaji-imaji visual. Seperti istilah Kundera , “imagology” yaitu sebuah kondisi dimana kenyataan telah semakin dipahami melalui rangkaian imaji, salah satunya melalui frame-frame gambar yang dicitrakan oleh pembidik melalui kamera.
Studium dan punctum yang dihasilkan oleh kedelapan fotografer ini adalah sebuah usaha untuk menyibak yang selama ini belum benar-benar terkemuka. Seperti yang dikatakan oleh Edward Weston , bahwa tugas fotografer bersifat profetik, subversif dan revelatoris. Ia harus berani mengungkapkan persoalan tersembunyi di balik yang tampak dan seperti seorang pembaharu, seorang fotografer juga harus berani menelurkan pencerahan yang dapat membuka mata khalayak tentang adanya masalah yang bergelayut. Sebuah persoalan mendasar tentang tidak selarasnya hubungan manusia dengan alamnya selama ini.
Dengan kekuatannya, fotografer harus mampu menarik perhatian yang menonton, serta mencipta visi-visi baru. Sebuah realitas yang kesannya banal, kejadian sehari-hari, serta hubungan normal antara manusia dan alam sekitarnya, seharusnya dapat dibuat oleh si fotografer menjadi rupa yang sungguh luar biasa, dan terkadang membuat ‘panik’ juga ‘miris’. Sebuah upaya untuk menarik perhatian massa atau kata Sontag, “aphotheosized”.
Daftar Pustaka:
Sontag, Susan, On Photography, New York: An Anchor Book, 1977.
Sunardi, St. Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002.
Motuloh, Oscar, Soulscape Road, tulisan pengantar oleh Bambang Sugiharto, R&W Publishing, 2009.
Cephas Photo Forum :
Forum diskusi bagi para pecinta, peminat, pemerhati dan pelaku fotografi di Yogyakarta.
Comments