Skip to main content

Menikmati Foto

Dalam fotografi saya adalah seorang penikmat, sama seperti halnya ketika menikmati makanan. Jika enak dicerna dan rasanya tak terlupakan, maka saya akan menikmatinya perlahan dan tidak akan pernah melupakan rasa yang tertinggal di lidah. 

Saat menghadiri presentasi foto Tomas Tomaszweski fotografer National Geographic asal Polandia, beberapa waktu lalu, saya menjadi penikmat yang berbahagia. Pertama karena ini adalah presentasi dari seorang fotografer internasional yang baru kali ini saya hadiri (dan gratis -red), Dan yang kedua, seperti ada rasa yang tertinggal sesudah menyaksikan berbagai kisah foto karya fotografer kaliber internasional ini. Sungguh saya benar-benar tergugah, sekaligus terpikat oleh kesederhanaan dalam gambar-gambar yang ditampilkan. 

Dalam presentasinya itu ada beberapa foto seri yang Tomasz tampilkan, serta sejumlah foto single. Namun yang paling saya ingat adalah foto seri berjudul Hades serta A Stone’s Throw. Hades adalah seorang tokoh dalam mitologi Yunani yaitu penguasa dunia bawah, dunia orang mati. Dalam seri foto ini, Tomasz tidak bercerita secara literal tentang siapa atau apakah Hades itu. Hades ia gunakan sebagai pembingkai atau semacam analogi untuk menceritakan tentang kehidupan di kota Silesia, Polandia, sebuah daerah yang kaya dengan sumber mineral. 

Sumber mineral yang tersimpan dalam ceruk-ceruk bumi Silesia itulah yang membuat kota ini hidup, serta menghidupi dirinya dari industri pertambangan, termasuk pabrik-pabrik pengolahan hasil tambang itu. Pabrik-pabrik pengolahan hasil tambang yang salah satunya adalah industri pengecoran logam - seperti yang dipotret oleh Tomasz- adalah sebuah dunia kerja yang penuh resiko. Dunia kerja yang seringkali, dan bahkan selalu, berhubungan dengan dunia bawah tanah. Hades, adalah representasi dari hal itu. Dunia bawah tanah yang -secara tidak langsung- seringkali diasosiasikan dengan neraka. Sebuah ruang abstrak yang panas membara, seperti panasnya atmosfer ruang kerja –pengecoran, debu, jelaga sisa hasil pembakaran- para pekerja di kota Silesia ini. 

Berbagai warna-warna dinamis dari para penduduk Silesia itulah yang ditangkap oleh Tomasz dalam foto serinya itu. Berbagai tingkah polah keseharian penduduk Silesia yang kebanyakan adalah para pekerja tambang. Mulai dari aktivitas bekerjanya, saat mereka bersosialisasi dengan kawan seprofesi, tetangga, kerabat, keluarga, hingga saat mereka bersantai melepas lelah. Semua diabadikan Tomasz dengan sangat “biasa”. 

Berbagai hal yang “biasa” dan sehari-hari itu, ia ceritakan dengan manis lewat gambar-gambar luar biasa. Gambar-gambar yang secara personal membuat saya tergugah, dan membuat imajinasi saya melayang sampai ke Silesia. 

Gambar-gambar keseharian penduduk kota Silesia itu, ia susun dalam sebuah kerangka besar yang ingin berbicara tentang dinamika sebuah kota. Kota dengan permasalahannya, sebuah kota yang harus berkompromi dengan kemajuan jaman, salah satunya menutup beberapa pabrik yang jadi tumpuan hidup para pekerjanya dan merubahnya menjadi sebuah mall. Sebuah kota dengan sejarah masa lalunya yang harus hidup dalam sebuah lingkaran besar lainnya (dalam hal ini Polandia dan negara-negara lainnya). 

Garis besarnya, sebuah kota yang begitu berwarna, begitu kaya masalah, tetapi penduduknya -yang mayoritas adalah pekerja- begitu hidup dan menjalani kesehariannya dengan sederhana, walau sebentar lagi terancam menjadi pengganguran. Atau, singkatnya, Tomasz hanya ingin mendokumentasikan tentang Silesia saat ini. 

Lalu ada A Stone’s Throw, yaitu seri foto hitam putih tentang daerah pinggiran di Polandia. Lewat foto-foto ini, Tomasz ingin mendokumentasikan tentang nasib masyarakat marjinal, yaitu para petani, di pinggiran Polandia. Para petani pinggiran ini, seringkali terlupakan (atau dilupakan) oleh rezim yang berkuasa. 

Saat sistem pemerintahan Polandia diganti, segala sesuatu yang berbau komunisme pun turut dihilangkan. Akibatnya, pertanian yang selama ini menjadi mata pencaharian para petani pinggiran itu pun hilang. Dan eksistensi para petani itu pun hilang. Sumber kehidupan dihilangkan oleh negara, termasuk identitas mereka sebagai petani pun secara semena dilenyapkan. 

Kisah getir para petani marjinal yang melulu terpinggirkan itulah yang ingin dipotret oleh Tomasz. Ada banyak kesengsaraa di seputar mereka, juga banyak ketidakadilan. Namun itu semua tidak tampak ketika saya melihat seri foto A Stone’s Throw ini. Yang saya lihat adalah gambar orang-orang biasa, orang-orang sederhana, yang sedang menjalani hidup dengan segala kepahitan juga lebih banyak kegembiraan. 

Seperti terlihat pada satu frame tentang sepasang lelaki dan perempuan yang sedang berpegagangan tangan sambil –entah- dia menari atau melompat. Yang jelas ada ekspresi bahagia yang tertangkap oleh kamera. Berbagai ekspresi kegembiraan, gambar-gambar indah yang tidak mengeksploitisir kesengsaraan itulah yang membuat karya Tomasz ini malah jadi begitu menyentuh. Saya jadi seperti berempati kepada para subjek yang difoto itu. Sehingga saya sepakat dengan Tomasz bahwa untuk mengabadikan sebuah tema yang tidak menyenangkan, tidak perlu melulu menampilkan atau mengeksploitasi habis-habisan apa yang tidak menyenangkan itu. “Kita harus melihat dengan cara berbeda;” ungkap Tomasz. 

Di balik kisah yang rumit, sedih dan tidak menyenangkan itu, sepertinya Tomasz menemukan keindahan yang tidak semua mampu melihatnya. Kesederhanaan itulah yang membuat saya tergugah oleh karya-karya Tomas Tomaszewski ini. Ia tidak pergi jauh ke belahan dunia antah berantah yang jauh dari rumahnya. Tomasz hanya berpetualang di dalam negaranya saja, di kampung halamannya, mengunjungi daerah yang mungkin bagi orang lain tidak menarik. Namun dengan sensitifitasnya ia mampu melihat yang tak terlihat itu, yaitu keindahan.“Tangkap yang biasa-biasa saja, tidak perlu mencari yang luar biasa dan gunakan empatimu untuk mencari keindahannya pada sisi-sisi yang biasa itu. Everyone have fantastic story to tell”, ungkapnya. 

Bagi Tomasz, sebagai seorang pencerita dengan kamera ia harus bisa menceritakan apa yang ingin ia kisahkan. Bukan kisah tentang orang lain, tetapi kisah tentang dirinya sendiri. “Saya mengisahkan apa yang saya rasakan, bukan hanya apa yang saya lihat, karena fotografi bukan media untuk melihat dunia, tapi cermin untuk melihat diri sendiri,” katanya. 

Intinya, jika kita mengisahkan apa yang dirasakan, maka foto itu akan hidup, memiliki jiwa, dan bisa bercerita banyak. Dan ibarat makanan enak yang rasanya sulit terlupakan walau sudah sikat gigi berkali-kali, dua kisah dari “si pencerita” Tomasz ini masih menempel di ingatan saya hingga sekarang. Mungkin, ibarat memakan sambel goreng ati kesukaan saya, nikmatnya sangat personal. Karena rasa adalah masalah personal, seperti halnya ketika menikmati foto (membaca foto; karena foto juga adalah sebuah teks – red) yang jadi sangat personal. 

Luc, penikmat foto. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.