Jaman ini adalah sebuah masa dimana budaya pop menjadi sebuah keniscayaan yang sulit dihindari. Ketika kita bangun pagi, keluar dari rumah untuk beraktifitas, saat dalam perjalanan dengan kendaraan pribadi, umum atau hanya dengan berjalan kaki, hingga sampai di tempat beraktifitas, melaksanakan aktifitas, selesai melaksanakan aktifitas, lalu kembali pulang ke rumah, dalam perjalanan pulang, beristirahat di ruang tamu, ruang keluarga atau ruang makan, sampai akhirnya kembali lagi ke tempat peraduan, budaya pop sepertinya seperti hantu yang tidak kenal waktu.
Istilah ini sebenernya masih sering berada dalam ranah perdebatan.
Andi Zeisler dalam Feminism and Pop Culture mengatakan bahwa pendefinisian istilah ini tergantung siapa yang mendefinisikan serta agenda apa yang ia miliki. Dalam arti secara umum, budaya pop dapat didefinisikan sebagai berbagai produk budaya yang memiliki khalayak penonton massif. Misalnya lagu-lagu Top 40 yang sering diperdengarkan di radio, televisi atau sering diunduh di internet, hingga berbagai film seri, sinetron sampai dengan Agnes Monica.
Bila ditilik dari asal muasalnya, budaya pop terbentuk dari sebuah istilah lain yaitu budaya bawah (low culture). Istilah low culture ini adalah sebuah oposisi biner dari istilah budaya tinggi (high culture). Jika dikongkritkan, budaya bawah itu seperti pertunjukan musik jalanan di sepanjang Jalan Malioboro, dan oposisi binernya yaitu budaya tingginya, pertunjukan musik orkestra pada gedung pertunjukan di Taman Budaya. Istilah-istilah ini pun memiliki stereotipe yang menempel, misalnya pada budaya bawah stereotipe yang ditempelkan adalah ‘kacangan’, tidak elegan atau tidak pintar, dan sebaliknya untuk budaya tinggi, stereotipe yang menempel adalah elegan, penuh dengan nilai-nilai tinggi, serta cerdas.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika kapitalisme dan industri mulai berkembang, budaya yang (katanya) berasal dari arus bawah ini mulai dikomodifikasi karena begitu banyak hal yang menguntungkan yang bisa ditarik dari arus ini. Massa butuh hiburan yang sederhana, tidak terlalu membuat dahi berkerut serta murah dan mudah diakses. Berbagai hiburan yang ringan itu kemudian mulai disebarluaskan melalui berbagai media yang ditempelkan hampir di seluruh ruang kehidupan manusia.
Manusia pada masa ini pun, dengan mudahnya, hanya dengan satu tekanan ibu jari dapat memunculkan berbagai pernak-pernik budaya ini, hingga secara pelan-pelan berhasil masuk dalam ranah ketidaksadaran dan akhirnya mulai dianggap sebagai satu kebenaran.
Salah satu pernak-pernik budaya pop yang dapat dengan efektif mengkonstruki kebenaran adalah iklan. Sadar atau tidak sadar, kita yang notabene adalah penikmat budaya pop telah “dijual” kepada pemilik modal oleh budaya pop ini.
Dengan ratusan iklan yang hadir setiap menit bahkan detik dalam kehidupan kita, kita pun dibidik menjadi semacam sasaran empuk untuk dirayu agar mengenal, tertarik, dan akhirnya membeli produk itu. Bahkan tidak cukup hanya membeli, jika sudah memiliki produk itu, maka yang diharapkan akan muncul adalah sebuah ketergantungan, kecanduan dan akhirnya sebuah permakluman bahwa produk itu adalah sebuah kebutuhan yang mau tidak mau harus dimiliki.
Iklan adalah semacam teknik persuasi yang sejatinya harus lihai dalam mengecoh masyarakat. Hal tersebut berujung pangkal pada logika bahwa proses produksi pada jaman ini, tidak lagi diarahkan untuk menghasilkan nilai guna, melainkan konsumsi, dan konsumsi adalah tujuan akhir dari produksi. Setelah barang diubah menjadi komoditi, komoditi tersebut segera diiklankan agar menjadi impian setiap orang. Setelah itu ada tahap yang disebut apropiasi, ketika barang sudah sampai pada tangan konsumen serta masuk ke dunia orang yang bersangkutan. Dalam proses ini lah manipulasi menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan.Yang tidak bisa dielakkan adalah, bahwa sudah menjadi semacam hal yang faktual bahwa iklan telah menjadikan perempuan semacam sasaran empuk, baik itu pada media iklannya (misalnya menggunakan sosok perempuan seksi) atau kepada audiensnya (misalnya para penikmat sinetron yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga). Sehingga tidak bisa dihindari, banyak manipulasi yang dilakukan dalam iklan, menggunakan sosok perempuan cantik dan seksi, dan ternyata hingga saat ini, hal-hal itu masih dianggap mujarab untuk menjaring konsumen.
Seorang kawan perempuan saya (yang menurut saya tidak kekurangan satu apapun dari wajah, tubuh atau kulitnya) selalu merasa ada yang kurang dengan dirinya. Berbagai usaha yang menurutnya untuk memperbaiki tubuh fisiknya ia lakukan. Mulai dari pergi ke salon-salon kecantikan hingga mengkonsumi obat-obatan. Kawan saya itu selalu merasa belum putih ataupun belum langsing, intinya ia merasa tidak cantik.
Suatu kali saya pernah bertanya kepadanya, mengapa ia mesti repot membuat uang beratus-ratus ribu hingga mungkin jutaan untuk memperbaiki tubuh yang semestinya tidak usah diperbaiki lagi. Ia lalu mengatakan, “Ah gak kok, aku gak repot, aku senang melakukan hal ini, soalnya aku pingin seperti Dian Sastro dalam iklan Lux itu loh. Dian itu kan cantik banget ya, putih, langsing dan rambutnya lurus hitam”.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa saya bersih dari pengaruh iklan dengan mengilustrasikan pengalaman kawan perempuan saya itu, tetapi menurut saya perkataan kawan perempuan saya itu tampaknya amat cocok menggambarkan bahwa begitu dahsyatnya pengaruh iklan hingga kawan perempuan saya dan mungkin banyak perempuan lainnya, memiliki konsep soal cantik, soal body image dari sudut pandang di luar dirinya sendiri.
Sebuah sudut pandang yang dikonstruksi tidak hanya oleh pihak pengiklan, tetapi oleh sebuah sistem yang lebih besar, yaitu sebuah budaya yang berpusat pada laki-laki atau kelaki-lakian, patriarki.
Budaya yang telah menghegemoni ini, seringkali menjadi semacam acuan bagi pemilik modal untuk menciptakan iklan yang menggunakan kode-kode kultural (promosional) yang secara tidak langsung bisa merendahkan kemanusiaan perempuan. Bahwa kemudian, iklan yang menggunakan perempuan sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, sejauh tidak melanggar kadiah-kaidah yang sudah disepakati oleh pelaku industri dan masyarakat.
Tetapi yang menjadi keprihatinan adalah ketika, sarana yang digunakan untuk menciptakan iklan yang dianggap menarik konsumen adalah hanya perempuan. Misalnya saja, sebuah iklan sabun pencuci piring yang menjadikan perempuan dengan ukuran payudara yang relatif besar serta seorang lelaki sebagai bintang iklannya, ketika ada frame adegan mencuci piring, si lelaki harus mengatakan “saya senang meremas-remas...” sambil sedikit melirik ke arah dada perempuan itu dan meggerakkan jari dengan gerakan meremas tepat di atas dadanya sendiri. Lalu kemudian si perempuan seperti bereaksi agak tercekat sebelum si lelaki melanjutkan kalimatnya “...sponnya”. Setelah ada kalimat lanjutan itu, si perempuan seperti bernafas lega lalu tersenyum bersama si lelaki itu.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apa hubungannya sabun pencuci piring dengan gerakan meremas-remas? Yah, mungkin saja pihak pengiklan ingin menciptakan semacam wacana histeris, sehingga para khalayak penonton iklan mendapatkan semacam pembebasan imaji ketika mereka menyaksikan iklan itu. Dan tampaknya terbukti, bahwa wacana histeris itu cukup efektif (paling tidak) menarik perhatian dan akhirnya menggoda para penikmat iklan, seperti sejatinya sifat sebuah iklan yang harus seducing.
Tetapi lagi-lagi, apakah hanya perempuan yang melulu menjadi semacam objek wacana histeris ini.
Male gaze atau “tatapan laki-laki” adalah yang sungguh tidak dapat dihindarkan dalam mengkreasi sebuah iklan dalam budaya pop. Bahkan istilah ini mungkin melulu muncul dalam banyak produk-produk budaya pop, seperti film, video klip juga sinetron. Secara sederhana, male gaze dapat dijelaskan sebagai sebuah konstruk dari sudut pandang laki-laki. Jadi ketika kita melihat iklan ataupun tayangan televisi, maka tidak bisa dinafikan bahwa sekalipun yang melihat itu seorang perempuan, ia pun masih melihat dari sudut pandang laki-laki. Andi Zeilser menulis “The surveyor of women in herself is male: the surveyed female. Thus she turns herself into an object-and most particularly an object of vision: a sight.” Perempuan pada akhirnya menjadi sebuah objek pasif yang mau tidak mau harus menelan berbagai konstruk itu.
Male gaze ini berdampak pada bagaimana pandangan perempuan terhadap budaya pop dan bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Dan konsep dari male gaze inilah yang menjadi salah satu dasar dari proyek feminisme untuk mengkonsep ulang dan merekonstruksi ulang soal budaya pop ini. Proses mengkonsep ulang ini hanya dapat dimungkinkan ketika para produsen dari budaya pop ini juga aware terhadap masalah ini, yaitu bagaimana ketimpangan gender telah merasuk dalam budaya pop. Tanpa ada kesadaran ini, maka apologi bahwa ‘masyarakat lah yang meminta iklan-iklan atau sinetron-sinetron, atau film-film seperti itu maka kami sebagai produsen hanya menuruti keinginan mereka karena hal itulah yang menarik dan laku di pasar’ akan sering dan melulu kita dengar. Dan jika sudah begitu, tidak akan ada yang berubah dan tidak pernah ada upaya untuk melakukan pendidikan publik, karena di tengah masyarakat yang sangat patriarkis, perempuan akan semakin kuat menjadi simbol represi dan pada gilirannya, perempuan pun akan terus diburu oleh industri periklanan.
Bahan bacaan: Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, Yogyakarta: Ombak, 2008.
Zeisler, Andi, Feminism and Pop Culture, Berkeley: Seal Press, 2008.
Comments