Semenjak saya kecil, Ibu selalu memberi peringatan berlebihan kepada saya, ketika saya hendak bepergian ke rumah teman atau hanya bersepeda keliling kampung. “Hati-hati di jalan, kamu kan perempuan. Jaga sikapmu di rumah orang, apalagi kalau ada lelaki. Lalu kalau pakai rok, jangan biarkan rokmu tersingkap tinggi, nanti bisa-bisa lelaki tergoda,” ucap Ibu, yang biasanya mengatakan itu sambil beraktifitas di dapur saat saya hendak bersiap-siap untuk pergi dan berdiri di ambang pintu.
Maka entah mengapa, selama perjalanan keluar dari rumah hingga tiba di rumah teman, ucapan Ibu seperti terngiang-ngiang di kepala saya. Dan sepertinya secara tidak sadar, ketika di rumah teman yang kebetulan memiliki saudara laki-laki, juga ada beberapa kerabat lelakinya, saya benar-benar menjaga sikap dan selalu memperhatikan rok yang saya kenakan serta berusaha untuk menutupi bagian lutut ke atas.
Hingga saya beranjak dewasa, kalimat-kalimat seperti itu terkadang juga masih diucapkan oleh Ibu. Kalimat-kalimat yang tidak persis sama, tetapi semangatnya sama, “sebagai perempuan, saya harus ekstra hati-hati dibandingkan laki-laki, dan lebih menjaga perilaku saya dibandingkan laki-laki”.
Ketika membaca artikel milik Sylvia Tiwon yang berjudul Models and Maniacs: Articulating the Female in Indonesia, saya seperti diingatkan kembali akan pengalaman-pengalaman saya ketika kecil, hidup di rumah bersama orang tua saya yang berasal dari lingkungan Jawa. Saya pun, entah mau tidak mau atau sadar tidak sadar, yang kebetulan lahir dari rahim perempuan Jawa, mendapatkan didikan kental ala kultur Jawa, serta mendapatkan pandangan tentang keperempuanan saya pertama kali dari lingkungan itu. Saya menjadi agen yang pasif dan menerima berbagai artikulasi tentang keperempuanan saya serta bagaimana seharusnya seorang perempuan bersikap kepada orang lain.
Seperti Kartini, seorang putri dari garis bangsawan Jawa di Rembang, yang merasa “terperangkap” dalam ke-Jawaannya. Kartini yang kemudian menjadi salah satu ikon pahlawan emansipasi perempuan di Indonesia, mencoba mengartikulasikan perasaan-perasaan keterperangkapannya itu dalam sebuah korespodensi dengan seorang kawan perempuan Belanda. Kartini berkorespodensi karena ia merasa harus menjaga kewarasannya, sebuah upaya pengartikulasian yang aktif berasal dari dirinya soal pikiran, dan perasaannya.
Walau amat personal, tetapi paling tidak ada seorang lain yang bukan dirinya, turut mengapresiasi upaya pengartikulasian itu.
Upaya pengartikulasian itu, Kartini lakukan dengan memilih seorang kawan berkorespodensi yang ia anggap sepadan dan berada di luar hirarki ke-Jawaannya. Dengan berbagai kualitas kawan korespodensi itu, Kartini merasa menemukan “pembebasannya” sendiri. Paling tidak sesudah lewat masa pubertasnya, saat ia harus mulai dipingit, dipisahkan dari lingkungan sosialnya, pelan-pelan dicabut dari keluarga dan mulai diperkenalkan mengenai konsep perempuan “utuh” yaitu bersuami dan menjadi ibu.
Dalam masa pingitan itu, Kartini diingatkan terus-menerus bahwa ia bukan milik dirinya sendiri, bahwa ia akan menjadi milik seorang laki-laki dan bahwa ia akan menjadi seorang ibu dari anak-anak yang mungkin kelak tidak akan terlalu mengingatnya. Kartini amat menyadari hal itu. Bahwa, semua yang sudah terus menerus diingatkan kepadanya adalah sebuah keniscayaan. Bahwa itu semua harus ia jalani, walau dalam hatinya memberontak. Pemberontakan-pemberontakan di kepala yang ia tuangkan dalam surat-surat kepada kawan jauhnya itu, secara jelas Kartini sadari bahwa semua adalah hanya sebatas teriakannya saja dan tak mungkin membebaskannya benar-benar.
Dalam artikelnya Sylvia Tiwon mengutip ucapan Kartini itu,“I may not utter my opinion on those important subject, least of all through the medium of the press...What I have written so far for the public was simply nonsense, impressions of one other event. I may not touch serious objects, alas!...Father does not approve (of the idea) that then names of the daughters should be on all tongues; when I am completely independent (only then) may I speak my opinion”.
Selain pada akhirnya, Kartini berakhir tragis, dengan meninggal karena sakit di usia amat muda, sekitar 25 tahun, surat-surat yang merupakan salah satu upaya untuk mengartikulasi diri itu, akhirnya diartikulasikan kembali kepada publik oleh orang lain.
Surat-surat yang berbahasa Belanda itu, banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dengan pengertian berbeda dari yang dimaksudkan oleh Kartini. Kartini seperti 'difiksikan' oleh orang lain, terutama pihak yang berkuasa, untuk menciptakan seorang tokoh perempuan yang membawa perempuan ke gerbang emansipasi, tetapi sekaligus masih tetap bisa “diikat” dalam sebuah model perempuan yang dapat “dirumahkan”.
Sebutan Ibu Kartini adalah salah satu bentuknya. Ibu yang pada akhirnya memiliki nuansa rasa akan pengasuhan, pengorbanan diri, dan lebih mengutamakan keberadaan dirinya untuk orang lain dibandingkan untuk dirinya sendiri, telah menjadi citra Kartini secara luas. Sementara itu, teriakan-teriakannya, terutama akan kebebasan dalam belajar dan menuntut ilmu, jarang benar-benar diperdengarkan dan diulas. Yang paling saya ingat setiap tanggal 21 April, yang ditetapkan oleh pemerintah orde baru sebagai Hari Kartini, ketika SD dulu, saya dan kawan-kawan satu kelas wajib memakai kebaya dan berdandan ala perempuan dewasa. Hingga kini, saya masih tidak mengerti apa maksud dari kewajiban memakai kebaya itu. Mungkin saja, ada keinginan dari pemerintah untuk mengingatkan terus-menerus bahwa menjadi perempuan itu adalah harusnya seperti Ibu Kartini.
Bentuk pengartikulasian kembali oleh pihak yang berkuasa, tetapi konteksnya kemudian bukan menjadi pahlawan, malahan dijadikan semacam tokoh antagonis yang tidak patut ditiru adalah Gerwani. Sebuah organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
Walau bukti visum tidak menunjukkan adanya penyiksaan, ataupun pemotongan alat kelamin para Jenderal dalam peristiwa 30 September 1965. Sejarah tetap mencatat para Gerwani telah melakukan berbagai penyiksaan kepada para Jenderal itu.
Melalui berbagai propaganda dari pemerintah, lewat pers serta film, yang sempat diputar setiap tahun ketika tanggal 30 September, citra para Gerwani ini diartikulasikan kembali kepada publik. Mereka dicitrakan menjadi semacam “maniak” atau penyakit, yang basis gerakannya bukan pemberdaayan perempuan, tetapi berbagai tindakan asusila, amoral dan subversif.
Saat itu, saat masa-masa orde baru masih berjaya, ketika saya masih hijau, dan menelan mentah-mentah semua propaganda yang disuntik pelan-pelan dan terus-menerus, saya sempat percaya benar-benar bahwa Gerwani sebegitu menakutkannya. Dan saya yakin hingga saat ini, saat masa reformasi bergulir, dan film yang diputar tiap tahun itu sudah dihentikan, citra Gerwani belum sepenuhnya pulih.
Upaya-upaya pemulihan citra yang dilakukan oleh banyak orang yang simpati terhadap Gerwani atau dari para mantan Gerwarni sendiri, hingga saat ini tidak sepenuhnya dapat diartikulasikan. Berbagai pelarangan terhadap buku-buku yang dianggap mengganggu stabilitas negara, hingga saat ini masih terus berjalan. Terutama jika buku atau tulisan itu berhubungan dengan organisasi yang dianggap terlarang itu.
Mungkin saja, masalah pengartikulasian soal Gerwani ini berhubungan dengan kepentingan yang berkuasa akan citra perempuan yang diharapkan dan tidak diharapkan. Ketika perempuan berkelompok, menjadi aktif, mampu menyuarakan suara mereka sendiri, bertingkah laku berani dan tidak takut, maka mungkin saja, ini akan menjadi semacam ancaman besar bagi hal yang sudah dianggap mapan. Patriarki.
Secara reflektif, dalam konteksnya sekarang, sepertinya tidak banyak perempuan di Indonesia yang bisa benar-benar mengartikulasikan dirinya secara aktif. Perempuan-perempuan dari kalangan marginal terutama yang mau tidak mau secara pasrah menerima berbagai artikulasi soal perempuan, seperti kodrat perempuan, nasib, jodoh, ibu rumah tangga ataupun perempuan sempurna.
Bahkan tidak saja perempuan-perempuan dari kalangan marginal yang sulit bersuara (karena keterbatasan akan berbagai kapital yang ia miliki), perempuan juga laki-laki, sudah harus pasrah menerima berbagai konstruk yang tertanam seperti dosa asal itu. Dan bagi saya, untuk bisa benar-benar secara aktif mengartikulasikan diri sendiri, bahwa saya adalah seperti ini dan bukan seperti itu, adalah sebuah proses yang terus menerus dan berkelanjutan, seperti yang hingga kini masih terus saya lakukan.
Bahan bacaan:
Sylvia Tiwon, “Models and Maniacs: Articulating the Female in Indonesia”
Comments