Skip to main content

Nafas Terakhir Iin dan Simbah Wasikem

Saya ingat ketika kelas satu SD saya punya seorang kawan bernama Indah. Kami cukup memanggilnnya Iin saja. Iin adalah salah seorang tetangga yang berjarak sekitar lima rumah dari tempat tinggal saya, serta salah satu kawan bermain saya yang cukup dekat. Kami, saya, Iin dan beberapa kawan-kawan perempuan lainnya yang kira-kira berusia belum genap 8 tahun itu seringkali bermain masak-masakan yang bahan utamanya daun mangkok-mangkokan serta segenggam benalu yang berbentuk mie-mie-an. Bumbu penyedapnya cukup taburan tanah serta sedikit pasir yang bisa ditemukan dengan mudah di halaman belakang rumah Iin. Kami sering lupa waktu karena permainan itu. 

Suatu hari, ketika saya dan empat orang kawan permainan saya hendak bermain masak-masakan lagi dan berjanji untuk bertemu di rumah Iin, ada sesuatu yang tidak biasa terjadi di sekitar rumah Iin. Orang-orang ramai berkumpul dan tampak berdesakan masuk ke rumah itu. Saya, serta empat orang kawan perempuan saya pun turut tumbuh rasa penasarannya dan ikut mencoba masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah itu, tepat di ruang tengahnya, saya melihat sesosok tubuh perempuan kecil, berkulit putih sedang tersengal-sengal dan tergoncang-goncang tubuhnya. Mata saya makin terbelalak dan posisi berdiri saya pun makin mendekati sosok tubuh perempuan kecil yang sedang dikelilingi oleh orang-orang yang saya kenali sebagai ibu, ayah serta entah seorang lain yang berpakaian putih, sarung kotak-kotak serta peci hitam di kepalanya yang sepertinya merapal mantra atau mungkin doa. Entah mengapa saat itu, rasanya jantung saya berdetak makin cepat. 

Dari tempat saya berdiri, yang hanya berjarak satu orang dari tempat perempuan kecil itu, saya bisa dengan jelas melihat, bahwa perempuan kecil berkulit putih itu adalah Iin kawan bermain saya yang kemarin sudah berjanji akan bermain masak-masakan. Matanya seperti membelalak, dan nafasnya tersengal-sengal. Ibu Iin tampak menangis tersedu dan ayahnya serta lelaki berbaju putih dan orang-orang lainnya di kiri kanan tampak komat-kamit merapal doa dalam bahasa Arab. 

Saya masih ingat, bahwa saat itu suasana begitu tegang, dan tidak sampai sepuluh menit, Iin yang tersengal-sengal, pada menit ketujuh seperti tercekat, matanya membelalak lebih lebar dan sesudah itu, matanya menutup dan sengalannya nafasnya terhenti. Pada saat itu juga, tangis meledak di mana-mana, Ibu Iin tampak histeris dan memeluk Iin kuat-kuat sambil berteriak-teriak memanggil namannya. Dan rapalan doa makin kuat dimana-mana “La Illah Ailoloh......” berulang-ulang kali. 

Saya benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, dan salah seorang kawan kecil saya berbisik bahwa “Iin mati, Iin mati”. Setelah bisikan kawan saya itu, saya dan kawan-kawan kecil serta sejumlah orang-orang lainnya digiring keluar. Kawan saya berbisik lagi bahwa “Iin mati mendadak, salah minum obat.” Kalimat itu terus membuat saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin Iin bisa mati secepat itu, padahal baru kemarin kami membuat nasi goreng dari kerikil lembut di samping rumahnya. Bagaimana mungkin ia bisa salah minum obat, memang obat apa yang ia minum. 

Pertanyaan-pertanyaan itu yang terus terngiang-ngiang di kepala saya sampai proses pemakaman Iin selesai. Sungguh saya tidak mengerti apa-apa saat itu. Saya juga tidak menangis, hanya perasaan kehilangan kawan bermain masak-masakan lah yang paling saya ingat saat itu. Dan yang tidak bisa saya lupakan hingga sekarang adalah, nafas Iin yang tersengal-sengal lalu seperti ada yang menariknya, serta matanya yang membelalak dan kedamaian yang tiba-tiba muncul di wajah Iin saat nafasnya tidak lagi tersengal-sengal dan matanya tidak lagi membelalak. Apa namanya dan apa yang membuat Iin jadi seperti itu, adalah sebuah misteri besar bagi saya hingga saya mengalami hal itu kembali saat simbah putri meninggal ketika saya berumur sepuluh tahun. 

Ingatan saya paling kuat dengan mbah Wasikem adalah saat saya sering memijit-mijit kulit-kulit bergelambirnya di sekitar tangan, saat ia minta dicabuti ubannya. Rutinitas itu seringkali saya lakukan, saat saya, yang tinggal di ibukota bersama orang tua saya yang notabene adalah anak dari simbah Wasikem, mengunjungi simbah putri tercinta itu. Tetapi itu tidak terjadi lagi saat saya mulai memasuki usia 10 tahun. 

Kepergian saya dan keluarga dari ibukota ke Wonosari bukan untuk sebuah kunjungan rindu kampung halaman atau mudik bersama. Saya bersama Ibu, Bapak dan kakak pergi ke rumah Simbah Wasikem karena sudah hampir tiga bulan, simbah terbaring sakit dan sepertinya sangat parah. Selama kurang lebih sebulan, saya dan ibu menemani simbah yang sudah tidak bisa lagi bangkit dari tidurnya. 

Simbah yang saat itu sudah berumur lebih dari 80 tahun, terlihat sangat lemah dan pucat. Hampir setiap hari ia meminta paklik, yang kebetulan diakon gereja, mengajari doa Salam Maria. Simbah sering mengatakan “Aku arep nderek Ibu Maria”. Selama hidupnya, simbah memang tidak pernah menganut agama KTP. Ia selalu menjalani berbagai kebijaksanaan Jawa yang sudah ia pelajari semenjak kecil dari kedua kakek dan nenek buyut saya. Tetapi mungkin karena di hari-hari terakhirnya, simbah sering dikelilingi dan didoakan oleh anak-anaknya, terutama anaknya yang ketiga serta yang paling bungsu, yang melulu berdoa Rosario dan Novena, simbah sepertinya merasa jatuh cinta dengan figur Maria. Karena itu Simbah Wasikem pun dibabtis. 

Setelah dibabtis, pada hari hampir sebulan dari kunjungan saya menjenguk Mbah Wasikem, tiba-tiba semua orang di rumah itu berkerumun di sekitar kamar simbah. Saya pun menelusup masuk ke kamar simbah dan melihat simbah Wasikem sedang tersengal-sengal. Ada Paklik di situ, Ibu, Bapak serta sejumlah Bude, Bulik dan Pakde yang mengitari simbah. Ibu tampak terlihat tegang sambil membawa Rosario, sementara simbah matanya membelalak, dan nafasnya makin tersengal-sengal. Saya pun jadi turut tegang karenanya. Banyak yang hadir di situ, meneteskan air mata, Ibu salah satunya. Lalu tidak berapa lama dari ketika saya datang menyelinap itu, pada satu titik, mata simbah makin membelalak lebar, dan sengalan nafasnya yang begitu terburu-buru itu berhenti. Ledakan tangis pun membuncah, Paklik lalu membuat tanda salib di udara kepada tubuh simbah yang kaku. “simbah mpun seda” ucap Ibu yang melihat saya berdiri terbengong-bengong. Sesudah itu, tubuh simbah tampak ditutupi kain batik, dan rapalan doa terdengar mengalun dimana-mana di sekitar kamar itu. 

Kalau Ibu mengatakan, apa yang terjadi pada simbah saat nafasnya tersengal-sengal adalah saat sakaratul maut. Saat dimana, sang malaikat kematian sedang berada di samping si manusia yang sedang ingin diambil nyawanya. Sama seperti yang terjadi pada Iin. Entah hal itu benar atau tidak. Tetapi, perasaan yang hampir sama, bisa saya rasakan pada dua kejadian yang waktunya berbeda belasan tahun yang lalu. Dua peristiwa itu juga masih sangat kuat menempel di ingatan saya. Sungguh saya tidak bisa melupakan saat-saat dimana Iin, kawan bermain saya, serta simbah Wasikem, ibu dari ibu saya, menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mungkin karena saya melihat saat-saat dimana ia membelalak dan tersengal-sengal sehingga, saya merasa hadir saat malaikat maut menarik nyawa dua orang itu. 

Hingga dewasa ini, saya belum pernah lagi menyaksikan dua kejadian yang menjadi saat-saat terakhir bagi kehidupan seseorang itu. Seperti ada kengerian, sekaligus kedamaian luar biasa setelah nafas benar-benar tidak lagi ada di dalam tubuh. Saya sendiri pun tidak pernah merasakan secara langsung bagaimana rasanya mati itu, tetapi bisa saja perasaan yang muncul sama seperti yang dirasakan oleh orang-orang yang hadir di sekitar yang menghembuskan nafas terakhir itu. Atau mungkin saja berbeda, karena saat Iin tersengal-sengal dan ia melepaskan nafas terakhirnya, yang saya ingat, hanya melihat matanya yang membelalak dan bibirnya yang mulai memucat, seperti aliran darah mulai berhenti di tubuhnya. Dan ketika simbah Wasikem menghembuskan nafasnya yang terakhir, saya hanya melihat dadanya yang naik turun, dan suara sengalan nafasnya yang begitu keras.

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.