Ini sebuah rezim yang selalu punya wacana untuk berkata tentang ini layak, itu tidak layak, ini bermoral atau itu tidak bermoral. Ini adalah sebuah rezim yang munafik. Foucault, seorang filsuf Prancis mengatakan, bahwa sejak lama dan sampai kini pun kita dibayangi oleh norma-norma zaman Victoria. Ratu yang angkuh dan puritan itu selama ini melambangkan seksualitas kita berciri menahan diri, diam, munafik[1]
Seksualitas yang adalah bagian paling naluriah dari manusia telah dikurung dan diperangkap dalam sebuah wacana yang dianggap tabu dan berdosa. Seks tidak lagi bisa dibicarakan secara bebas, walaupun dalam konteks yang reflek.
Pada awal abad ke-17, konon, orang-orang masih bisa membicarakan seksualitas dengan bebas merdeka. Kita bisa menemukan kata-kata polos, pelanggaran norma yang terang-terangan, aurat yang dipertontontkan, anak-anak bugil yang lalu lalang tanpa rasa malu ataupun menimbulkan reaksi orang dewasa: tubuh-tubuh, pada waktu itu, tenggelam dalam keasyikan[2]. Tetapi ketika borjuasi zaman Victoria masuk, seksualitas mulai dipingit, masuk dalam ruang-ruang tidur yang dianggap privat dan hanya bisa dimasuki oleh pasangan-pasangan yang sah. Seksualitas dianggap sebagai penyakit.
Hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas dan tidak dilakukan atau tidak dikatakan sesuai dengan garis-garis norma yang ditentukan oleh yang “punya kuasa”, akan mendapat sebutan sebagai suatu hal yang ‘bidaah’, berdosa, menyimpang, patogen, penyakit. Sehingga hal-hal yang “menyimpang” itu harus dihilangkan, atau jika dalam perjalanan menghilangkan penyakit itu, ia terus berteriak, mendobrak minta dikeluarkan, maka hal yang paling rasional dilakukan adalah melokalisir penyimpangan-penyimpangan itu.
Pelacuran adalah salah satu hal yang telah menembus batas-batas rezim wacana jaman borjuasi Victoria itu. Pelacuran adalah tema yang menggelisahkan, sekaligus seperti gatal-gatal yang membuat orang ingin terus menggaruknya. Ia dibungkam, sekaligus dibutuhkan. Serta yang tidak bisa dipungkiri, pelacuran adalah fenomena yang mendunia, karena ia berangkat dari kebutuhan dasar manusia. Termasuk di Nusantara, ia telah menjadi semacam bagian dari sejarah manusia di negeri ini.
Seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan ini, keterbukaan akan hadirnya instink-instink purba manusia dalam ruang publik, telah mencapai masa-masa kiamatnya pada jaman borjuasi Victoria. Saat itu seksualitas menjadi jumud. Orang tidak berani lagi bicara soal seks. Di masyarakat, sebagaimana di setiap rumah tangga, satu-satunya tempat yang dihalalkan bagi seksualitas adalah kamar orang tua[3]. Ada ukuran kebenaran bagi apapun. Dalam hubungannya akan versi “kebenaran” tentang seksualitas Foucault menyebutnya sebagai “hipotesa represi”. Foucault mengatakan, bahwa seksualitas sedang direpresi (berdasar pada konsep kekuasaan yang bersifat produktif dan hadir di dalam wacana seputar seksualitas) dan tidak dilarang atau dibatasi oleh kekuasaan dari luar.
Sayangnya kita sering membayangkan kekuasaan sebagai sebuah kekuatan yang berusaha (dan berhasil) merepresi kita, sehingga kita dapat menempatkan diri kita di luar kekuasaan tersebut. Kita memahami diri sebagai subjek yang otonom yang memiliki hasrat sendiri dan identitas sendiri. Kekuasaan membatasi kebebasan kita untuk memenuhi hasrat-hasrat kita dan untuk mengekspresikan identitas kita. Pemahaman diri sebagai subjek yang otonom tersebut menurut Foucault merupakan ilusi karena sesungguhnya tidak ada ruang otonom yang bebas dari kekuasaan[4]. Sehingga karena kita tidak memiliki otonomitas itu kita percaya mentah-mentah akan adanya ukuran norma, ukuran moral, yang dianggap berdosa dan tidak berdosa yang disebarkan oleh rezim yang berkuasa saat itu.
Yang berkuasa saat itu adalah kerajaan serta gereja yang memiliki kepentingan-kepentingan untuk mengatur umat, “mendisiplinkan” umat serta semacam “mencuci” otak umatnya saat itu agar bisa berpikir seperti yang mereka inginkan. Sehingga jika ada yang tidak berjalan pada norma-norma yang sudah ditentukan, ada hukuman yang akan diberikan secara moral maupun sosial. Bahkan beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan dan dianggap melawan hukum kepatutan masyarakat akan dikenakan hukuman fisik.
Foucault mengatakan bahwa kekuasaan tidak hanya berada dalam genggaman seseorang atau pihak tertentu, tetapi kekuasaan menyebar pada relasi-relasi yang saling berhubungan satu sama lain. Masyarakat yang bisa berbentuk pemerintah, institusi serta khalayak banyak, adalah bentuk dari kesatuan kompleks akan relasi kekuasaan yang hadir pada setiap level dari tubuh sosial[5]. Dalam konteks ini kekuasaan menyebar di dalam masyarakat secara umum melalui stereotipe mereka akan pelacur yang terbentuk melalui wacana seksual.
Pelacuran yang telah menjadi bagian dari sejarah manusia di dunia[6] dan tidak hanya di Indonesia, telah menjadi hal yang menggelisahkan bagi banyak penguasa. Walau bila ditelusur dari sejarahnya, Raja-raja Mataram-lah yang salah satunya menjadi pelaku sejarah dalam mempraktekan hal-hal yang bisa disamakan dengan pelacuran, misalnya dengan memiliki banyak selir (yang tidak bisa dipastikan apakah para perempuan selir ini dengan rela dikawini oleh si Raja atau bagaimana perlakuan si Raja kepada para selir ini). Kegelisahan ini terjadi karena praktek-praktek pelacuran adalah salah satu pendobrak rezim wacana seksualitas ala Victoria.
Menurut Foucault, kemunafikan masyarakat borjuis kita dilandasi oleh logikanya yang pincang. Kendati begitu, kemunafikan terpaksa menerima beberapa kompromi. Jika berbagai seksualitas menyimpang itu memang tak terelakkan, biarlah gaduhnya terjadi di tempat lain: misalnya di tempat penyimpangan itu dapat diterima, kalaupun bukan di sektor produktif, paling tidak di sektor yang membawa untung. Rumah pelacuran dan rumah sakit jiwa adalah tempat yang mentolerir seksualitas menyimpang: pelacur, langganan dan mucikari, psikiater dan pasien perempuan yang histeris. Di situ sajalah seks liar memiliki bentuk-bentuknya yang nyata namun dalam lingkungan yang sangat tertutup, dan boleh memiliki tipe-tipe wacana rahasia, terbatas, baku. Sementara itu, di tempat lain puritanisme modern mungkin telah memberlakukan trisabdanya: pantangan, ketiadaan, dan kebungkaman[7]. Pelacuran jadi dianggap hal yang menyimpang yang patut diberi kompromi, karena ia tidak bisa ditekan untuk dihilangkan. Terbukti dari perjalanan sejarah yang membentuknya. Pada setiap fase dan periode, selalu ada bibit-bibit dari sesuatu hal yang dianggap penyakit ini. Selalu ada resistensi di situ.
Tidak ada kebebasan yang dapat berlari dari relasi kekuasaan, tetapi yang justru hadir adalah resistensi dimana ada praktek-praktek kekuasaan di situ. Resistensi ini ada dimana-mana, pada setiap level dari atas ke bawah, seperti yang dicontohkan oleh Foucault tentang seorang anak yang mengorek hidungnya di meja makan dalam rangka mengganggu orang tuanya[8]. Resistensi itu hadir dari para pekerja seks yang menggantungkan hidupnya pada bisnis itu, para mucikari, tukang ojek yang berada di seputaran lokalisasi yang digunakan jasanya untuk mengantar si PSK ataupun pelanggan, para pemilik warung rokok, warung makan atau warung kelontong yang berada di seputaran lokalisasi yang diuntungkan dari bisnis itu. Semua elemen ini saling jalin-menjalin dan membentuk sebuah relasi yang bersama-sama melakukan resistensi terhadap kekuasaan yang hendak menggusur mereka. Tetapi lagi-lagi seperti sudah dikatakan oleh Foucault di atas, logika penguasa yang pincang itulah yang tidak benar-benar membuat mereka ingin menggusur lokalisasi. Secara tidak langsung ada segelintir penguasa yang diuntungkan. Oknum-oknum pihak keamanan yang mendapat dana pungli dari para pelaku bisnis ini, para pebisnis yang mungkin saja memberikan semacam “jamuan” kepada para pejabat agar deal-deal bisnisnya diluluskan, serta mungkin saja, para penguasa yang tidak tahan untuk menyalurkan instink-instink purbanya kepada seorang perempuan pelacur yang lebih menarik dan menantang.
Perkembangan ekonomi dan gaya hidup juga telah menunjang pertumbuhan pelacuran sebagai bagian dari keseluruhan perangkat ekonomi dan politik. Pertumbuhan pariwisata dan perdagangan misalnya, menjawab pertanyaan mengapa begitu banyak hotel yang dibangun dlam dua dasawarsa terakhir ini. Beberapa di antara hotel apalagi yang kelas menengah ke bawah, kemudian hidup dari pelacuran. Di beberapa tempat, pelacuran memberikan sumbangan bagi pemasukan daerah yang cukup tinggi, terutama daerah perkotaan yang berkembang menjadi sebuah lingkup budaya modern, dengan gaya hidup yang kaitannya erat dengan perempuan[9].
Sekali lagi, pelacuran adalah sebuah bisnis. Bisnis yang dibenci sekaligus dibutuhkan. Ia dibenci karena ada bentuk represi pada seksualitas serta pembentukan wacana seksualitas yang masih berporos pada rezim borjuis Victoria. Dan ia dibutuhkan, karena ia menguntungkan banyak kantong.
Dominasi Laki-Laki
Sepertinya ada sebuah ketimpangan di sini, karena yang melulu dibicarakan adalah pelacur perempuan. Padahal jika bicara tentang pelacuran, kita akan bicara tentang relasi antara perempuan dan laki-laki.
Dalam sejarah pelacuran di Indonesia, yang menjadi subjek utamanya adalah pelacur perempuan, melulu perempuan. Perempuan yang menjadi korban, yang dijual, yang dijadikan selir, dan akhirnya yang distigma buruk. Begitu pula dalam sejarah pelacuran dunia. Yang mendapatkan klasifikasi adalah para perempuan. Tidak ada klasifikasi untuk para laki-laki pelanggannya.
Dalam masyarakat kita yang patriarkis, relasi laki-laki dan perempuan berlangsung dan berpusat dalam kontrol laki-laki sehingga kontrol terhadap seksualitas dan pelacuran perempuan membentuk dua sisi keping mata uang yang sama, yaitu dominasi laki-laki. Foucault menuding bahwa seksualitas merupakan hubungan kuasa yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari diskursus plural (discursive practices) dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas sampai abad ke-20. Analisis Foucault tentang kuasa sebagai proses yang menghasilkan bentuk-bentuk tertentu seksualitas dan penanaman kuasa pada tubuh perempuan telah memberikan perspektif baru bagi kaum feminis bahwa seksualitas dan hubungan seksual disusun secara sosial. Salah satunya, menghasilkan pelacuran.
Para feminis sendiri memiliki berbagai analisis mengenai pelacuran ini. Sebagian menentang pandangan pelacur sebagai profesi memuaskan nafsu orang lain dari seks yang berbeda, karena mereka menganggap perempuan dieksploitasi dalam hubungan tersebut dan pelacur tersebut tidak memiliki kesempatan untuk memilih langganan mereka. Sebagian memandang bahwa pelacuran berhubungan dengan posisi perempuan dalam masyarakat patriarkal dan kapitalis. Mereka berpendapat bahwa pelacuran merupakan akibat buruk dari sistem patriarkal. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa pelacuran harus didekriminalisasi karena merupakan hak perempuan untuk memilih bekerja sebagai pelacur dan adalah kebebasan manusia dewasa untuk melakukan hubungan seksual sementara untuk uang tanpa adanya komitmen lebih lanjut[10].
Berbagai perdebatan itu pun masih berlangsung hingga saat ini. Termasuk akar masalah dari timbulnya fenomena pelacuran ini. Walaupun akhirnya harus diakui bahwa, fenomena ini adalah sesuatu yang sulit (atau bahkan tidak mungkin) dihilangkan. Ia yang adalah bagian dari instink paling purba manusia itu akan berteriak dan akan terus melakukan resistensi jika direpresi oleh kekuasaan yang saling berelasi dalam masyarakat. Sungguh sebuah perjalanan yang melelahkan jika membicarakan masalah yang menggelisahkan ini sampai tuntas. Ini adalah soal yang tidak mudah, karena penuh dengan kompleksitas masalah dengan sisi-sisi kemanusiaan yang begitu kuat melingkupinya.
Tetapi mungkin bisa jadi penutup yang baik jika saya sedikit memberikan fakta bahwa terhitung setiap bulannya, antara 2,7 – 4,3 juta laki-laki mengunjungi pelacur, yang berarti antara 5-8% lelaki dewasa Indonesia[11]. Kemudian pada sebuah survei terhadap 1063 laki-laki di Jakarta, Surabaya dan Manado, ada peningkatan dalam jumlah laki-laki yang melaporkan pernah berhubungan seks dengan seorang pelacur, dan 49,5% pada tahun 1996 menjadi 70% pada tahun 2000. Sedikit di bawah 50% responden mengaku berhubungan seks dengan seorang pelacur dalam 12 bulan terakhir, dengan rata-rata kontrak komersial sebanyak 10 kali[12]. Dari data-data itu, tampak jelas bahwa laki-laki-lah yang menjadi penikmat utama dalam bisnis ini. Tetapi mengapa jarang sekali mereka distigmakan oleh masyarakat, tidak pernah ada razia khusus untuk para lelaki hidung belang ini, dan tidak pernah ada pusat rehabilitasi untuk para laki-laki.
Tentu ini adalah tanggung jawab dari sebuah rezim. Rezim yang membentuk wacana soal seksualitas, sebuah rezim yang berkuasa
[1] Foucault, Seks dan Kekuasaan, 1.
[2] Ibidem, 1.
[3] Foucault, Seks dan Seksualitas, 2.
[4] Dari artikel Katrin Bandel, Seksualitas dalam Sastra Indonesia.
[5] Clare O’Farrel, Michel Foucault, 99, Sage Publication, 2005.
[6] Dalam novel Paulo Coelho berjudul Eleven Minutes, sekilas disebutkan mengenai sejarah pelacuran yang telah muncul dalam teks-teks klasik, dalam huruf hieroglyphs di Mesir, tulisan-tulisan Sumeria, serta di dalan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi profesi itu baru mulai terorganisasi sejak abad 6 sebelum Masehi, saat pemimpin Yunani, Solon, membuat sebuah rumah pelacuran yang diatur oleh negara dan mulai mengambil pajak dari situ. Para pelaku bisnis dari Athena tentu amat menikmati hal itu, karena yang sebelumnya dilarang telah menjadi legal. Akibatnya, para pekerja seks yang ada di situ, mulai diklasifikasikan tergantung dari banyaknya pajak yang diberikan. Yang paling murah disebut pornai, yang adalah seorang budak. Dan di atasnya adalah peripatetica, yang mendapatkan klien mereka di jalanan. Serta yang paling mahal dan berkelas adalah hetaera, seorang perempuan yang menemani para pebisnis dalam perjalanan mereka, makan di restoran mahal dan mengontrol keuangan mereka sendiri.
[7] Foucault, Seks dan Kekuasaan, 3.
[8] Clare O’Farrel, Michel Foucault, 99, Sage Publication, 2005.
[9] Valentina, Pelacur vs His First Lady, 40.
[10] Koentjoro:1999 dalam Pelacur vs His First Lady.
[11]
[12] Valentina, R. Pelacur vs His First Lady, 73-74.
Comments
Yang pasti semua nya tidak ada di ROYALQQ ^^