Skip to main content

Review Film: Melancholia yang Melankolik

Saya selalu terpaku jika melihat gambar-gambar dalam karya film Lars Von Trier. Di Anti Christ, saya seperti melihat karya lukis sureal yang bergerak dengan lambat. Sungguh perasaan saya bercampur aduk saat melihat film itu, galau, putus asa, sekaligus sangat pesimis.

Dalam film Melancholia, gambar-gambar sureal bak lukisan itu juga tampak di awal film. Namun, prasaaan yang muncul menjadi sedikit berbeda. Walau ada kegalauan saat melihat film tentang akhir dunia ini, saya merasa jadi sedikit optimis, karena walaupun dunia berakhir, jika saya bersama orang tercinta rasanya akan jadi lebih baik.

Melancholia yang diputar dalam premiere Festival Film Cannes ke-64 di Mei 2011 yang lalu, menjadi salah satu film yang banyak diperbincangkan. Selain karena sang sutradara Lars Von Trier sempat mengeluarkan lelucon soal Nazi yang dianggap tidak lucu, film ini secara visual, naskah serta akting para aktornya, mendapat banyak pujian serta kritik dari banyak kalangan.

Melancholia berpusar pada kisah dua kakak beradik, Justine dan Claire. Justine diperankan oleh Kirsten Dunst dan Claire oleh Charlotte Gainsbourg. Dalam film ini , Lars mencoba mengeksplorasi pergolakan mental dua kakak beradik ini saat bumi terancam akan ditabrak oleh sebuah planet biru bernama Melancholia.

Film ini dibagi menjadi dua bab. Bab pertama adalah ‘Justine’ dan yang kedua adalah ‘Claire’. Bab ‘Justine’ dibuka dengan kisah pernikahan antara Justine serta Michael (Alexander Skarsgard). Pernikahan bak negeri dongeng ditampilkan dalam frame-frame awal film ini. Wajah pengantin perempuan dan laki-laki yang tersenyum bahagia, venue pernikahan yang indah dan elegan serta pengantin pria, tampak begitu mencintai dan memuja Justine.

Namun, film ini bergerak menjadi muram. Justine yang seharusnya menjadi orang paling bahagia dalam momen pernikahan itu, menarik diri pelan-pelan keluar dari perhelatan itu. Ia merasa teralienasi. Seperti ada rasa sepi ditengah keramaian. Pergolakan jiwa Justine yang semakin depresif, semakin kentara dan diperlihatkan oleh Lars dalam frame-frame selanjutnya.

Di tengah pesta pernikahannya, Justine melakukan hal-hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Ia bertengkar dengan bosnya yang amat manipulatif, Jack (diperankan oleh Stellan Skarsgaad). Dan Justine pun, seperti lepas dari kesadaran, bercinta dengan salah satu trainee dari kantornya, Tim (Brady Corbet).

Dalam waktu satu malam itu, kehidupan Justine yang awalnya begitu sukses dan mapan, seperti runtuh seketika. Karirnya hancur, Michael yang sudah dinikahi pergi meninggalkannya, dan seluruh pesta berbudget fantastis yang dibiayai oleh Claire serta suaminya, John (Kiefer Sutherland) berantakan. Justine pun makin depresi, apalagi saat pagi menjelang ketika seluruh pesta pernikahan sudah benar-benar usai, Ayahnya yang amat terkasih, Dexter (John Hurt) pergi meninggalkannya. Justine pun seperti kehilangan diri.

Kemudian film itu berlanjut ke bab ‘Claire’. Dalam bab ini, Lars mulai menggali kehidupan personal Claire, dan akhirnya berangkat menuju klimaks dari film ini yaitu dinamika emosi manusia ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa sebentar lagi dunia akan benar-benar berakhir.

Digambarkan betapa Claire yang adalah kakak ‘Justine’, begitu mengasihi adik perempuannya. Di saat Justine begitu rapuh karena termakan oleh kondisi kejiwaannya, Claire hadir. Dengan suka rela ia merawat Justine di rumahnya yang bagaikan puri itu. Di situ, Justine yang tadinya sama sekali tidak bisa merawat dirinya sendirinya, pelan-pelan mulai membaik.

Dalam bab ini, Lars mulai menggambarkan soal Melancholia sebagai sumber kehancuran dunia. Satu titik seperti bintang bernama Antares yang pada pesta pernikahan sempat dilihat oleh Justine lalu kemudian menghilang adalah salah satu pertanda awal bencana akhir dunia itu. Titik bernama Antares itu menghilang karena tertutup oleh bayangan Melancholia. Sebuah planet biru yang selama ini berada di belakang matahari.

Pada awalnya, John, suami Claire yang adalah seorang astronomer ternama, memperkirakan tubrukan antara Melancholia dan Bumi tidak akan terjadi. Melancholia hanya akan melewati bumi. Di situ sempat digambarkan, wajah Melancholia yang kebiruan, sempat menghilang di langit. Namun, pada satu titik, kiamat yang selama ini sepertinya hanya ada dalam ranah absurd manusia bumi, benar-benar akan terjadi. Melancholia memang benar-benar akan menabrak bumi, dan sudah dipastikan bumi dan segala isinya akan hancur. Termasuk, Justine, Claire, John dan Leo (Cameron Spurr) anak Claire dan John.

Ditengah detik-detik terakhir bumi akan mencapai kiamatnya. Claire tampak tidak bisa menahan diri. Ia semakin panik, dan sangat ketakutan apalagi ia merasa tidak akan bisa melindungi Leo. John pun akhirnya menyerah dan meminum racun, saat detik-detik terakhir kiamat akan terjadi. Tetapi tidak dengan Justine, ia malah tampak begitu pasrah, dan seperti mulai menikmati hari-hari terakhir bumi dan seluruh umat manusia.

Akhirnya, saat bulatan biru di langit bernama Melancholia itu mulai begitu dekat, Justine bersama Leo, meyakinkan Claire untuk pergi ke tanah lapang di bukit. Bersama-sama, mereka mencoba bersiap diri menghadapi akhir dunia. Dilatari suara gerakan planet biru Melancholia yang keras menderu, Justine membangun semacam benteng perlindungan dari ranting kayu berbentuk piramida. Di dalam perlindungan piramida imajiner itu, mereka bertiga saling berpegangan tangan. Dan di tengah ketidakberdayaan, dan tangisan Claire yang menjadi, tubrukan itu pun terjadi dan dunia pun berakhir.

Melancholia secara keseluruhan mendapat respon positif dari berbagai kritikus film. Ia digambarkan sebagai semacam tragic comedy, tentang akhir dunia. Lewat visual-visualnya yang indah, sederhana serta di beberapa bagian begitu sureal, Lars seperti ingin mengajak penonton menjadi melankolis tentang ide kiamat. Tidak seperti film lainnya tentang akhir dunia yang banyak mengekspos kehancuran, darah, kumpulan manusia yang lari kalang kabut, atau tanah terbelah dan laut menggelora, Melancholia ingin mendalami subjek dari kiamat itu sendiri, yaitu manusia. Pergolakan batin, mental juga ketakutan-ketakutan wajar dari ide tentang sebuah akhir.

Jujur, setelah menonton film ini, saya jadi lebih berefleksi tentang hidup saya. Tentang menerima, dan tentang kesendirian. Jika ini dilihat lebih riil, mungkin Lars ingin berbicara tentang kematian, yang adalah sebuah akhir bagi setiap manusia. Betapa indahnya, jika sebelum mati, kita sudah berhasil melepaskan diri kita dari apapun yang membelenggu. Dan lebih indah lagi jika sebelum mati, kita dikelilingi oleh orang-orang terkasih.

Untuk aktingnya yang brilian, Kirsten Dunst mendapatkan penghargaan sebagai aktris terbaik dalam penutupan Festival Film Cannes ke-64 ini.

photo source: http://www.imdb.com

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.