Skip to main content

Review Film: Drive


“and the real hero is the real human being”.

Ini adalah cuplikan lirik lagu Real Hero dari College feat. Electric Youth. Sebaris lirik ini paling nyantol di kepala saya dan seringkali saya dengungkan. Disamping karena aransemen musiknya sangat ramah dan menyenangkan di telinga , lirik lagu ini langsung membawa saya kepada scene sebuah film yang diperankan oleh Ryan Gosling.

Drive adalah film garapan sutradara Nicolas Winding Refn, yang dinobatkan menjadi sutradara terbaik dalam Festival Film Cannes ke 64.

Ini adalah salah satu film ‘low budget’ yang menarik serta tidak se’low’, budget-nya. Selain skenario serta frame-frame visual yang sederhana namun menawan, para aktor yang terlibat dalam film ini (bagi saya) sungguh menarik untuk disimak. Diantaranya adalah Ryan Gosling, Carey Mulligan serta Albert Brooks.

Ryan Gosling adalah sang “Driver”. Ia tidak bernama, juga tidak disebutkan masa lalunya. Carey Mulligan adalah Irene, seorang perempuan yang telah membuat “Driver” jadi begitu melankolis. Sedangkan Albert Brooks adalah Bernie Rose, gangster kelas kakap dan pembunuh berdarah dingin yang membuat “Driver” jadi kalang kabut. Ketiga karakter ini memberi warna kuat pada film ini, sehingga Drive jadi begitu hidup dalam kesederhanaannya.

“Driver” adalah manusia biasa yang menjadi pahlawan, tanpa ia inginkan untuk menjadi salah satunya. Ia hanya melakukan apa yang ia anggap perlu. “Driver” tidak suka bicara, wajahnya minim letupan ekspresi, ia hanya bicara secukupnya. Ia adalah manusia efektif.

Pergolakan emosi serta konflik dalam film ini mulai mengalir saat “Driver” jatuh cinta pada Irene, tetangga, serta seorang ibu dari satu orang anak bernama Benicio. Lelaki tak bernama ini jadi begitu melankolis dan rela melakukan apapun demi Irene, bahkan membunuh. Salah satu frame yang membuat saya hampir terbangun dari duduk adalah saat “Driver” menghantam kepala seorang lelaki yang menguntit Irene, dengan sepatunya hingga kepala lelaki itu remuk redam.

Buat saya, adegan di Lift itu sedikit banyak memberi semacam gambaran kelam soal konflik di kepala serta batin “Driver”. Ada semacam tulisan kecil di bawah layar dan kepala saya sesudah adegan itu, “dia manusia tanpa kata, dan dia juga berbahaya”. Gambar kalanjengking di belakang jaket “Driver” yang melulu dikenakannya, juga seperti ingin menegaskan itu. (Kalanjengking atau Scorpio adalah salah satu tanda dalam Zodiak yang konon katanya memiliki sifat natural macam “Driver”.) Tidak banyak omong dan melampiaskan dendamnya dengan menyakitkan.

Begitu juga film ini berjalan kemudian. Entah karena ada semacam tumpukan dendam masa lalu atau memang dorongan rasa cinta, “Driver” tanpa pikir panjang dan efektif, menghabisi satu persatu orang yang telah menyakiti para terkasihnya (kawan serta perempuan yang ia cintai).

Seperti layaknya seorang pahlawan, ia tidak berharap apapun setelah menunaikan tugasnya. “Driver” yang tanpa nama itu dan terluka parah itu, setelah menghabisi musuh besar (Albert Brooks) yang telah menyakti terkasihnya, pergi meninggalkan tempat itu, dan hanya meninggalkan pesan soal betapa ia bahagia sempat mencintai perempuan yang telah membuatnya memaklumi kemanusiaannya itu (Irene). Well ‘a real hero is just a real human’.


photo source www.imdb.com

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.