*teman saya Michael Eko (Mike) meminta saya untuk memberi sedikit pengantar pada skripsinya..
“To collect photograph, is to collect the ‘world’”, tulis Susan Sontag dalam bukunya On Photography. Dengan memotret, kita berarti telah membekukan gambaran tentang ‘dunia’ dalam sebuah gambar tak bergerak. Sebuah ‘dunia’ yang kita huni, dunia yang memiliki realitas-relitasnya sendiri.
Realitas-realitas itu dibangun oleh kita, individu-individu lain, alam lingkungan serta kondisi sosial budaya yang ada. Mereka saling mempengaruhi dan saling bersinergi. Dengan melihat kembali realitas-realitas itu, kita bisa memaknainya lebih, dan merefleksikan kembali apa yang sudah terjadi dan apa yang seharusnya kita lakukan.
Fotografi memang sejatinya adalah medium. Ia berfungsi sebagai alat untuk mengantarkan pada suatu tujuan. Suatu tujuan yang disepakati bersama atau personal, tergantung apa atau siapa yang menggunakan medium itu. Fotografi bisa menjadi alat refleksi personal ataupun publik, ia juga bisa menjadi alat ekspresi, sekaligus menjadi alat perubahan.
Salah satu foto yang berhasil melakukan fungsi perubahan adalah foto karya Eddie Adams tentang eksekusi seorang tahanan, yang diduga pimpinan Viet Cong, oleh Nguyen Ngoc Loan seorang Kepala Polisi. Foto yang memenangkan Pulitzer ini telah merubah persepsi dunia tentang perang, khususnya perang Vietnam. Foto inilah salah satunya, yang menjadi semacam titik balik terjadinya gerakan-gerakan anti perang di dunia, khususnya Amerika.
Lewat foto yang ikonik itu, mata dunia seperti terbuka lebar. Dunia seakan berefleksi mengenai dampak buruk perang bagi kemanusiaan. Lewat foto itu, manusia diajak untuk melihat kembali apa yang sudah terjadi dan apa yang sebaiknya dilakukan.
Dalam tulisan untuk tugas akhir studinya ini, Mike menghadirkan sebuah contoh nyata tentang bagaimana foto dijadikan medium perubahan dalam konteks lokal. Lewat semangat partisipatif, foto dijadikan sebagai alat untuk menumbuhkan kesadaran sebuah komunitas lokal di desa Teluk Aur, Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Sebuah kesadaran lokal untuk bersikap lebih ‘hijau’ dan peduli pada alam lingkungan sekitarnya.
Lewat kegiatan memotret, lalu kemudian memaknai hasil bidikannya itu, komunitas Teluk Aur pelan-pelan mulai bersikap kritis. Mereka mulai mengerti bahwa mereka adalah bagian penting dari alam sekitanya. Ada hubungan simbiosis antara hutan, flora dan fauna serta komunitas Teluk Aur. Kesadaran bahwa kehidupan yang dijalankan harus selaras dengan alam sekitarnya, juga mulai terbangun dari kegiatan memotret alam lingkungan itu.
Komunitas masyarakat Teluk Aur ini adalah gambaran sederhana, bahwa realitas yang ada dalam gambar tak bergerak itu adalah hasil sinergi yang intens antara berbagai elemen dalam konteks Teluk Aur. Sebuah realitas yang bisa dikonstruksi ataupun direkonstruksi. Dengan mengumpulkan realitas-realitas dalam selembar foto, maka kita bisa mengkoleksi gambaran tentang ‘dunia’ kita yang sekarang. Lewat koleksi itu pula, kita bisa memutuskan untuk berpartisipasi dalam sebuah perubahan atau tetap diam saja, sambil mengantongi bencana.
Comments