Skip to main content

Ende, Bukan Sebuah Akhir

Ini adalah catatan perjalanan saya saat mengunjungi Ende, Flores, NTT.


Bagi saya, Ende adalah awal perjalanan yang menyenangkan. Di tempat ini, beragam cerita serta ingatan banyak bermula. Ingatan tentang sebuah negeri dengan bentang alam serta budaya yang eksotis, juga ingatan akan senyum ramah manusia-manusia Pulau Bunga yang telah membawa saya kepada kisah-kisah menarik.

Ende adalah kota di belahan Timur Nusantara yang baru pertama kali saya kunjungi. Sebelumnya saya hanya membaca serta membayangkan eksotisme negeri di Timur itu.

Ende berada di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur yang menjadi Ibukota Kabupaten Ende. Flores adalah kata dalam bahasa Portugis yang berarti bunga. Seorang Portugis bernama Cabot memberikan nama itu yang semula ia gunakan untuk menyebut “Cabo de Flores” atau Tanjung Bunga. Nama itu kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Belanda Hendrik Brouwer.  Namun, jika ditelisik lebih jauh sesungguhnya nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa atau Pulau Ular.

Awal Mula 

Kota Jogja menjadi awal mula perjalanan saya. Untuk menuju Ende, ada berbagai rute alternatif yang bisa ditempuh, tergantung moda transportasi yang dipilih. Rute yang saya pilih adalah Jogja – Bali – Ende. Dari Jogja saya menuju Bali menggunakan bis malam untuk selanjutnya terbang ke Ende. Perjalanan dari Jogja ke Ende cukup menyenangkan, apalagi ini adalah perjalanan pertama saya, tidak hanya ke Timur Indonesia, tetapi juga ke Pulau Dewata.

Sekedar melepaskan rasa penasaran, saya pun menyisakan waktu semalam di Bali. Tentu waktu yang ada tidak cukup untuk melihat Bali yang sebenar-benarnya, tetapi untuk sejenak singgah, duduk-duduk di pinggir Pantai Kuta sambil minum-minum, sudah cukup mengobati rasa penasaran saya.

Di Ende, seorang kawan baik yang memiliki rumah di kota itu sudah menunggu. Kawan saya itu dengan senang hati menawarkan rumah serta jasanya agar saya bisa menikmati Ende dengan menyenangkan. Yah tentu saja, tawaran seperti itu sudah sepatutnya diterima, karena ongkos akomodasi bisa ditekan, dan sudah dipastikan saya akan memiliki guide pribadi yang bisa membawa berkeliling tanpa dibayar.

Di Ende

 
Kota yang berada di pinggir laut ini memiliki tiga pelabuhan, yaitu pelabuhan ikan, pelabuhan barang serta pelabuhan penumpang (IPPI). Pelabuhan-pelabuhan itu adalah salah satu gerbang modernisasi Ende, baik sebagai kota maupun sebagai Kabupaten. Lewat pelabuhan-pelabuhan itu, lalu lintas barang dan manusia hilir mudik memasuki Ende.

Oleh karena dekat dengan pelabuhan, kota Ende marak dengan ragam etnis, tidak hanya orang Ende atau orang Lio (yang merupakan suku mayoritas), tetapi banyak sekali pendatang dari berbagai tempat di Nusantara yang menetap dan beranak pinak di situ.

Keragaman itulah yang membuat manusia-manusia Ende jadi begitu menarik serta penuh dengan aura keterbukaan. Termasuk pesona alam lingkungannya yang begitu mendatangkan inspirasi. Salah satu yang begitu terinspirasi oleh kota Ende adalah founding father Indonesia, Soekarno.

Tahun 1934 sampai tahun 1938 Soekarno sempat diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda di kota Ende. Di sebuah rumah kecil nan sederhana yang berada tidak jauh dari bibir pantai, Soekarno menghabiskan masa-masa pengasingannya dengan berefleksi, berinteraksi dengan masyarakat serta alam, juga berkesenian. Hasil pergulatannya itu kemudian menghasilkan lima dasar filasafat bangsa Indonesia, Pancasila.

Rumah yang menjadi saksi sejarah lahirnya filsafat bangsa itu, hingga kini masih berdiri dan lestari. Saat mengunjungi rumah itu, saya seperti dibawa kembali ke tahun 1934. Saat Soekarno memaklumi hari-hari pengasingannya dengan hal-hal yang begitu bermakna bagi negeri ini. Sebuah pemaknaan akan konsep kebangsaan yang satu dan beraneka, yang hanya berawal dari sebuah imajinasi.

Tidak jauh dari bekas rumah pengasingan itu, terdapat sebuah taman dimana patung raksasa Soekarno serta pohon sukun berdaun cabang lima yang telah menjadi inspirasi Soekarno me-reka Pancasila berdiri. Selain berfungsi sebagai pengingat akan sejarah bangsa, lapangan yang disebut sebagai Tugu Pancasila ini sejatinya adalah ruang terbuka hijau kota Ende. Namun, sepertinya jarang yang memanfaatkan ruang publik itu, yang sering saya jumpai malah sampah-sampah yang berserakan. Sayang sekali.

Tetapi ketika saya berjalan ke arah pasar, yang jaraknya tidak jauh dari Tugu Pancasila, kekecewaan saya soal sampah tadi sedikit terobati. Di pasar itu saya menemukan geliat kehidupan Ende sebenar-benarnya. Aktifitas jual beli berbagai macam kebutuhan pokok serta jual beli ikan segar tampak mendominasi. Toko-toko yang masih mempertahankan arsitektur lamanya tampak berjejer sepanjang jalan.

Yang paling menarik perhatian saya adalah kios-kios kain tenun khas Flores yang tampak berwarna-warni. Motif-motif khas sejumlah daerah di Flores, bahkan sampai ke Pulau Timor, itu dijual dengan harga beragam sesuai dengan kualitas tenun serta pewarna yang digunakan. Menurut salah seorang penjual, makin alami bahan serta proses pembuatannya, makin mahal harga yang ditawarkan. Tentu kain-kain ini bagi orang Flores atau Ende sendiri, memiliki makna yang lebih khusus karena berkaitan dengan adat istiadat yang masih mereka pegang teguh. Tetapi bagi para pendatang atau turis macam saya, kain-kain itu memiliki makna dekoratif atau lebih kepada fungsi memperindah.

Selain kain tenunnya, salah satu yang sangat indah di kota Ende, adalah Katedral Christo Regi atau Kristus Raja. Katedral ini didirikan semenjak jaman Belanda dan menjadi semacam monumen keberhasilan misionaris di Ende. Selain bangunan luarnya yang indah, bagian dalam Katedral ini juga dihiasi dengan lukisan para Orang Kudus di langit-langitnya.

Bukan Akhir

Katedral Christo Regi ini bukan akhir perjalanan saya di kota Ende. Masih banyak tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi untuk menggali inspirasi. Perjalanan saya selanjutnya bergerak lebih ke Timur, agak menjauh dari kota Pesisir Ende. Bergerak menuju ke daerah pegunungan yang jauh dari kota, namun masih berada di Kabupaten Ende.


Destinasi yang sudah pasti masuk dalam check list saya adalah Gunung Kelimutu, dimana ada Danau Tiga Warna yang melegenda serta banyak kisah disimpan. Termasuk kisah saya sendiri yang pasti akan terus berlanjut. Sebuah perjalanan menuju ke daerah lebih Timur lagi atau memutar kembali, atau lebih ke arah barat. Bisa juga tentang perjalanan diri menemukan kesejatian. Yang jelas, seperti layaknya yang pertama, perjalanan ke bagian kecil Timur Indonesia sungguh tak terlupa, begitu banyak yang bisa digali, serta mencipta halaman-halaman kosong kertas yang siap untuk ditulis.



Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.