Skip to main content

Merayakan Kenangan

Memandangi foto, melihat kembali film-film tertentu atau mendengarkan musik yang menjadi kegemaran adalah -bisa menjadi- sebuah perayaan akan kenangan kepada yang terkasih. Dengan menghadirkan semua itu, rasa rindu pada  sebuah kehadiran cukup terobati. 

Walau tidak benar-benar (cukup)  sembuh, atau malah bisa menimbulkan lubang rindu yang makin menganga.

Kenangan adalah –sepenuhnya-  ilusi yang tercipta karena seluruh otak dan perasaan kita berusaha sekuat tenaga merestorasi ‘yang sudah lewat’ ke masa sekarang.  Hasil restorasi itu seperti berlari-lari di kepala dan kadang melompat-lompat. Ia bisa berlari ke tempat-tempat yang menyenangkan, atau bisa saja melompat ke tempat-tempat yang suram. 

Jika sudah terlanjur sampai pada tempat yang menyenangkan, maka berbahagialah kita ketika itu. Tetapi jika ia terperosok pada tempat-tempat yang suram, hancurlah rasa kita. Ia hancur karena mau tidak mau harus bergumul dengan kenangan pahit, bahkan (mungkin saja) memuakan. 

Akhir-akhir ini saya –kebetulan saja- sedang bergumul dengan banyak kenangan. Salah satu medium yang berisi fragmen kenangan dan paling sering serta mudah saya hadirkan adalah foto. 

Winter Garden Photograph

Jika membicarakan foto, saya jadi teringat dengan seorang filsuf, Roland Barthes, yang dengan romantis membicarakan kenangannya dengan foto masa kecil ibunya. Bagaimana ia mengalami dan membaca foto, lalu menuliskannya, adalah tulisan yang sangat menginspirasi saya. 

Barthes adalah seorang filsuf, penulis, dan akademisi asal Prancis. Ia terkenal sebagai seorang akademisi bergaya metroseksual yang memiliki banyak lingkaran pergaulan dalam dunia sosialita di Paris. Barthes memang menggemari tema-tema kontemporer dan ia banyak menulis seputar tema itu. Ini bisa dilihat dalam satu bukunya berjudul Mitologi yang berisi esai-esai hasil pengamatannya terhadap berbagai fenomena sosial budaya kontemporer yang sedang terjadi dalam masyarakat di Prancis, khususnya Paris (ketika itu). 

Salah satu tema kajian yang amat menarik bagi Barthes adalah fotografi. Dengan kemampuan analitisnya yang tajam serta sensitifitasnya yang dalam, Barthes menulis pengalaman personalnya ‘mengalami’ sebuah foto dalam sebuah buku Camera Lucida. Buku ini adalah karya terakhirnya sebelum ia tewas dalam sebuah kecelakaan tragis di tahun 1980. 

Salah satu foto yang begitu dalam ia ‘alami’ adalah sebuah foto yang ia sebut The Winter Garden photograph. Foto ini ia temukan ketika pada suatu hari di apartemennya, Barthes sedang melihat foto-foto tua milik ibunya. Tiba-tiba dari sekian banyak foto, ada sebuah foto yang –seperti- membuat matanya terpancang dan tidak mau mengalihkan perhatiannya lagi dari situ. Foto itu adalah gambar ibunya yang masih berusia 5 tahun (ketika itu tahun 1898) sedang berdiri di dekat sebuah jembatan kecil dalam sebuah rumah kaca (conservatory). Ketika itu, ibunya berdiri bersama seorang anak lelaki yang adalah kakaknya sendiri yang berumur 7 tahun. Rumah kaca itu disebut juga sebagai Winter Garden

Saat mengamati ekspresi wajah serta gesture gadis berusia lima tahun dalam foto itu, Barthes seperti menemukan kembali ibunya yang sudah meninggal. Ada rasa melankolik seperti luka yang menusuk perasaan Barthes saat melihat wajah polos serta pose gadis kecil itu dalam sebuah Winter Garden. 

“For once photography gave me a sentiment as certain as remembrance, just as Proust experienced it one day when, leaning over to take off his boots, there suddenly came to him his grandmother’s true face, “whose living reality I was experiencing for the first time, in an involuntary and complete memory.” (Camera Lucida, 70)

Menurut Barthes, fotografer anonim, yang memotret ibu dan pamannya ketika kecil, itu adalah sejenis mediator yang membawakan kembali kepada Barthes sebuah “kebenaran”. Kebenaran akan percampuran rasa antara kesedihan yang teramat besar karena kehilangan orang yang terkasih, serta kerinduan yang membahagiakan saat bertemu kembali ibunya lewat foto itu. 

Foto Yang Terkasih

Foto yang terkasih adalah foto yang pada titik tertentu (punctum) mampu menimbulkan ‘luka’ yang akhirnya membuat kita -seperti- hilang dalam foto itu dan mampu menimbulkan semacam “kegilaan” (momen satori) pada diri kita akibat melihat foto itu. Dan ini adalah yang saya alami secara personal saat ‘mengalami’ foto-foto tertentu.

Buat saya, “mengalami” foto berarti melihat foto untuk kemudian dibaca secara personal, karena setiap pembaca atau penikmat foto punya pengalaman kultural serta ‘titik lukanya’ masing-masing. Misalnya, seperti Barthes yang mengalami momen personal itu melalui Winter Garden photograph-nya. 

Sementara itu untuk saya, dari beberapa foto yang menjadi kesukaan saya, ada sebuah foto yang akhir-akhir ini berdiri pada sebuah figura ‘darurat’ di atas meja kerja saya di kamar. Foto itu bergambar sebuah atap rumah dengan langit biru bersih sebagai latarnya. 

Mungkin bagi yang lain, foto ini hanya gambar sebuah atap rumah berlatar langit cerah. Namun bagi saya, foto ini adalah sebuah pengingat, dan secara sederhana, perayaan atas kenangan akan seseorang yang mengingatkan saya soal ‘rumah’. 

Saat meraba-raba dan mulai ‘mengalami’ foto itu, perjalanan waktu pertama saya pada titik studium mengatakan bahwa konsep rumah dalam konteks kultural yang selama ini saya maklumi adalah sebuah tempat berteduh, beristirahat ketika lelah, sekaligus berlindung dari segala yang (mungkin saja) mengancam. Dalam konteks kultural saya pun, rumah adalah sebuah ruang yang dimensi tempatnya utama. Artinya ada tanah untuk berpijak serta dinding yang membangun bangunan. Singkatnya, rumah adalah bangunan. 

Sementara itu, ketika saya melihat langit biru yang menjadi latar dari atap itu, saya seperti beranjak ke waktu kedua dimana momen punctum mulai merasuki saya. Ada titik pancang yang memaksa saya untuk tidak mau berpindah dari situ. Ada ruang seluas langit yang menjadi batas atap rumah itu. Artinya ada kebebasan bergerak, berpindah dan berlari-lari di luar atap itu. Dan yang menjadi batas cuma langit, artinya tidak berbatas.

Rumah adalah tempat berteduh yang tidak berbatas. Itu adalah titik yang seperti ‘melukai’ saya. Bukan luka yang menyakitkan. Ini adalah sebuah luka yang menyentuh rasa saya. Rumah bukan sekedar tempat atau bangunan, rumah adalah ketidakterbatasan itu. Rumah adalah sebuah personalitas. Rumah bisa dimaklumi secara berbeda oleh siapapun yang ingin memaknainya. 

Kemudian setelah sampai pada permakluman personal tentang rumah yang artinya tidak berbatas itu, pikiran saya seperti diajak untuk mengembara pada sebuah ‘kegilaan’. Gila artinya, saya seperti diajak untuk menjadi semakin sentimentil dan semakin melankolis untuk menanggapi foto itu. Saya seperti diajak untuk masuk ke waktu ketiga dan mencapai satori

Saat momen satori itu, ketika melihat foto atap rumah dengan latar langit biru itu, yang saya lihat adalah seseorang. Seseorang yang secara metaforis bisa menjadi tempat saya berteduh, berkeluh kesah juga mendapat perlindungan. Rumah bukan lagi sekedar tempat yang tidak berbatas. Rumah adalah sebuah leburan antara rasa, percaya, komitmen serta cinta. 

Foto yang sederhana itu, seperti menjadi medium sederhana saya untuk merayakan sebuah kenangan akan yang terkasih. Kenangan akan yang terkasih di mata saya, juga di ranah-ranah kepala saya. Foto itu menghadirkan kerinduan, dan sedikit banyak mengobatinya. Ia seperti menghadirkan sebuah kebenaran, kebenaran akan sebuah kehadiran. 

Akhirnya, saat ‘mengalami’ foto yang terkasih itu, saya seperti melakukan sebuah perjalanan spiritual. Sama seperti ketika Barthes ‘mengalami’ foto Winter Garden-nya itu. Karena sejatinya (bagi Barthes), sebuah pembacaan foto adalah sebuah perjalanan dari waktu-waktu itu, atau perjalanan dari studium-punctum hingga mencapai satori.

Referensi: 
Barthes, Roland, Camera Lucida, London: Vintage, 2000. 
Sunardi, ST, Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika, Yogyakarta: Jalasutra, 2012. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.