Selama hampir lebih kurang 20 hari (15 Nov 2012-1 Des 2012) saya mendapat kesempatan luar biasa bertemu dengan manusia-manusia luar biasa, yang semuanya adalah pelaku seni pertunjukan baik tutur ataupun teater, di Jawa Timur, Bali, Lombok, Flores, Timor dan Yogyakarta (yang adalah kota saya sendiri). Dan selama hampir 20 hari itu, saya sempat ngobrol-ngobrol dan belajar banyak dari mereka. Oleh karena itu rasanya rugi sekali kalau hasil belajar itu tidak saya dokumentasikan dan saya bagi, paling tidak di blog ini.
Sebelum bergelut dalam Teater Kampung Seni Banyuning, Putu Satria yang asal Banyuning ini, sempat merantau selama satu tahun ke Denpasar dan berguru kepada berbagai sanggar teater serta dedengkot teater di Denpasar. Salah satunya adalah Sanggar Putih.
1. Ludruk Budhi
Wijaya (Jombang, Jawa Timur)
Budhi Wijaya adalah salah satu kelompok seni Ludruk
di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang cukup populer serta ramai tanggapan.
Mulanya kelompok ini bernama Budi Jaya. Ia didirikan
oleh Sahid (Aba Sahid) pada tahun 1982. Sahid kemudian menjadi pimpinan kelompok
ini, sampai ia menurunkan pada anaknya Didik Purwanto. Sahid mulanya adalah
seorang panjak (penabuh gamelan) pada kelompok ludruk Warna Jaya pimpinan Bayan
Manan. Namun karena manajemen dalam Warna Jaya kurang baik, satu persatu
personil Warna Jaya keluar dan bersama-sama bergabung membentuk kelompok baru
yang diorganisir oleh Sahid.
Konflik internal-lah yang kemudian membuat Sahid
memutuskan untuk mengganti nama Budi Jaya menjadi menjadi Budhi Wijaya. Konflik
yang nyatanya lumrah terjadi diantara anggota ludruk atau antara kelompok
ludruk. Walaupun potensi konflik cukup besar, kepemimpinan Sahid yang cukup
mumpuni membuat Budhi Wijaya makin maju dan ramai tanggapan.
Tahun 2005, ketika Sahid berangkat Haji,
pelan-pelan seluruh roda kepemimpinan Ludruk Budhi Wijaya diberikan kepada
Didik. Didik pun mulai mengurusi segala urusan manajerial dan mulai berpikir
untuk membuat berbagai inovasi dalam pementasan Budhi Wijaya. Lalu pada tahun
2008, setelah Sahid wafat, Didik akhirnya benar-benar memegang kepemimpinan
Budhi Wijaya.
Salah satu cerita yang paling sering dimainkan dan
menjadi favorit adalah Kebo Kicak. Kebo Kicak adalah cerita rakyat Jombang yang
diceritakan secara tutur turun temurun selama ratusan tahun. Kisahnya tentang
seorang lelaki bernama Joko Tulus yang berprilaku tidak sopan dan menginjak
seorang Guru yang sedang bertapa. Joko Tulus lalu disumpahi oleh Guru itu
menjadi seorang lelaki berwajah Kerbau. Selain Kebo Kicak, Budhi Wijaya juga
memainkan berbagai kisah kepahlawanan khas Jombang, serta kisah-kisah kehidupan
sehari-hari masyarakat Jombang dan sekitarnya.
Untuk sekali pentas dari pukul sembilan malam
hingga subuh menjelang, Budhi Wijaya memasang tarif yang beragam tergantung
dari lokasi pementasan. Hal itu dilakukan karena berhubungan dengan biaya
transportasi yang dikeluarkan. Misalnya saja ketika mereka ditanggap untuk
pentas di Probolinggo, Didik mematok tarif Rp 25 juta. Namun jika jaraknya
tidak terlalu jauh, misalnya Sidoarjo atau Gresik, Didik biasanya memberikan
harga maksimal 10 juta, tergantung dari kesepakatan dengan penanggap.
Dalam setiap pementasannya, Budhi Wijaya akan
menampilkan, paduan suara delapan pesinden yang menyanyikan anthem kebanggaan Budhi Wijaya, remo
putri yang khusus ditarikan oleh para waria, campursari, penampilan penari ular
dengan atraksi yang memukau, tarian remo putra gaya Bolet atau gaya kembar,
Bedayan dimana seluruh pengisi acara tampil menyanyikan berbagai lagu populer,
lalu lawakan, serta puncaknya adalah lakon utama.
Kepopuleran Budhi Wijaya diantara kelompok ludruk
lainnya di Jombang itu, dapat diraih karena munculnya berbagai inovasi yang
diusung oleh Didik. Seperti musik campursari, serta tarian ular pada setiap
pementasannya. Selain itu, kerja keras serta kreatifitas para personilnya
(berjumlah sekitar 75 orang) yang sehari-hari berprofesi sebagai petani,
wirausahawan salon, PNS, ataupun pedagang turut membuat kelompok ini solid dan
menjadi salah satu grup ludruk dengan biaya tanggapan tertinggi di Jombang.
Selain itu, kepercayaan masyarakat Jombang yang
menganggap lebih baik menanggap ludruk ketimbang ketoprak, membuat eksistensi
kesenian ini masih terus akan bertahan kedepannya. Dan itulah yang membuat
Didik optimis, Budhi Wijaya akan terus bertahan eksistensinya.
2. Wayang
Topeng Sumenep, Sanggar Rukun Pewaras (Sumenep, Madura, Jawa Timur)
Kesenian Wayang Topeng atau Topeng Dhalang adalah
salah satu seni tradisi yang tumbuh dan lestari sejak ratusan tahun lalu di
Pulau Madura, khususnya Sumenep. Cikal bakalnya memang berasal dari Pulau Jawa,
sehingga tidak mengherankan, kisah-kisah yang ditampilkan mengikuti kisah
pewayangan yang ada di Jawa, seperti kisah Mahabarata serta Ramayana.
Berbeda dengan kesenian wayang di Jawa,
wayang-wayang yang digunakan adalah wayang hidup atau dimainkan oleh manusia
sendiri. Dan Dhalang tetap berfungsi sebagai pengatur lakon serta menarasikan
seluruh kisah.
Rukun Pewaras adalah salah satu kelompok seni
Wayang Topeng Sumenep yang tetap eksis hingga kini dan sudah diturunkan
sebanyak empat generasi. Pemimpinnya adalah Adi Sutipno. Menurut Adi Sutipno, kelompok ini bermula dari masa kakek buyutnya bernama
Mardisah. Ketika itu, buyutnya sudah memiliki organisasi topeng bernama Muncar
Are. Mardisah lalu menurunkan kepada anaknya (kakek Adi Sutipno) Lubanjir yang
memberi nama organisasinya Sebanjir.
Anak Mardisah ini lalu mempunya lima orang anak
laki-laki yang pada mulanya bersama-sama juga mendirikan sebuah kelompok
topeng. Namun karena satu dan lain hal, kelompok itu bubar dan tersisa tinggal
anak kelima, Mased, dengan kelompok topengnya. Mased lalu menurunkan kelompok
itu kepada anak lelakinya, Adi Sutipno, yang dari tahun 1995 hingga kini setia mengurusi
dan melestarikan kelompok Wayang Topeng yang akhirnya bernama Rukun Pewaras itu.
“Kadang orang memanggil kita Sebanjir, karena memang asal-usulnya dari nama
itu”, ujar Adi Sutipno.
Kelompok Wayang Topeng yang jumlah personilnya
kira-kira 30 sampai 40 orang itu hingga kini masih ramai tanggapan dengan
durasi pentas rata-rata sekitar dua kali setiap bulan. “Tapi tergantung musim.
Kalau musim kemarau ya bisa lima kali sebulan, karena ketika itu kan banyak
yang mengadakan acara seperti kawinan atau selamatan lainnya, “ kata Sutipno.
Mereka juga mematok harga sesuai dengan kebutuhan dan lokasi pementasan. “Rata-rata
empat sampai lima juta. Tetapi jika jauh dari Madura, ya harus menambah biaya
transportasi dan akomodasi,”imbuh Sutipno.
Pertunjukan Wayang Topeng Sumenep ini adalah
pementasan semalam suntuk yang biasanya berlangsung dari pukul delapan malam
hingga pukul tiga dini hari. Secara umum, urut-urutan pentas dari Wayang Topeng
Sumenep ini adalah diawali dengan musik gending serta vokal lagu pembuka yang
dimainkan saat layar masih tertutup. Sesudah itu tarian kreasi sendiri yang
kadang ditarikan oleh anak-anak atau remaja putri. Sesudah itu tari Gambuh
Pamungkas, disusul dengan tari Kelono Tanjong Seto yang merupakan tarian
pembuka cerita. Sesudah itu baru masuk ke inti cerita.
Dalam Wayang Topeng Sumenep, menurut Adi Sutipno,
para wayang yang memainkan inti cerita harus laki-laki. Jika ada peran-peran
perempuan, maka yang memainkannya adalah laki-laki. Namun khusus untuk
tari-tarian, para perempuan dapat melakukannya. “Ini sudah turun temurun
seperti ini, dan kami tidak ingin melawan pakem yang ada,” ungkap Sutipno.
Rukun Pewaras memang mencoba tetap melestarikan
berbagai pakem dalam Wayang Topeng yang diturunkan dari leluhurnya itu. Tetapi
mereka tidak tertutup terhadap berbagai inovasi yang dianggap bisa menambah
rasa keindahan pada seluruh pertunjukan Wayang Topeng itu. Misalnya saja
berbagai inovasi gerak dan musik pada tari-tarian yang dibawakan sebelum masuk
pada inti cerita.
Hingga kini, kelompok seni yang 80 persen
anggotanya adalah petani itu, tetap eksis walau harus bersaing dengan berbagai hiburan
instan di televisi. Namun Sutipno tetap optimis, bahwa apa yang ia lakukan
sekarang, dengan melakukan regenerasi dan memperkenalkan pada generasi muda,
misalnya saja kepada anak, cucu dan keponakannya, masa depan Wayang Topeng
Sumenep masih cukup cerah.
3. Teater Kampung
Seni Banyuning (Singaraja, Bali)
Teater Kampung Seni Banyuning adalah kelompok
teater berideologi kampung yang disutradarai oleh Putu Satria Kusuma. Kelompok
ini berada di dusun Banyuning, Singaraja, Bali.
Sebelum bergelut dalam Teater Kampung Seni Banyuning, Putu Satria yang asal Banyuning ini, sempat merantau selama satu tahun ke Denpasar dan berguru kepada berbagai sanggar teater serta dedengkot teater di Denpasar. Salah satunya adalah Sanggar Putih.
Kemudian, Putu Satria melanjutkan pengembaraannya
dan pergi melanglang buana ke berbagai daerah. Namun karena satu dan lain hal,
ia kembali lagi ke asal muasalnya di Singaraja. Ia kembali ke Banyuning pada
tahun 1996.
Tepat ketika ia kembali ke Banyuning, ia bertemu
kembali dengan kawan-kawannya yang mantan pemain Drama Gong. Ketika itu, Drama
Gong sudah tidak laku lagi, sehingga orang-orang yang sempat berkecimpung di
dalamnya berupaya menciptakan sebuah wadah agar mereka bisa berkesenian lagi.
Oleh karenanya, sejumlah mantan pemain Drama Gong itu mendirikan Teater Kampung
Seni Banyuning tepat pada 30 Maret 1996.
Karena kelompok ini belum memiliki sutradara dan
penulis, Putu Satria Kusuma didaulat menjadi sutradara sekaligus penulis dalam
komunitas ini. Putu Satria juga kemudian yang mendesain ideologi serta arah
gerak dari teater ini.
Terinspirasi oleh sejumlah teater yang berideologi
kemiskinan, Putu Satria lalu memilih Teater Kampung sebagai ideologi untuk
komunitas barunya itu. Ideologi ini berarti bermain apa adanya, semua kalangan,
siapapun dia bisa ikut bermain, gampang serta naif. Jika diibaratkan dengan
lukisan, ia mengibaratkan teaternya ini seperti lukisan mural. Ia ingin
teaternya ini bisa dilihat siapa saja, tidak berjarak, tetapi pada titik
tertentu memiliki keindahan yang luar biasa.
Dengan pemilihan ideologinya itu, Putu Satria merasa
menemukan padanannya pada kisah-kisah tradisional, khususnya Bali. Hal itu
sangat beralasan karena ia dan komunitas teaternya ini lahir dan dibesarkan
dalam latar kultur Bali. Walaupun demikian, Putu Satria tidak ingin terpaku
dalam kisah-kisah tradisional saja, ia juga ingin mencipta karya-karya yang
bisa merespon apa yang ada, “Harus dikatakan untuk merespon keadaan,” ujarnya.
Diantaranya adalah kisah Cupak Tanah yang
terinspirasi dari kisah rakyat Bali, Cupak Gurantang. Kisah ini bercerita
tentang dua orang kakak beradik yang memiliki sifat berlawanan, yaitu jahat
versus baik. Cupak bersifat jahat dan
Gurantang bersifat baik. Untuk merespon keadaan yang ada di Bali ketika itu,
Putu Satria mencipta sebuah skenario berjudul Cupak Tanah. Lewat skenarionya
serta pementasan Teater Kampung Seni Banyuning, ia ingin merespon keadaan Bali,
yang ketika itu tanah-tanahnya sudah dikapling-kapling oleh para investor.
Ia melihat para investor itu sebagai seorang serakah
yang terus memakan tanah tanpa basa-basi seperti layaknya tokoh Cupak yang
jahat serta serakah. Akibatnya, pertanian Bali semakin habis dan rakyat Bali
yang mengandalkan pertanian sebagai sumber hidupnya semakin tersingkirkan.
Komunitas Teater Kampung ini beranggotakan siapa
saja yang ingin benar-benar berkesenian secara apa adanya. Siapa saja bisa
menjadi anggotanya, sesuai dengan spirit serta ideologi Teater Kampung itu.
Bagi Putu Satria untuk Teater Kampung Seni Banyuning, yang penting bukan sejauh
mana teater ini tampil bagus, tetapi sejauh mana teater ini bisa benar-benar
ada dan merespon keadaan.
4. Akar
Cangih (Tabanan, Bali)
Akar Cangih adalah kelompok kesenian Arje yang
tampilan dan pertunjukannya di atas pentas cukup berbeda dari kelompok-kelompok
pengarjen lainnya. Akar Cangih telah mengadaptasi jaman, sambil tetap terus
berjalan pada track tradisi Arje
sesungguhnya.
Ketika saya mengunjungi rumah sekaligus sanggar
Akar Cangih di Tabanan, Bali, saya sempat berbincang sejenak dengan pimpinan
dari Akar Cangih, Bli Putu Purnawan. Menurut Bli Putu Purnawan, kesenian Arje
adalah kesenian tradisi Bali yang sudah hidup sejak jaman kerajaan. Konsep awal
dari kesenian Arje ini memang untuk menghibur Raja-Raja.
“Namun, mengikuti perkembangan jaman, Arje semakin
berubah dan berkembang,” ujar Putu Purnawan. Dalam tradisi klasik, segala
sesuatu yang ada dalam Arje menggunakan tembang-tembang. Misalnya saja dalam
sebuah adegan bisa ada 10 baris tembang. Lalu, karena jaman telah bergerak dan masyarakat
penonton Arje tidak lagi hanya Raja-Raja, 10 baris itu bisa dipotong menjadi 4
sampai 5 baris.
Termasuk pada alat musik yang digunakan. Dalam
tradisi Arje klasik, alat musik yang digunakan masih menggunakan alat musik
tradisi Bali, seperti geguntangan dan semuanya terbuat dari bambu. Tetapi,
dalam tradisi Arje Akar Cangih, musik pengiringnya telah berkolaborasi dengan
sejumlah budaya di luar Bali, misalnya saja menggunakan kendang Sunda. Alat
musik modern pun turut diadopsi. “Akar Cangih juga menggunakan keyboard,
mungkin hampir seperti campur sari di Jawa,” Selain itu, mereka juga
mengembangkan gamelan warna Bali yang daunnya 12.
Tetapi, lagu-lagu yang digunakan memang masih
tradisi Bali. “Kita hanya berinovasi dan mencoba memberikan apa yang diinginkan
masyarakat, yaitu hibura. Karena kalau kembali ke masa lampau, bisa-bisa
ditinggal penonton,” ucap Putu Purnawan. Menurutnya, masyarakat sekarang jarang
yang mau berpikir jika melihat acara pertunjukan, kebanyakan memilih untuk
benar-benar terhibur, tertawa lalu pulang ke rumah masing-masing.
Merespon keadaan ini, Akar Cangih lalu benar-benar
memfokuskan diri pada segmen lawakan dari seni Arje itu sendiri. Di Akar
Cangih, pemainnya hanya lima orang dan peran-peran yang dimainkan adalah
peran-peran yang mengundang tawa. “Cerita memang masih ada, misal cerita
kerajaan-kerajaan Bali atau Majapahit, tetapi yang diambil hanya dasar-dasarnya
saja. Kemudian pada saat pementasan semua akan berkembang sesuai dengan situasi
panggung,” papar Putu Purnawan.
Menurut Putu Purnawan, Akar Cangih memang
sunguh-sungguh teater tradisi, karena mereka tidak sama dengan teater modern
yang menggunakan skenario untuk mengatur alur pementasan. “Akar Cangih bermain
sesuai dengan kondisi yang ada, berinteraksi dan berdialog dengan penonton
serta situasi yang sedang berlangsung,” ujarnya.
Kelompok yang terbentuk 12 tahun lalu ini merupakan
sinergi dari lima orang itu yang tidak bisa dipisahkan lagi. Nama Akar Cangih
sendiri adalah gambaran kesolidan itu. Akar dipilih karena dianggap
representatif dengan laki-laki, dan Cangih adalah pohon berduri yang tumbuh di
sungai. Awalnya kelima lelaki ini berasal dari kelompok Arje berbeda dan
memutuskan membuat sebuah kelompok Arje yang mampu menghibur masyarakat.
Lalu sejak tahun 2001, Akar Cangih pun mulai
dikenal. Karena inovasinya yang mengekspos Arje pada lawakan saja, Akar Cangih
pun laris tanggapan. “Hingga kini sebulan kami bisa 20 kali pentas, bahkan bisa
25 kali,”ujar Putu Purnawan. Dan dalam sekali pentas Akar Cangih mematok harga
enam juta rupiah, dan itu bisa berubah tergantung lokasi serta berbagai
kesepakatan yang ada.
I Putu Purnawan (photo by Lucia Dianawuri) |
5. Sanggar
Kartika Chandra, Teater Cupak-Gurantang (Bayan, Lombok, NTB)
Masyarakat Sasak di Bayan, Lombok, NTB adalah sebuah
komunitas adat Nusantara yang masih kuat mempertahankan adat istiadat, termasuk
seni tradisinya. Salah satu seni tradisi yang masih kuat mendarah daging di
kalangan mereka adalah teater tradisional
berlakon Cupak-Gurantang.
Di dusun Labang Kara, desa Sukadana, Kecamatan
Bayan, Kabupaten Lombok Utara, terdapat sebuah kelompok teater tradisi
Cupak-Gurantang bernama Kartika Chandra. Salah seorang anggotanya, Raden
Srigede mengatakan, Kartika Chandra sendiri memiliki arti “Karena takwa kita
aman, karena anggaran desa kita aman”. Jadi kelompok seni ini sebenarnya adalah
sebuah Banjar Patuhangan yang memiliki fungsi sosial juga budaya.
“Berbagai hasil tanggapan Kartika Chandra akan
digunakan untuk pengembangan organisasi Banjar, membantu jika ada musibah, juga
sebagai bentuk gotong royong antar sesama warja Banjar,” papar Raden Srigede. Organisasi
ini sendiri lahir sekitar tahun 1980-an. Lalu pada tahun 1997, para anggota
Banjar berpikir, untuk membuat sebuah kelompok seni yang selain bertujuan
sosial, juga bertujuan pelestarian budaya Sasak.
“Cupak-Gurantang itu kisah khas orang Bayan, walau
di Bali juga ada kisah ini. Tetapi jika mendengar kisah dari orang tua dulu
secara turun-temurun, kisah ini telah ada ratusan tahun di kalangan masyarakat
Sasak, Bayan,” ujar Raden Srigede. Oleh karena itu, mereka yakin bahwa kisah
ini adalah memang kisah legenda orang Sasak.
Cupak-Gurantang sendiri secara umum berkisah
tentang pertempuran antara jahat dan baik. Bagaimana sifat-sifat kemanusiaan
yang umum itu diwakili oleh dua kakak beradik ini. Sifat jahat, culas, penakut
serta serakah diwakili oleh Cupak. Sementara sifat baik, pemberani, dan tulus
diwakili oleh Gurantang. Dalam pertunjukannya, karakter-karakter ini direpresentasikan
oleh topeng yang digunakan para aktor dan penari di atas pentas.
Walaupun lakonnya hanya itu-itu saja, kisah ini
masih terus digemari oleh masyarakat Sasak pada umumnya. “Anak kecil di Sasak
pun sudah tahu urut-urutan kisahnya,” ucap Raden Srigede. Ini terbukti dari
besarnya minat masyarakat di sekitar Sukadana untuk menanggap Kartika Chandra
dalam sejumlah perhelatan. “Kami bahkan seringkali menolak tawaran pentas”,
imbuh Raden Srigede.
Minat yang besar dari masyarakat Bayan untuk menyaksikan
Cupak-Gurantang ini adalah salah satu bukti, kuatnya adat tradisi yang masih
mengikat masyarakat Bayan. “Walau gempuran televisi sudah mulai melanda, namun
seni-seni tradisi, semacam Cupak-Gurantang ini masih bisa , unjuk gigi,” ujar
Raden Srigede.
Dalam setiap pementasannya, Kartika Chandra
berusaha menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di tempat pementasan.
Mereka akan mengikuti keinginan penanggap dan cerita bisa saja berkembang
sesuai dengan situasi di lapangan pertunjukan. “Selain itu, kami juga
menyesuaikan dengan kemampuan kami sendiri,” papar Raden Srigede. Dalam setiap
pementasan dari pukul 8 malam hingga subuh menjelang, Kartika Chandra mematok
tarif 4 sampai 5 juta, tergantung lokasi dan kesepakatan. “Tetapi jika mereka
menginginkan lebih dan ada penambahan-penambahan, maka bisa sampai 10 juta,” ucap
Raden Srigede.
Dengan penari dan aktor berjumlah 13 orang serta
pemusik berjumlah 24 orang, Kartika Chandra menyebut teater Cupak-Gurantang
mereka adalah versi yang menghibur, karena mungkin ada berbagai detil yang
tidak sesuai pakem. “Yang benar-benar asli mungkin masih hidup di Bayan Belik,
tempat pemangku adat masyarakat Sasak tinggal,” ucap Raden Srigede.
Raden Dedi Setiawan - salah satu pemusik di Kartika Chandra (photo by Lucia Dianawuri) |
6. Pepaosan
(Bayan, Lombok, NTB)
Pepaosan adalan seni tutur lisan khas orang Sasak
di Bayan, Lombok, NTB. Pepaosan ini sudah hadir ratusan tahun seiring dengan
lahir dan tumbuhnya nenak moyang masyarakat Sasak. Ia dituturkan turun temurun
oleh leluhur orang Sasak, dilestarikan lewat tutur oleh para pemangku adat
Sasak dan direproduksi terus menerus oleh sebagian orang Sasak yang memiliki
keinginan kuat mempelajari tradisi leluhur.
Memang tidak semua orang bisa melakukan seni tutur
ini. Untuk melakukannya, seseorang harus mampu membaca lontar yang masih
tertulis dalam bahasa Kawi. Di Bayan, yang bisa melakukan hal itu diantaranya
bernama Amaq Jamali (81 tahun), Amaq Irbayan (76 tahun) serta Singadi (37
tahun).
Ketiga orang ini sering dipercaya serta ditanggap
dalam berbagai ritual adat masyarakat Bayan untuk melakukan pepaosan. Pepaosan
memang harus ditampilkan dalam sejumlah ritual adat masyarakat Bayan. Seni
tutur ini menjadi begitu penting, karena ia berisi petuah-petuah leluhur, juga
kebijaksanaan-kebijaksanaan leluhur yang berisi pesan moral leluhur kepada para
penerusnya.
Ketiga orang ini tidak tampil sendiri-sendiri.
Mereka tampil bersama dengan peran yang masing-masing. Amaq Jamali berfungsi
sebagai Pujangga. Ia menjadi tokoh utama dan penting dalam pepaosan ini, karena
ia yang menceritakan secara lisan seluruh kisah dalam lontar yang dibacakan. Lalu
Amaq Irbayan menjadi pembaca lontar, sementara Singadi menjadi pendukung yang
mengiringi seluruh proses pepaosan itu.
Menurut Amaq Jamali, kemampuan membaca lontar
serta mengerti lontar itu bukan sesuatu
yang diturunkan tiba-tiba. Semua orang Sasak bisa menjadi Pujangga dalam
pepaosan. Hal itu bisa diraih asal mereka mau belajar membaca lontar dengan
bahasa Kawi itu. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Amaq Irbayan yang
mengajarkan anaknya, Singadi, untuk membaca lontar. “Dulu ayah saya juga
melakukan hal yang sama kepada saya,” ucap Amaq Irbayan. Itu dilakukan ayahnya
semata-mata karena ia ingin melestarikan tradisi leluhur, dan itu pula yang ia
inginkan ketika ia mengajarkan lontar kepada anaknya.
Pepaosan yang dilakukan dalam sejumlah ritual adat
masyarakat Sasak, seperti adat potong gigi, perkawinan ataupun sunatan, dilakukan
selama semalam suntuk. Pada masyarakat Jawa, mungkin agak mirip dengan seni
nembang. Bertutur sambil bernyanyi. Saat bertutur, ketiga orang ini tidak
diiringi oleh alat musik. Mereka hanya menggunakan instrumen mulut sebagai
sarana pengiring tutur.
Properti yang digunakan pun amat sederhana. Ketiga orang
ini akan mengenakan kostum khas Sasak yaitu kain londong (dari pinggang ke
betis), sabuk (rejasa), bertelanjang dada dan ikat kepala. Lalu mereka akan
duduk bersimpuh pada sebuah tikar pandan. Di depan mereka hanya akan ada sebuah
peti tempat penginang serta gulungan lontar.
Lewat seni pepaosan ini, kesederhanaan masyarakat
pendukungnya, yaitu masyarakat Sasak yang sebagian besar bekerja sebagai petani
dan nelayan, tergambar begitu jelas. Selain itu kuatnya tradisi mereka yang
masih memegang kepercayaan leluhur, yaitu Wetu Telu, juga tergambar dengan
indah dalam segala tutur yang dilisankan oleh sang Pujangga.
7. Sanggar
Gerugiwa (Ende, Flores, NTT)
Di sebuah desa bernama Detusoko, berjarak sekitar
30 km dari Gunung Kelimutu di Kabupaten Ende, Flores, NTT, hiduplah sekelompok
manusia Lio yang multitalenta. Mereka pandai menyanyi, menari dan bermain
teater. Manusia-manusia ini bersama-sama tergabung dalam sebuah sanggar bernama
Gerugiwa.
Menurut Donatus Male, pembimbing sangar ini,
Gerugiwa dipilih menjadi nama karena berbagai sifat unik yang melingkupinya.
“Gerugiwa adalah adalah sejenis burung yang konon katanya hanya hidup di
sekitar Gunung Kelimutu”, ujar Donatus. Burung ini memiliki 40 suara yang
berbeda. Dan, konon, setiap orang yang mendengar suara burung itu adalah suara
Gerugiwa yang dibutuhkan atau diinginkan oleh orang yang bersangkutan.
Gerugiwa yang unik ini hidup di sekitar hutan
khususnya pohon kayu, “Kalau menurut bahasa Lio Kodokaju kana leka kodo kada
atau istana untuk burung Gerugiwa”, imbuh Donatus. Walaupun orang-orang bisa
mendengar suaranya, keberadannya secara kasat mata sulit untuk dilihat dan
tidak semua orang bisa melihat Gerugiwa. Oleh karena keunikan serta ruang
hidupnya yang hanya berada di Ende, Kelimutu khususnya, Gerugiwa dipilih
sebagai nama sanggar yang diharapkan dapat menjadi representasi orang-orang
multitalenta dalam sanggar itu.
Sanggar ini secara resmi terbentuk pada tahun 2002,
ketika orang-orang di Detusoko ini dipercaya untuk mengikuti festival seni di
kabupaten Ende. Saat mengikuti festival itu, mereka mendapat predikat peserta
terbaik. Dan prestasi mereka tidak berhenti sampai di situ. Berbagai predikat
peserta terbaik pun berturut-turut mereka dapatkan. Bahkan mereka telah
dipercaya untuk mewakili kabupaten Ende berlaga di tingkat propinsi dalam
sebuah festival seni. Di tingkat propinsi yang diadakan di Kupang itu pun,
Sanggar Gerugiwa mendapat predikat peserta terbaik.
Prestasi ini merupakan oase di tengah keterbatasan
orang-orang di desa Detusoko ini. Dengan keterbatasan yang ada, kreatifitas pun
diuji. Untuk latihan mereka menggunakan metode berkeliling. Mereka kadang
berlatih dari kampung ke kampung, di lokasi adat dan kadang di kantor
kecamatan. Ternyata keterbatasan itu memiliki nilai lebih. Latihan yang
berkeliling itu akhirnya dapat menarik massa dan peminat pada kesenian yang
mereka bawakan. “Banyak sekali anak muda yang antusias dan akhirnya ikut
bergabung dalam sanggar Gerugiwa,” ucap Donatus.
Selain tempat latihan, Sanggar Gerugiwa juga tidak
memiliki alat musik yang memadai. Seringkali ketika hendak latihan ataupun
pentas, mereka harus meminjam kepada persekutuan adat. “Yang jelas kami ini
benar-benar memanfaatkan potensi lokal yang ada,” ucap Donatus. Sebuah strategi
bertahan, yang harus dilakukan, di tengah keterbatasan yang mendera.
Salah satu cerita yang sering dipentaskan oleh
Sanggar Gerugiwa ini adalah Todo Pare.
Sebuah kisah tentang tradisi dan kebiasaan orang Lio ketika memasuki masa
panen. Saat panen tiba, setiap setahun dua kali, orang-orang Lio akan memanggil
kerabat, tetangga, juga kenalan untuk membantu mereka. Saat panen itu, padi
yang sudah dipotong dari tangkainya akan dinjak-injak bersama sampai padi itu
keluar dari bulirnya. Kegiatan ini akan memakan waktu sampai siang menjelang.
Saat ini mungkin tradisi ini sudah jarang terjadi karena banyak yang sudah
menggunakan mesin pemotong padi. Namun, dulu nenek moyang orang Lio masih
melakukan injak padi itu, dan mengenai tradisi ini masih tetap dilisankan
secara turun-temurun.
Saat mementaskan Todo Pare ini, seluruh personil Sanggar Gerugiwa akan menyanyi lagu
potong padi dalam bahasa Lio, menari dan beberapa akan bermain musik. Selama
lebih kurang 15 menit, para pementas yang berpakaian khas Lio itu benar-benar
mengeluarkan potensi lokal mereka, walau mereka tidak mendapat uang tanggapan,
seperti beberapa kelompok yang telah disebutkan dalam profil ini (Ludruk,
Wayang Topeng, ataupun sanggar Kartika Chandra).
Donatus Male (kanan) (photo by Karolus Naga) |
8. Mane Tuna
Lulik (Bapa Bob), Seni Tutur (Melaka), Timor, NTT)
Di Pulau Timor, tepatnya di Melaka Way Hali, adat
tradisi masih kuat dipegang oleh masyarakat pendukungnya. Mereka adalah salah
satu peradaban tua di Nusantara juga dunia. Jejak-jejak peradaban dari jaman
nenek moyang mereka, telah dituturkan seara lisan, turun temurun, hingga ke
jaman modern seperti saat ini.
Salah seorang penutur lisan yang sempat saya temui
adalah Bapa Bob yang bergelar Mane Tuna Lulik. Bapa Bob adalah seorang pemangku
adat Way Hali yang kini tinggal di Kupang, ibukota provinsi NTT. Walau ia tinggal
jauh dari pusat peradaban Way Hali, yang berada di Builaran (situs kerajaan Way
Hali sekitar 60 km dari Atambua), namun segala tugas adat dan tradisi leluhur
masih terus ia pegang teguh.
Menurut Bapa Bob, seni tutur lisan ada pada setiap
ritus kehidupan orang Way Hali. Salah satunya adalah ketika orang Way Hali
meninggal. Ketika itu pemangku adat akan menuturkan seluruh kisah kehidupan
yang mati saat ia dikuburkan. Bahkan sebelum pemangku adat menuturkan kisah
itu, keluarga tidak boleh menangis. Baru setelah pemangku adat menutur, para
keluarga boleh menangis. “Bahkan bagi orang Way Hali, adat itu lebih penting
dari peraturan apapun, termasuk agama,” ucap Bapa Bob. Jadi sebelum ia didoakan
secara adat, seorang Way Hali, tidak boleh didoakan secara agama.
Saat menutur, Bapa Bob tidak sendirian. Terutama
ketika seni tutur itu ia pentaskan dalam sebuah panggung. Bapa Bob akan
diiringi oleh tiga sampai empat orang pemusik yang akan mengiringi tuturan
lisannya dengan ukulele, ataupun tambur. Dalam kenyataan sehari-hari di Way
Hali, orang yang menutur bisa melakukan itu sendirian. Namun jika tujuannya untuk
pertunjukan dan hiburan, tuturan itu bisa dikreasi dengan lebih menarik.
Selain ritus kehidupan orang Way Hali,
cerita-cerita yang dituturkan bisa bermacam-macam. Misalnya saja mitos-mitos
kepahlawanan Melaka ataupun kisah mengenai terjadinya Melaka Way Hali. Sapaan-sapaan
adat Way Hali pun juga seringkali dituturkan. Hal ini memang sudah menjadi pola
umum masyarakat NTT, yang tradisi tutur lisannya masih amat kental bila dibandingkan
tradisi tulisnya.
Dalam setiap penuturan, Hase Hawaka atau tegur sapa
akan mengawali seni tutur itu. Dalam Hase Hawaka itu si penutur akan mempersilakan
yang melihat mengambil sirih pinang sebagai tanda hormat. Bahasa yang digunakan
untuk menutur adalah bahasa ibu orang Way Hali, yaitu bahasa Tetum. Dan jika
dituturkan dalam bahasa bukan Tetum, tentu akan mengurangi rasa serta makna
dari tuturan-tuturan yang disampaikan itu.
Menurut Bapa Bob, orang yang menjadi penutur lisan
dalam masyarakat Way Hali adalah orang-orang yang terpilih secara ritual serta
diturunkan secara turun temurun. Misalnya saja Ayah Bapa Bob adalah seorang
Makoan atau penutur juga. Ayahnya itu kebetulan seorang penyanyi yang hafal
banyak lirik lagu. Ayahnya lalu menurunkan tugas sebagai penutur lisan itu
kepada dirinya. Lalu selanjutnya, Bapa Bob akan menurunkan tugas tutur nya itu
kepada anak laki-lakinya.
Jika anak laki-lakinya kelak tidak memiliki anak
laki-laki, maka karena orang Way Hali menganut sistem kekerabatan matrilineal,
tugas tutur itu akan diturunkan kepada keponakan laki-laki anaknya itu. Dan ini
akan berlangsung terus menerus, turun temurun, hingga waktu yang tidak
berbatas.
Hingga kini, seni tradisi tutur dalam masyarakat
Melaka Way Hali ini masih terus lestari. Apalagi jika kita pergi ke daerah
tempat situs kerajaan Melaka Way Hali berada. Segala gempuran peradaban modern
yang ada di sekitarnya, menurut Bapa Bob, belum mampu menggeser adat tradisi
itu. Itu terjadi karena orang-orang Way Hali sedari masih dalam kandungan sudah
ditutur secara lisan oleh nenek moyang mereka sendiri.
9. Wayang
Bocor, Eko Nugroho (DIY)
Mane Tuna Lulik / Bapa Bob (photo by Lucia Dianawuri) |
Eko Nugroho adalah seorang perupa asal Yogyakarta
yang terkenal dengan proyek ‘Dagingtumbuh’ –nya. Dagingtumbuh adalah sebuah
proyek seni rupa yang berangkat dari keinginan Eko untuk mencipta sebuah ruang
pamer alternatif yang terjangkau oleh berbagai kalangan. Keinginannya ini kemudian
ia wujudkan dalam sebuah komik berjudul Dagingtumbuh.
Komik alternatif itu membuka ruang sebesar-besarnya
bagi para seniman rupa yang tidak memiliki akses mudah ke Galeri. Karena bagi
Eko, komik sejatinya juga sebuah galeri. Galeri yang dimaknai sebagai sebuah
ruang bagi para seniman untuk menampilkan karya kepada khalayak. Proyek Daging
Tumbuh yang ia mulai pada tahun 2000 itu bisa dikatakan sebagai langkah awal
Eko menembus dunia seni rupa di Yogyakarta, Indonesia bahkan internasional.
Kemudian pada tahun 2008, Eko mencoba
mengeksplorasi media-media ekspresi lainnya. Ia berkolaborasi dengan sejumlah
seniman yang memiliki ruang kerja berbeda. Latar kultur Jawa yang begitu kental
menginspirasi Eko untuk menggunakan media wayang sebagai ranah ekspresi barunya
itu. Ia lalu menghidupkan tokoh-tokoh komiknya, mereka ulang, dan mereproduksi
bersama, sebuah konsep teaterikal, semacam pertunjukan wayang kulit, yang
familiar pada peradaban Jawa. Ia pun menyebut proyek ini sebagai Wayang Bocor.
Wayang Bocor memang bukan Eko Nugroho semata. Ia
adalah karya pertunjukan kolaboratif yang menyatukan keahlian kreatif seniman
individual Yogyakarta dan disiplin artistik yang berbeda. Mereka adalah Ki
Catur Kuncoro yang berprofesi sebagai dalang, Yennu Ariendra, seorang komposer
musik, Gunawan ‘Cindhil’ Maryanto seorang sutradara dan penulis serta Eko
Nugroho sendiri yang mereka kembali tokoh-tokoh komiknya dan mengaplikasikannya
dalam media serupa wayang kulit.
Berikut para kolaborator yang membuat Wayang Bocor
menjadi satu pertunjukan teater yang sinergis dan harmonis.
Ki Catur Kuncoro adalah seorang dalang muda yang
kerap bereksperimen memadukan seni-seni tradisi dengan ranah kontemporer. Ia
sering terlibat dalam berbagai proyek seni
sejumlah seniman dari latar berbeda. Misalnya saja ia sempat bekerjasama
dengan kelompk Kua Etnika, Acapella Mataraman serta komposer Amerika Vincent
McDermott dalam sebuah opera kontemporer Indonesia. Ki Catur menyelesaikan
studi formalnya di Sekolah Menengah Seni Rupa dan melanjutkannya ke Studi
Pedalangan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Yennu Ariendra adalah musisi otodidak yang memulai karir musiknya ketika ia bergabung
dengan Melancholic Bitch (band independen Indonesia) pada tahun 2000. Komputer
adalah instrumen utama Yennu berkreasi dalam musik. Dengan komputer pula ia
bereksperimen mencipta musik berbeda serta baru di telinga. Selain teater,
Yennu juga terlibat dalam projek-projek lain seperti tari, happening art,
puisi, film dan animasi.
Ignatius ‘Clink’ Sugiarto adalah seorang seniman
cahaya yang tergabung dalam Teater Garasi. Kepiawaiannya dalam memainkan
cahaya, telah membuat Clink terlibat dalam berbagai proyek yang membutuhkan
eksplorasi cahaya pada panggung pertunjukan.
Dan kolaborator yang terakhir adalah Gunawan
‘Cindil’ Maryanto yang bekerja di Teater Garasi sebagai salah satu sutradara
sekaligus sebagai penulis naskah. Cindil juga aktif menulis cerpen dan puisi.
Selain itu, bersama dengan Ki Slamet Gundono, ia menciptakan Wayang Air Suluk
Air (Banyu, Isun Takon: Apa Sira Punya Ibu?) di Jakarta pada tahun 2003 dan
Suluk Air II: Mbok, Sira Lihat Keong Kumambang (di Festival Wayang
Internasional, Jakarta 2006).
Dalam pertunjukannya yang berdurasi dua jam,
khalayak diajak untuk berefleksi bersama tentang kondisi kekinian yang terjadi
dalam masyarakat kita. Dalam Wayang Bocor karakter-karakter wayang klasik
digantikan dengan karakter-karakter dari tokoh komik Eko Nugroho yang merupakan
pembacaan Eko atas situasi sosial kontemporer. Dengan gaya penceritaaan yang
cenderung sarkasme disertai dengan humor-humor gelap yang menyentil, Wayang
Bocor mencoba mengajak masyarakat penonton, melihat kondisi kekinian masyarakat
Indonesia yang semakin biasa saja dengan budaya kekerasan.
Selama pertunjukan, penonton seperti dibawa ke
ranah kontemporer yang berpadu dengan prinsip-prinsip seni tradisi. Media layar
dengan pencahayaan spektakuler dan kreatif, bayangan-bayangan yang tercipta,
musik-musik digital ketimbang tradisional, gaya bertutur dalang yang
blak-blakan serta kreatifitas spontan ala teater rakyat di panggung
pertunjukan, merupakan elemen pertunjukan Wayang Bocor yang membuat sejumlah
judul pementasannya seperti Perseteruan Getah Bening, Bungkusan Hati di Dalam
Kulkas atau Skandal Jeruk Perut, membuat pertunjukan wayang kontemporer ini
menarik untuk disimak.
Berlian Ajaib (photo by Wayang Bocor) |
10. Seni Teku, DIY.
Teku adalah sebuah komunitas
seni dengan bidang utamanya teater. Selain teater, komunitas ini juga merambah
bidang seni dan budaya lainnya yang masih berhubungan dengan teater, baik
hubungan yang tercipta secara kultural, maupun hubungan yang sengaja diciptakan
untuk kepentingan proses kreatif penciptaan teater.
Komunitas Seni Teku didirikan di
Yogyakarta oleh Pranorca Reindra dan Ibed Surgana Yuga pada 1 Maret 2005. Setelah
produksi kedua, yaitu Dongeng (yang Tak
Pernah Diceritakan), Rare Angon
dan Lubangkuri (sebuah prolog), yang
dipentaskan di lima kota di Jawa Timur dan Bali, disepakati untuk membentuk
sebuah komunitas yang diberi nama Seni Teku. Kata “teku” sama sekali tidak
memiliki makna secara semantik. Ia hanya kumpulan huruf yang membentuk bunyi
yang sesuai dengan gambaran komunitas Seni Teku dengan segala kompleksitas di
dalamnya.
Cerita-cerita yang dikisahkan
oleh Seni Teku adalah sepenuhnya eksplorasi komunitas ini terhadap berbagai
aspek dan bentuk folklor serta sastra klasik Nusantara. Lewat folklore,
komunitas ini merasa lebih bisa berkomunikasi secara lebih lapang kepada publik
(atau publik bisa dibahasakan menjadi rakyat [folk]). Bagi mereka, teater haruslah
lebih dekat dengan publik. Teater harus bisa menjadi refleksi dari kehidupan
rakyat itu sendiri. “Dengan mengenali idiom-idiom rakyat dengan baik, adalah
sebuah cara untuk berbicara, berekspresi, dan merengkuh makna kehidupan rakyat
menjadi basis bagi kehidupan teater”, ucap Ibed.
Dalam berekspresi di medan
pertunjukan panggung, Seni Teku memadukan berbagai elemen baik modern maupun
tradisional. Di tahun-tahun awalnya, mereka lebih banyak menggunakan musik
MIDI, namun kini eksplorasi terhadap musik tradisi makin kerap dilakukan.
Dengan semangat lebih dekat kepada publik, Seni Teku menggarap karyanya dengan
konsep “mengakrabi ruang”. Itulah sebabnya berbagai pertunjukan teater Seni
Teku banyak digelar di tempat-tempat yang tidak dirancang khusus untuk
pertunjukan, seperti kebun, candi, gubug, lapangan, kubangan, halaman rumah,
warung angkringan, bangunan yang tak terpakai, dan sebagainya. Pilihan tempat
pertunjukan semacam ini juga menjadi salah satu sikap “menerima” sekaligus
kritik terhadap kondisi infrastruktur pertunjukan yang tidak memadai di
Indonesia.
Dari segi keanggotaan, Seni Teku
merupakan komunitas yang terbuka dan tidak mengikat anggota-anggotanya. Semua
orang bisa masuk dan keluar komunitas, namun mesti dilandasi dengan komitmen
dan visi yang jelas. Visi dan komitmen tersebut merupakan hal utama yang
melandasi seseorang bergabung atau diterima dalam Seni Teku. Skill dalam berteater tidak diutamakan.
Anggota yang tercatat sekarang adalah 12 orang.
Saat berpentas, Teater Seni Teku
berusaha membaca situasi penonton Indonesia yang tidak suka berlama-lama dan
lebih suka segala sesuatu yang praktis dan instan. Oleh karena itu, selama ini
durasi pementasan Seni Teku berkisar antara 30 sampai 90 menit. Seni Teku
dengan sengaja merancang pertunjukan yang berdurasi tidak melebihi 1,5 jam.
Jika lewat dari waktu 1,5 jam itu, maka biasanya penonton seringkali tidak
jenak, dan waktu dalam pertunjukan yang seharusnya digunakan untuk menikmati
atau memaknai pertunjukan akan hilang sia-sia. Oleh karena itu, Seni Teku
benar-benar menghindari pertunjukan yang
berlama-lama, apalagi bertele-tele.
Brungkat (photo by Seni Teku) |
Comments