Di perjalanan kemarin saya bertemu rupa-rupa manusia dengan beragam spiritualitasnya. Saya bertemu manusia-manusia panggung yang hidup dan jiwanya menjadi penuh ketika berpentas di sebuah panggung pertunjukan. Manusia-manusia seni yang spiritualitasnya berpusat pada rasa, lalu menginterpretasikannya dalam sebuah pementasan.
Perjalanan kemarin ternyata membawa saya pada ranah-ranah permenungan. Sebuah waktu renung yang terjadi karena ruang dan waktu memaksa saya melakukannya. Untuk sampai pada tujuan, mau tidak mau saya harus duduk di dalam bis,mobil, pesawat, kereta bahkan motor berjam-jam, melihat pemandangan di luar jendela yang sama sekali baru, bertemu dengan wajah-wajah serta persona baru.
Momen-momen itu (menunggu sampai tujuan) telah memberi banyak ruang kepada otak saya untuk mengaduk-aduk hal yang saya lihat serta saya alami. Momen-momen itu juga telah membuat saya memiliki waktu untuk meresapkannya ke dalam batin.
Dan (tentu saja), yang paling memenuhi batin saya adalah bukan waktu-waktu kosong di jalan itu. Waktu-waktu itu adalah sepenggal kecil dari momen renung di perjalanan. Penggalan besarnya adalah kesempatan bertemu dengan banyak manusia luar biasa di lima pulau yang berbeda.
Di setiap pulau saya belajar dari para manusianya tentang “hidup yang penuh”. Bahwa menjadi bahagia adalah sebuah perayaan sederhana dari setiap kehidupan. Sebuah kesederhanaan yang sulit diraih. Untuk bahagia, cukup menjadi manusia yang penuh, dan untuk menjadi manusia yang penuh saya sendiri (tanpa ada orang lain-tanpa ada kemelekatan) harus bahagia terlebih dahulu.
Dari para manusia-manusia yang saya temui di perjalanan itu, saya belajar tentang cara sederhana untuk menjadi manusia yang penuh, lalu akhirnya menjadi manusia bahagia. Di Jombang, saya bertemu para seniman ludruk yang menjadi bahagia ketika mereka ngeRemo di atas panggung, atau berJula-Juli membuat khalayak terbahak. Di Madura saya belajar tentang kebahagiaan untuk melestarikan warisan leluhur. Di Surabaya saya belajar tentang kejujuran yang berani dari seorang perempuan.
Di Bali saya belajar tentang hidup yang penuh lewat ekspresi teater kampung yang apa adanya, seni Arje dari para seniman yang jenaka, serta persahabatan tulus dan kehangatan sebuah keluarga di Ubud. Di Bayan saya belajar bahwa kebahagiaan adalah berkumpul bersama dengan kerabat sambil minum tuak atau membaca lontar wejangan leluhur. Di Flores saya belajar tentang hidup yang penuh bukan tidak bisa diraih dalam keterbatasan. Di Timor saya belajar tentang kepenuhan lewat tuturan nasehat orang tua, kebaikan terhadap sesama, serta alam semesta. Dan di Jogja saya belajar tentang menjadi diri sendiri.
Perjalanan kemarin adalah sebuah pertemuan dengan diri saya sendiri. Sebuah perjalanan yang membantu untuk menyusun kembali spiritualitas batin saya. Lewat para seniman pertunjukan itu, juga para manusia-manusia luar biasa lainnya yang saya temui, saya diingatkan bahwa kebahagiaan adalah sebuah “ilusi” yang bisa saya ciptakan sendiri. Lewat rasa batin yang penuh, maka bahagia bisa menjadi penuh juga.
semoga di 2013 dan seterusnya
Comments