Wajah lelaki berjenggot itu ada dimana-mana. Di kaos-kaos kelas pinggir
jalan, distro hingga kelas Plaza. Di pin-pin yang tertempel di dada aktivis
hingga bocah ABG yang baru belajar bilang “I Love You”, di poster-poster yang
terpampang di kantor-kantor LSM, kamar kos mahasiswa hingga warung pecel. Wajah
itu juga mampir di botol minuman yang hampir setiap hari sudah seperti teman
seperjalanan saya. Gambar itu bukan gambar seorang nabi dari Timur Tengah yang
disebut Isa, Yoshua, Jesus atau Yesus. Lelaki itu adalah seorang pahlawan asal
Argentina yang berjuang untuk Kuba, Kongo sampai Bolivia. Lelaki itu bernama
Ernesto Rafael Guevara de La Serna atau terkenal sebagai “Che” Guevara.
Bagi banyak orang di berbagai belahan dunia, “Che” adalah sebuah simbol.
Simbol akan kebebasan juga pemberontakan dari kemapanan yang telah menghegemon.
Bahkan bagi banyak orang, “Che” bukan lagi hanya sesosok manusia, ia telah
menjadi semacam “icon”, dan kediriannya tidak lagi perlu dihadirkan secara
fisik. “Che” telah melebur dalam banyak rupa. Dalam bentuk ide, gagasan, kisah
pada berbagai buku, atau pada materi-materi yang menjadi semacam budaya pop.
Wajahnya telah direproduksi terus menerus. Baik oleh orang yang mengerti
akan perjuangannya, oleh banyak orang yang hanya mengagumi wajahnya, atau yang
tidak mengerti sama sekali. “Che” terus hidup, karena ia bukan semacam figur
banyak omong yang mengatasnamakan penderitaan rakyat untuk kejayaan namanya,
tetapi ia terus dihidupi, karena “Che” telah melakukan “bunuh diri kelas” yang
oleh Gramsci disebut sebagai intelektual tradisional menjadi seorang intlektual
organik. Che telah melompat dari menara gadingnya yang nyaman dan membenamkan
kakinya ke dalam kubangan lumpur. Ia berjuang untuk sebuah revolusi. Revolusi
atas nama rakyat dan bukan untuk dirinya sendiri.
“Che” Yang Marxis
Foster-Carter [1]
menyebut “Che” sebagai seorang neo Marxis. Peneliti senior di Leeds University
itu menganggap pemikiran “Che” tidak terpenjara oleh tafsiran resmi negara
maupun partai yang mengklaim diri beraliran komunis. “Che” berjuang tidak
dibawah bendera sebuah negara ataupun partai. “Che” menafsirkan Marxisme
sebagai sebuah ideologi untuk berjuang melawan ketidakadilan yang ada di depan
matanya. Bukan hanya ketidakadilan antara kelas pekerja ataupun pemilik modal,
tetapi juga berbagai ketidakadilan yang muncul akibat sebuah pemerintahan dan
sistem yang korup.
Sebelum berpanjang lebar soal “Che” yang Marxis itu, ada baiknya kita
menilik sejenak apakah Marxis atau Marxisme itu.
Marxisme?
Marxisme, lahir dari tulisan-tulisan seorang filsuf asal Jerman bernama
Karl Marx. Marx lahir di Trier (kini adalah Jerman) pada 5 Mei 1818. Ayah Marx yang
bernama Heinrich Marx adalah seorang pengacara di negara Prussia, sebelum
negeri itu pada akhirnya pada tahun 1867 menjadi bagian dari Konfederasi
Jerman. Setelah menyelesaikan sekolah di Bonn, Marx melanjutkan studi di
Universitas Berlin.
Selama masa studinya di Berlin, Marx amat dipengaruhi oleh filsafat
idealisme Georg Hegel (1770-1831). Ia juga amat dipengaruhi oleh kelompok
orang-orang muda radikal yang menamakan diri “Hegelian Muda”. Kelompok muda
radikal ini bermaksud menerapkan gagasan-gagasan Hegel guna melawan agama sebagai
lembaga yang tak ramah serta pemerintah Prussia yang dirasa sebagai
otoritarian. Pada tahun 1841, di usianya yang ke-23, Marx meraih gelar doktor
dalam bidang filsafat.
Tahun 1843, koran Rheinische Zeitung yang Marx pimpin di Cologne,
ditutup oleh pemerintah karena dinilai terlalu kritis. Ia pun pindah ke Paris.
Di Paris inilah Marx menikah dengan Jenny pada tanggal 19 Juni 1843. Di situ
pula ia bertemu dengan Frederick Engels, yang kelak akan menjadi sahabat
dekatnya sampai mati. Pada tahun 1845, Marx dan keluarga pindah ke Brussels.
Tiga tahun kemudian ia diusir karena pemerintah Belgia takut Marx akan
mendorong revolusi di situ. Marx lalu kembali ke Paris, lalu ke Rhineland,
namun di sana ia juga berbenturan dengan para penguasa setempat. Akhirnya pada
tahun 1849, Marx pindah ke London. Ia tinggal dan berkarya di kota itu sampai
meninggalnya, pada tanggal 18 Maret 1883. [2]
Semasa Marx hidup, ia menyaksikan berbagai macam penderitaan dan
ketidakadilan yang muncul akibat sistem kapitalis. Pada saat itu revolusi
industri sedang bergelora pada belahan dunia dimana Marx berada. Marx melihat sistem
tersebut tidak dapat diepertahankan terus-menerus. Marx percaya bahwa semakin
melebarnya jurang pemisah antara para pemilik alat produksi dan buruh akan
melahirkan suatu “revolusi”, dan itu akan menjadi katalis bagi transformasi
masyarakat dari masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis. Berbagai
pemikiran Marx tersebut kemudian melahirkan paham yang disebut sebagai
Marxisme.
Dalam arti sangat luas, Marxisme berarti
ajaran Karl Marx, Marxisme dalam arti ini mencakup materialisme dialektis dan
materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial. Dalam arti agak
lebih sempit, sebagian orang memahami Marxisme sebagai sejauh menyangkut
materialisme historis.
Dalam arti sempit, Marxisme adalah kritik tajam terhadap kapitalisme.
Marxisme berpandangan bahwa sejarah adalah sejarah perjuangan kelas oleh
kelompok Proletariat melawan para Kapitalis menuju classless society
(masyarakat tanpa kelas).
Untuk memperjelas, secara lebih komprehensif, C. Wright Mills meringkas apa
yang menjadi asumsi dasar Marxisme :
1.Marx
adalah seorang moralis sekuler, seorang atheis yang menganggap semua agama
sebagai muslihat intelektual dan perangkap politik, sebagai sarana eksploitasi
psikis maupun fisik. Agama, menurutnya, menjauhkan manusia dari kesadaran-diri
yang sejati, dari kedudukan mereka dalam masyarakat, dan dari hasrat sejati
mereka sebagai manusia.
2.Marx
adalah seorang pemikir rasionalis: “meminta manusia supaya meninggalkan
ilusi tentang kondisi mereka, juga meminta agar kondisi yang membutuhkan ilusi
itu juga ditinggalkan”. Sampai akhir hayatnya Marx berusaha sebaik mungkin
mempraktekkan motto ini. Menurut Marx, manusia harus merasakan pengalaman-diri
sebagai manusia seutuhnya.
3.Marx
adalah seorang humanis sejati yang konsisten. Konsepsinya mengenai keterasingan
(alienasi) serta analisisnya mengenai pengaruh negatif dan koruptif uang
sebagai nilai utama masyarakat kapitalis telah membuktikan hal tersebut. Dalam
pandangan Marx, kondisi ini muncul karena rakyat jelata (proletar) begitu jauh
dari perlakuan manusiawi, sedemikian terasing dari fitrah sejati mereka
sampai-sampai mereka harus berjuang menuntut persamaan hak dengan sesama
manusia.
4.Marx
percaya akan kebebasan manusia, baik dari maupun dalam dirinya sendiri, sebagai
syarat untuk bisa digunakannya nalar manusia, oleh karena itu Marx mengecam
penyensoran pers. Marx juga berkali-kali berbicara mengenai dan demi “kebebasan
aktivitas manusia”.[3]
Pada perkembangannya Marxisme berkembang dan berkelindan dengan banyak
gagasan para pemikir yang terinspirasi oleh pemikiran Karl Marx. Seorang Guru
Besar Sosiologi Universitas Maryland AS, George Ritzer, mengidentifikasi enam
aliran neo-Marxis, yaitu:
(a) Determinisme ekonomis yang lebih banyak mengacu
pada penafsiran Engels terhadap pemikiran Marx, khususnya Marx sebagai kritikus
terhadap ekonomi politik kapitalisme di zamannya, (b) Marxisme Hegelian, yang
lebih banyak mengacu pada pengaruh pemikiran Hegel terhadap Marx (c) Teori
Kritis, yang berkembang dari mahzab Frankfurt yang lebih banyak memusatkan
perhatian pada perkembangan kapitalisme lanjut di bidang media dan budaya (d)
Marxisme struktural yang ingin membebaskan marxisme dari semua pengaruh Hegel,
humanisme, dan agency para aktor, (e) Sosiologi ekonomi neo-Marxis yang
menekankan analisis kelas terhadap disiplin itu, dan (f) Marxisme historis,
yang mengembangkan lebih lanjut teori-teori imperialisme yang dirintis oleh
Marx, Lenin, dan Rosa Luxemborg dalam kancah ekonomi global, seperti Immanuel
Walllerstein.
Sementara itu ada peneliti yang tidak menggunakan istilah neo-Marxis,
melainkan Marxisme Barat (Western Marxism). Salah satu peneliti itu adalah
Joseph Femia yang dalam bukunya tentang Marxisme abad ke-21 menggolongkan empat
aliran Marxisme Barat yakni (a) Marxisme Hegelian, (b) Mazhab Frankfurt, (c)
Marxisme Eksistensial oleh Jean-Paul Sastre dan (d) Marxisme Struktural.
Lorens Bagus membagi Marxisme dalam berbagai versi, yaitu:
1.Terdapat
suatu versi umum yang tertanam dalam pikiran orang banyak, tetapi
tesis-tesisnya tidak dianut oleh Marx maupun Engels[4], juga pengikut-pengikutnya.
Tesis-tesis ini meliputi:
(a) Materialisme dialektis. Dalam semua bagiannya
pada semua tingkat, kenyataan berlangsung melalui proses pertentangan
dialektis, dengan menggunakan pola tesis-antitesis-sintesi, yang melahirkan
kualitas-kualitas baru. (b) Komunisme primitif dan perjuangan kelas. Kendati
pada awalnya masyarakat ditandai dengan suatu kesatuan komunal primitif,
masyarakat telah berlangsung melalui sejumlah pertentangan awal sampai dengan
pertentangan puncak sekarang ini di antara kelas kapitalis di satu pihak, dan
kelas buruh di pihak lain. (c) Akhir proses ini mau tak mau akan berakhir
dengan penghapusan kapitalisme dan kemenangan kelas buruh. Dengan kemenangan
ini dialektika harus berakhir, karena masyarakat akan menghapuskan pertentangan
ini di dalam dirinya sendiri. (d) Merupakan hukum sejarah bahwa revolusi akan
terjadi pada tahap tertentu dari konflik kapitalis-proletariat. Maka revolusi
itu bersifat internasional, dan terjadi pada tahap tertentu masyarakat industrial.
(e) Kediktatoran proletariat. Dalam perjalanan menuju zaman harmoni yang
dijanjikan mesti ada suatu tahap yang timbul dimana proletariat harus memegang
pimpinan. Ini merupakan tahap yang memungkinkan ideologi kapitalis terbasmi
dari masyarakat lewat pendidikan. (f) Tergulingnya negara. Dengan adanya
perbaikan fungsi-fungsi, kepenindasan negara makin kurang penting. Negara,
sebagai suatu entitas yang terorganisir akan bisa hilang menjadi suatu hubungan
komunal baru yang mirip dengan dengan masyarakat primitif. (g) Dominasi cara
produksi. Dalam semua masyarakat yang ditandai alienasi (keterasingan), cara
produksi mengendalikan prestasi-prestasi budaya masyarakat. Perubahan dalam
yang pertama akan membawa perubahan dalam yang belakangan. Maka artefak-artefak
budaya bersifat epifenomenal, dan harus ditafsirkan dalam kerangka
ekonomi.
2.Marx
tidak pernah menyinggung materialisme dialektis, atau dominasi cara produksi,
tetapi ia memberi sedikit komen juga mengenai berbagai isu yang disebutkan pada
poin (b) sampai (f) di atas.
3. Engels
menganut (a) sampai dengan (f), dengan mengembangkan masing-masing tesis secara
lebih luas daripada Marx. Engels lah yang menyumbangkan ide materialisme
dialektis. Ia sering juga dianggap sebagai pencetus dominasi cara produksi. Walaupun
demikian Engels tidak menganut dominasi cara produksi secara ekstrem.
4.Pada
mulanya Lenin mengikuti Marx secara dekat, dengan menekankan Komunisme primitif
dan perjuangan kelas sampai dengan Tergulingnya negara. Ia membuang komunisme
primitf seraya menamakan keasyikan Engels dengan dialektika sebgai sisa-sia
Hegelianisme. Lenin kemudian menambahkan, atau paling tidak menjelaskan, suatu
proposisi lain yang penting bagi Marxisme, yang mungkin dapat ditambahkan pada
daftar di atas (h) Realisme epistemologis ( Persepsi dan konsepsi dalam
kesadaran manusia merupakan salinan yang jitu dari hal-hal yang real). Lenin
melihat proposisi ini penting untuk membela materialisme, dan menghalangi jalan
masuk ke idealisme. Maka dapatlah dikemukakan bahwa Lenin pada akhirnya mesti
dipandang sebgai Sang Marxis sejati, yang menganut proposisi-proposisi (a)
sampai dengan (h).
5. Pengikut
Marx dan Engles yang non-revisionis dan dekat termasuk Kautsky dan Labriola di
Italia. Kautsky menyunting Die Neue Zeit, organ resmi partai Sosial Demokrat
Jerman, dan melanjutkan tugas penerbitan naskah-naskah Marx setelah Engels
tiada, serta menulis bagian-bagian teoritis dari Program Erfurt.
6.Di
kalangan kaum eksistensialis kontemporer, Marxisme mempunyai pengaruh yang
besar sekali, kendati eksistensialisme jarang menjadi bahan yang cocok untuk
versi umum Marxisme yang dipaparkan pada (1) di atas. Sartre misalnya,
beranggapan bahwa eksistensialismenya merupakan “enclave” (kantung) di dalam
Marxisme. Merleau-Ponty meragukan dialektika. Dalam masyarakat, menurutnya,
terdapat kecendrungan-kecendrungan yang dapat berkembang dalam lebih dari satu
arah[5].
Maurice Merleau-Ponty pada mulanya menggunakan istilah Marxis Barat untuk
membedakan filsuf-filsuf Marxis independen, yaitu Georg Lukacs (1885-1971),
Karl Korsch (1886-1961) dan Leon Trotsky (1879-1940)dari pengikut aliran
Leninis dan Marxisme Soviet. Dan selain “Che” Guevara yang disebut beraliran
neo-Marxis oleh Foster-Carter juga terdapat Paul A. Baran, Paul M. Sweezy,
Harry Magdoff, Pierre J Jalee, Andre Gunder Frank, Mao Zedong, Ho Chi Minh, Kim
Il Sung, Fidel Castro serta Frantz Fanon.
Kategorisasi Marxis Barat juga dapat dimengerti untuk membedakan dari
Marxisme resmi negara-negara Blok Timur, khususnya Uni Soviet, di mana
interpretasi resmi terhadap pemikiran Marx, Engels, dan Lenin ditentukan secara
pribadi oleh Sekjen PKUS, sewaktu Stalin masih berkuasa. Baru setelah naiknya
Nikita Kruschev sebagai sekjen PKUS, proses de-Stalin-isasi mulai digalakkan.
Dominasi dan kediktatoran Stalin itulah yang mendorong banyak Marxis di Eropa
Barat keluar dari partai-partai komunis negaranya, dan mengembangkan
filsafatnya sendiri, seperti yang terjadi pada Michel Foucault.
Berbagai ajaran serta pemikiran-pemikiran Marxisme itulah yang paling tidak
membentuk arah perjuangan “Che”. Seorang dokter muda yang akhirnya tidak
bergulat dengan ilmunya, seorang revolusionis yang mencapai titik balik
hidupnya pada saat melakukan perjalanan bersama sahabatnya, dimana ia melihat
dunia yang sebenar-benarnya.
(bersambung ke bagian 2)
[1] Penulis Neo Marxist Approaches to Development and
Underdevelopment,
serta Honorary Senior Research Fellow in Sociology and Modern Korea di Leeds
University.
[2] Wardaya,
Marx Muda, hal 91-94.
[3] Mills, Kaum
Marxis, hal 17-18.
[4] Sahabat Karl
Marx, bersama dengan Marx menulis Communist Manifesto di London
(Februari 1848), suatu famplet bagi gerakan buruh yang mereka mulai bangun, dan
antara tahun 1848-49, keduanya bersama-sama mengedit koran Neue Rheinische
Zeitung yang tetap diterbitkan di Koln. (Tucker 1978: xv-xvi dalam George
Junus Aditjondro, Friedrich Engels, handout kuliah Marxisme: Religi, Politik
& Ideologi).
[5] Bagus, Kamus
Filsafat, hal 572-574.
Comments