Skip to main content

Menjadi “Che” : Dari intelektual tradisional ke intelektual organik. (Bagian 2)

Motor, Diary, Perjalanan dan Penyadaran


Ernesto "Che" Guevara
berusia  22 thn (1951).
Foto diunduh dari  www.wikipedia.com
Pada mulanya.

Ernesto Rafael Guevara de la Serna lahir pada 14 Juni 1928 dari seorang ibu bernama Celia de la Serna y Llosa serta seorang ayah bernama Ernesto Guevara Lynch. Ernesto lahir di Rosario, Argentina. Ia adalah anak pertama dari lima bersaudara dari keluarga kalangan menengah atas keturunan Spanyol, Basque serta Irlandia.

Semenjak kecil Ernesto telah dididik dalam aura penuh kepedulian pada yang tidak berpunya. Menurut kawan masa kecilnya Carlos Ferrer atau Calica[1], Ernesto memiliki banyak kawan sepermainan dari keluarga miskin, walaupun ia sendiri berasal dari golongan keluarga yang cukup mampu. Ernesto berteman dengan anak-anak dari kelas sosial manapun. Ia menikmati pertemanan dengan anak-anak kelas atas, dan juga melakukan petualangan tanpa henti bersama anak-anak dari keluarga miskin.

Ernesto besar dan tumbuh di tengah keluarga yang paham akan aliran-aliran kiri. Semenjak kecil ia telah diperkenalkan pada berbagai pandangan politik. Ayah Ernesto yang adalah seorang insinyur konstruksi, juga seorang Republikan dari Perang Sipil Spanyol yang seringkali menerima para veteran perang untuk bertamu di rumah mereka. Dari berbagai pertemuan dengan para veteran perang itulah, Ernesto mendapatkan banyak cerita seputar dunia politik.

Pada umur dua tahun, Ernesto terjangkit penyakit asma, yang mendorong keluarganya untuk pindah ke wilayah yang beriklim lebih kering, Alta Gracia, Cordoba. Walaupun ia berpenyakit asma akut, Ernesto adalah anak yang aktif, tidak bisa diam serta gemar berpetualang. Ernesto gemar berolahraga renang, sepakbola ataupun bersepeda.

Ernesto juga menggemari catur. Ia belajar dari ayahnya dan sempat berpartisipasi dalam turnamen catur lokal pada usia 12 tahun. Kebanyakan dari pendidikan awalnya diperoleh dari ibunya di rumah. Pada usia remaja, Ernesto telah membaca sebagian besar buku-buku koleksi perpustakaan pribadi milik ayahnya yang dikatakan memiliki koleksi buku sekitar 3000 buah. Ernesto juga amat mencintai puisi, terutama karya Pablo Neruda, John Keats, Antonio Machado, Federico García Lorca, Gabriela Mistral, César Vallejo, serta Walt Whitman. Ia juga hapal luar kepala puisi karya Rudyard Kipling “If” dan Jose Hernandez berjudul “Martin Fierro”. Koleksi buku yang berjumlah ribuan itu membuat Ernesto menjadi seorang pembaca yang antusias, dengan sejumlah bacaan yang dari para penulis ternama seperti Karl Marx, William Faulkner, André Gide, Emilio Salgari serta Jules Verne. Terkadang ia juga menikmati karya-karya milik Jawaharlal Nehru, Franz Kafka, Albert Camus, Vladimir Lenin, serta Jean-Paul Sartre, Anatole France, Friedrich Engels, H.G. Wells, serta Robert Frost.

Kawan masa kecilnya, Calica, mengatakan, Ernesto tidak bisa hidup tanpa buku, bahkan dalam perjalanan berpetualangnya kelak, Ernesto mengisi penuh tasnya dengan buku dan hanya sedikit sekali membawa pakaian. Ketika Ernesto tumbuh semakin besar, ia mengembangkan minat membacanya pada berbagai penulis Amerika Latin seperti Horacio Quiroga, Ciro Alegría, Jorge Icaza, Rubén Darío, dan Miguel Asturias. Berbagai ide dan pemikiran para penulis ini telah ia tulis ulang dalam buku catatan kecilnya. Ia menuliskan konsep-konsep, definisi serta pemikiran filsafat sejumlah intelektual berpengaruh itu. Dalam buku catatan kecilnya itu juga terdapat sketsa Buddha serta Arsitoteles, catatan mengenai cinta dan patriotisme dari Bertrand Russell, ide mengenai masyarakat dari Jack London serta ide mengenai kematian dari Nietzsche. Sigmund Freud juga telah mempesonanya melalui pemikirannya tentang mimpi, libido, oedipus complex serta narsisme. Subjek favoritnya saat sekolah adalah filsafat, matematika, teknik, ilmu politik, sosiologi, sejarah dan arkeologi.

Pada tahun 1941, ia masuk ke Colegio Nacional Dean Funes, sebuah sekolah menengah di Cordoba. Ia kuliah di Universitas Buenos Aires pada tahun 1948, belajar ilmu kedokteran, dan tertarik mendalami lepra. Penyakit asmanya mebuat ia didiskualifikasi dari wajib militer. Semasa kuliah, Ernesto bermain untuk tim rugby Universitas Buenos Aires . Saat itu, Ernesto sempat mendapatkan nama panggilan Fuser atau El Furibundo (mengamuk) serta nama belakang ibunya, de la Serna, untuk kelakuannya yang agresif dalam bermain. Teman-teman sekampusnya sering juga memanggil Chancho (babi), karena Ernesto jarang sekali mandi dan amat senang mengenakan kaos yang sama selama seminggu.
          
Perjalanan bermotor.

Pada tanggal 4 Januari 1952, pada usianya yang ke-23 Ernesto mengambil cuti setahun dari kuliah kedokterannya. Ia kemudian melakukan perjalanan bersama salah seorang sahabatnya Alberto Granado menggunakan motor Norton 1939 500cc milik Granado. Ia melakukan perjalanan keliling benua Amerika Selatan dengan memulai rute perjalanan dari Buenos Aires, menyusuri sepanjang pantai Argentina, melintasi pegunungan Andes di Chile, kemudian melaju ke utara menuju Peru, Kolumbia lalu Venezuela.Tujuan akhir perjalanan Ernesto saat itu adalah menghabiskan beberapa minggu untuk menjadi sukarelawan di koloni penderita Lepra San Pablo, yang berada di tepian sungai Amazon, Peru.

Perhentian pertama mereka adalah Miramar, sebuah resort kecil dimana kekasih Ernesto Chichina, menghabiskan musim panas dengan keluarga mereka dari kalangan menengah atas. Ketika itu, Chichina meminjamkan uang 15 dollar AS kepada Ernesto, agar Ernesto membelikannya sebuah baju renang. Ernesto pun bersumpah, bahwa ia lebih baik mati kelaparan daripada menghabiskan uang itu untuk hal lain, selain pesanan Chchina itu.

Pada 14 Februari, kedua sahabat itu mulai menyebrang menuju Chili. Pada koran lokal, mereka memperkenalkan diri sebagai ahli penyakit lepra internasional. Karena perkenalan itu, koran itu pun menulis mengenai kisah “bohong” mereka itu dengan tulisan yang memukau. Akibat kliping koran yang mereka tunjukkan kepada sejumlah penduduk lokal yang kebetulan mereka lewati dalam perjalanan, Ernesto dan Granado seringkali mendapatkan makan gratis, serta kadang-kadang sejumlah kebutuhan yang mereka perlukan.

Kadangkala perjalanan kedua sahabat ini tidak berjalan mulus seperti yang mereka harapkan. Saat berhenti di sebuah kota bernama Lautaro untuk memperbaiki motor, kedua sahabat ini diundang dalam sebuah acara dansa. Sayangnya acara dansa itu tidak berakhir baik, karena Ernesto kedapatan hendak mencoba merayu seorang perempuan yang sudah menikah. Akibatnya, kedua sahabat itu dikejar-kejar oleh massa yang tidak terima akan kejadian itu.  Saat tiba di Santiago, ibukota Chili, motor Norton yang mereka gunakan selama ini benar-benar rusak dan tidak bisa dipakai. Ernesto danGranado lalu memtuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Pandangan politik Ernesto seperti benar-benar terbuka dan berubah drastis saat ia dan Granado tiba di sebuah kota pertambangan. Mereka mengunjungi tambang batu bara Chuquicamata, tambang batu bara terbuka terbesar di dunia dan merupakan sumber kekayaan Chili yang paling utama. Tambang ini dijalankan oleh perusahaan monopoli AS dan seringkali dijadikan simbol dominasi asing. Pertemuan Ernesto dengan pasangan komunis yang sedang mencari pekerjaan di tambang itu, meninggalkan kesan yang begitu dalam kepada Ernesto. Pada catatan hariannya, ia menulis “Diterangi sebuah cahaya lilin, bayangan dari para pekerja tambang menimbulkan aura yang sangat misterius serta tragis, ...pasangan ini, udara dingin yang begitu menusuk di tengah malam, saling berpelukan, merupakan presentasi sempurna kaum proletar di belahan dunia manapun,”.

Ernesto dalam catatan hariannya itu mulai menulis dan mengekstrasi ide-ide mengenai ketidakadilan serta hal-hal yang tragis, akibat sebuah sistem yang tidak manusiawi. Lewat catatan-catan harian yang ia tulis sepanjang perjalanan itu, Ernesto mulai menuruni menara gadingnya.

Di Peru, Ernesto amat terkesan dengan peradabadan Inca. Saat menumpang truk bersama dengan para penduduk asli, Indian, serta hewan-hewan ternak, membuat Ernesto merasakan kedekatan yang begitu akrab dengan orang-orang lokal itu. Ketika sampai di Lima, dua orang sahabat itu bertemu dengan Hugo Pesce, seorang peneliti lepra terkenal yang kebetulan adalah seorang Marxist. Dalam pertemuannya itu, Ernesto terlibat dalam sebuah diskusi politik dengan Pesce. Sepuluh tahun kemudian, Ernesto memberi penghargaam kepada Hugo dalam buku pertamanya, Guerilla Warfare, bahwa ahli lepra itu telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam tulisan-tulisannya. Secara kongkrit, Ernesto mengirimkan kopi buku pertamanya itu kepada Pesce.

Dari Lima, ibukota Peru, Ernesto dan Granado melanjutkan perjalanan menuju hutan Amazon dan tinggal selama tiga minggu di San Pablo, sebuah koloni lepra yang berada di dalam hutan. Selama tiga minggu, kedua sahabat itu memberikan konsultasi dan perawatan kepada para pasien. Pada suatu malam, saat berada di koloni lepra itu, Ernesto dengan ekspresif berenang menyebrang dari sisi sungai Amazon tempat para dokter tinggal ke sisi dimana para penderita lepra berada. Ia berenang menyebrangi sungai itu sejauh empat kilo meter. Secara eksplisit, Ernesto ingin melebur dan bersatu dengan para penderita lepra itu tanpa dibatasi sungai Amazon. Ernesto ingin merasakan penderitaan yang sama dengan mereka.

Pada ulang tahunnya yang ke-24, Ernesto melakukan pidato politik pertamanya di depan para dokter dan perawat di koloni lepra San Pablo. Ia berpidato tentang kesatuan Amerika Latin. Pada catatan hariannya ia mengatakan “Kita percaya, dan setelah perjalanan ini, saya bahkan lebih percaya dari sebelumnya, bahwa pembagian Amerika Latin dalam berbagai nasionalitas adalah sesuatu yang tidak masuk akal,” ucapnya.

Setelah berkarya dan mendapatkan begitu banyak kesadaran baru, Ernesto dan Granado melanjutkan perjalanan ke Kolombia dan Venezuela, dimana Granado menemukan pekerjaan di leprosarium. Sementara Ernesto kembali ke Argentina melalui Miami, dimana ia harus menghabiskan 20 hari di Miami, karena pesawat yang ia tumpangi mengalami kerusakan mesin. Sampai di Argentina, seluruh keluarga menyambut kepulangan sang putra pertama dalam keluarga itu.

Saat itu Ernesto telah menjadi manusia baru. “Saya akan berdiri di samping rakyat. Saya akan menembus barikade dan halangan yang ada, berteriak seperti orang kesurupan, akan membasahi senjataku dengan darah, dan marah serta mengamuk, saya akan menebas setiap leher para musuh yang menghalangi,” tulis Ernesto dalam diarynya.

Ini adalah perjalanan pertama Ernesto yang memberi kesadaran baru baginya, seperti kisah Pangeran Sidharta yang ketika berjalan keluar dari kerangkeng istana emasnya, melihat kenyataan yang memilukan hati. Hingga akhirnya, Sidharta memutuskan untuk melepaskan kemewahan dan pergi melebur dengan sunyata di luar tembok istana. Ernestopun tidak berhenti pada perjalanan bermotor dengan Norton tahhun 1939 itu. Ia juga tidak hanya berhenti pada sekedar mencatat dalam diary yang menjadi semacam manuskrip titik balik penyadarannya. Ernesto kemudian melakukan petualangan-petualangan selanjutnya yang akhirnya membuat ia menjadi seorang “Che”.

Menjadi Comandate “Che” Guevara.

Ernesto Guevara akhirnya lulus sebagai seorang dokter pada tahun 1953. Ia mengambil spesialisasi pada ilmu dermatologi (ahli penyakit kulit). Sesudah kelulusannya itu, Ernesto melakukan perjalanan kembali. Kali ini ia tidak bersama Granado, tidak juga bermotor. Kali ini ia ditemani oleh seorang sahabat masa kecilnya selama di Alta Gracia, Carlos Ferrer atau disebut dengan Calica.

Ernesto pada saat itu, telah menjadi dokter Ernesto, ia menjelajahi Bolivia, Peru dan Ekuador. Pada masa-masa itu, ia tertarik pada reformasi kaum buruh yang menyulut revolusi Nasional 1952 di Bolivia. Dengan cara berjalan dan mencari tumpangan ke Guatemala, Ernesto bersama kawannya Calica, menyaksikan tergulingnya pemerintahan sosialis radikal Jacobo Arbenz oleh Castillo Armas yang disponsori AS. Pada saat itu, Ernesto tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali mencatat bahwa CIA berperan dalam akso kontra-revolusi. Ernesto pun membangun hubungan dengan Apristas, tokoh radikal Peru dan beberapa tokoh radikal Amerka Latin yang lain. Pada saat penggulingan itu, Ernesto suka rela ikut berjuang. Ketika itu, Arbenz memerintahkan para pendukungnya untuk meninggalkan negara itu, dan Ernesto pun dengan cepat mencari tempat perlindungan di konsulat Argentina.

Bulan September tahun 1954, Ernesto pindah ke Mexico City dan mendapatkan pekerjaan di General Hospital. Saat itu ia memperbaharui kembali persahabatannya dengan rekan-rekan Castro.  Melalui peran Hilda Gadea, seorang Peru yang menganut paham Marxist, ia menemui Fidel Castro dan melibatkan diri dalam rencana menyerang Kuba. Di Mexico, Ernesto pun menikahi Gadea, dan mereka dikarunia seorang puter bernama Hildita.

Di bawah pengaruh Castro, Alberto Bayo dan tulisan-tulisan Mao Tse-Tung, Ernesto mulai membentuk aksioma dasar dari filosofi perang gerilya. Pada masa itu ia mulai dipanggil Che, karena kebiasaannya mengakhiri kalimat atau panggilan kepada sahabatnya dengan sebutan “Che” (sebuah panggilan akrab khas Argentina yang berarti teman atau buddy).

Pada tahun 1956, kaum revolusioner mendarat di Kuba dengan menggunakan kapal Grandma milik seorang warga Amerika. “Che”, Castro serta 80 pemberontak lainnya, segera setelah turun dari kapal itu, di sebuah wilayah berpaya-paya dekat Niquero, Kuba Tenggara, diserang oleh tentara Batista. Serangan itu menjadi tanda dimulainya perang gerilya selama tiga tahun untuk menentang diktator Kuba, Fulgencio Batista. Serangan itu juga menjadi sebuah titik balik bagi dokter Ernesto Guevara de la Serna menjadi seorang “Che” yang revolusioner. Dalam serangan yang terjadi secara membabi buta itu, hanya 12 pemberontak yang selamat, dan saat itu, “Che”, yang adalah seorang dokter ketika meletakkan tas ranselnya yang berisi perbekalan medis, lalu mengangkat sebuah kotak amunisi yang diturunkan oleh kawan-kawan seperjuangannya yang melarikan diri adalah saat dimana ia bermetamorfosa dari seoran dokter menjadi pejuang.

Perang gerilya yang meletus selama tiga tahun itu, juga telah menjadikan “Che” Comandate (Komandan) dalam pasukan gerilyawan itu. Comandate “Che” Guevara lah yang akhirnya membawa pasukannya pada akhir 1958  merebut kota Santa Clara dengan menggelincirkan satu kereta api baja dimana didalamanya dipenuhi oleh pasukan Batista.

Akhir hidupnya.

Setelah Castro berkuasa, “Che” menjadi orang kedua paling berkuasa di Kuba, yang hanya bertanggung jawab kepada Fidel Castro. Pada masa pemerintahan Castro dan ketika terjadi krisis misil Kuba, “Che” mendukung konfrontasi nuklir yang terjadi. Ia menikahi Aleida March de la Torre yang memberinya empat anak. Tahun 1961- 1965 ia dan istrinya menempuh perjalanan ke seluruh dunia sebagai dutabesar bagi Kuba. Karena kecewa dengan komunisme Uni Soviet, ia menyerukan gerakan revolusioner dengan pola gerilya dilakukan di Afrika dan Amerika Selatan. Che pergi diam-diam ke Kinshasa, Kongo, untuk mendukung kaum pemberontak. Tetapi sayangnya kaum pemberontak di Kongo itu pun kalah, dan Che meninggalkan negeri itu pada Agustus 1965.

Castro secara tidak resmi menyisihkan Guevara dari kantornya karena perbedaan pendapat mengenai masa depan Kuba. Menyamar sebagai ahli ekonomi Uruguay, Che Guevara bepergian ke seluruh Amerika Latin. Bulan November 1966, ia memimpin sekelompok gerilyawan di Bolivia tenggara, mencoba mengilhami para petani dan buruh untuk melancarkan gerakan revolusioner yang diharapkan menyebar ke seluruh Amerika Latin, untuk mencipatkan “duapuluh Vietnam yang baru”.

Dalam perjuangan itu penyakit lamanya kambuh. Asma memang tak kenal kompromi dalam dataran tinggi seperti Bolivia. Didera berbagai musibah, tekanan dan penyakit, kelompok gerilyawan itu tersudut di sebuah jurang oleh batalyon tentara Bolivia (yang telah dilatih oleh Pasukan Khusus AS dalam mengantisipiasi perang gerilya) pada tanggal 8 Oktober 1967. Dua jet tempur dan sebuah helikopter mendukung batalyon itud ari udara. Che dibawa ks suatu tempat di dekat kota La Higuera.

Che menolak diinterogasi oleh CIA dan pejabat resmi Bolivia. Hingga akhirnya Presiden Bolivia, Jenderal Rene Barrientos,  memerintahkan eksekusi atas Guevara secepat mungkin. Tanggal 9 Oktober 1967, setidaknya enam tembakan disarangkan ke tubuh Che Guevar.

Sebuah kesaksian mengungkapkan kata-kata terakhirnya “Aku tahu kalian akan menembakku; aku tidak akan dibiarkan tetap hidup. Katakan pada Fidel bahwa kegagalan ini bukan berarti berakhirnya revolusi, yang kelak akan berjaya dimana-mana. Katakan pada Aleida untuk melupakan aku,  menikahi kembali dan menjadi bahagia, dan biarkan anak-anak tetap belajar. Biarkan tentara-tentara itu melakukan tugasnya dnegan baik,” Sementara itu kesaksian yang lain mengungkapkan bahwa kata-kata terakhir Che adalah “Tembaklah, penakut! Yang kalian bunuh adlaah seorang lelaki sejati!”

Setelah ia meninggal, tangannya dipotong untuk mengidentifikasi jatidiri yang sesungguhnya. Laboratorium menyatakan bahwa ia benar-benar Che Guevara. Mayatnya dimakamkan secara rahasia. Ketika ditembak mati, Che baru mencapai usia 39 tahun.

Pada bulan Juni 1997, sebuah tim ilmuwan dari Kuba dan Argentia merangkai kembali tulang belulang Che, serta kedua tangan yang hilang, di kota Vallegrande. Tulang belulang itu kemudian dikembalikan ke Kuba.

(bersambung ke bagian 3)




[1] Salah seorang sahabat dari masa kecil Che di Alta Gracia yang menjadi sahabat perjalanan Che pada Juli 1953, dimana mereka menjelajah Bolivia, Peru dan Ekuador. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.