Skip to main content

Menjadi “Che” : Dari intelektual tradisional ke intelektual organik. (Bagian 3)

Dari Intelektual Tradisional ke Intelektual Organik.

Membaca sekilas kisah hidup “Che” Guevara, adalah sebuah kisah yang amat inspiratif. “Che” tampaknya tidak pernah nyaman dalam sebuah titik kekuasaan yang menurutnya meninabobokan.

Saat ia bisa nyaman dalam sebuah kursi kekuasaan di bawah kawannya Fidel Castro (“Che” menjadi orang kedua yang berkuasa di Kuba, setelah Fidel), “Che” malah ingin memulai kembali gerakan revolusionernya di Kongo. Semangat revolusinya untuk menggulingkan pemerintahan korup yang berkuasa serta menggantinya dengan sebuah pemerintahan komunis, seperti yang dicita-citakan oleh Marx, telah mendorongnya untuk meninggalkan kursi nyaman di Kuba. Walau kemudian, perjuangannya di Kongo tidak membuahkan hasil. “Che” tidak menyerah. Ia tetap percaya pada satu cita-citanya, bahwa apa yang dicita-citakan Marxisme soal komunisme, adalah hal yang patut diperjuangkan bagi kebebasan umat manusia.

Maka, tidak peduli dengan hasil yang diperoleh di Kongo, sekali lagi ia berjuang mempertahankan idealisme itu dan memasuki Bolivia pada tahun 1966. “Che” bersama para pejuang Bolivia revolusioner yang memiliki satu cita-cita, berambisi menggulingkan pemerintahan militer Bolivia yang pro Amerika Serikat. Idealismenya yang begitu kuat serta sikap keras kepalanya itulah yang tidak pernah memadamkan semangat “Che” walau terus menerus didera penyakit asma akut. Akhirnya, sepak terjang “Che”, yang telah membuat Presiden Bolivia Rene Barrientos beran, benar-benar berhasil dihentikan. Setelah berjuang mati-matian, dalam gerilya yang begitu melelahkan dengan tantangan medan perbukitan serta suhu udara yang begitu mengganggu fisik “Che”, akhirnya atas bantuan CIA, pemerintahan militer Bolivia berhasil mengeksekusi mati “Sang Comandate”.

Tapi, “Che” tidak benar-benar mati. Semangatnya, wajahnya yang diabadikan oleh fotografer Alberto Korda pada 1960, menjadi ikon wajah yang amat legendaris. Mungkin banyak yang mengidolakannya hanya karena sebuah reproduksi wajah yang akhirnya menjadi semacam trend pemberontakan, walau tidak mengerti kisahnya. Tetapi lebih banyak lagi yang mengidolakannya, dan bahkan di Bolivia ia menjadi seperti Santo, karena “Che” adalah sebuah simbol kemenangan yang marginal atas rezim korup sewenang-wenang yang berkuasa.

Ia menjadi idola, karena ia bukan seorang intelektual ‘tong kosong nyaring bunyinya’. Ia mengangkat senjata, isi kepalanya terus berpikir, tangannya tak pernah berhenti menulis, dan “Che” juga mengolah kembali perjuangan-perjuangan fisiknya itu dalam catatan-catatan yang menjadi semacam inskripsi dari semangatnya.

Mengenai kaum intelektual ini, Gramsci sempat menulis pandangannya dalam dua catatan yang diletakkan pada bagian awal Prison Notebooks. Ia menolak apa yang disebutnya pandangan tradisional dan vulgar terhadap intelektual yang hanya terdiri dari ahli sastra, filosof dan seniman (termasuk jurnalis, yang mengaku sebagai sastrawan dan filosof, dan menganggap diri mereka sebagai intelektual ‘sejati’). Intelektual bukan dicirikan oleh aktifitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, namun oleh fungsi yang mereka jalankan. Oleh karena itu menurut Gramsci, kita bisa mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.

Jadi, Gramsci memperluas definisi kaum intelektual, yaitu semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator pada semua lapisan masyarakat, dalam wilayah politik dan kebudayaan. Ia melakukan dobrakan ganda (double break) pandangan umum terhadap intelektual. “Che” yang bukan sastrawan, filosof ataupun seniman itu, jika menggunakan pandangan Gramsci tentu dapat dikategorikan sebagai seorang intelektual. Karena bagi Gramsci, intelektual bukan hanya pemikir, penulis (walaupun dalam berbagai kesempatan dan perjuangan revolusinya, “Che” tidak pernah berhenti menulis dalam catatan hariannya) dan seniman, tetapi juga para aktivis, organisator maupun pemimpin politik, dan mereka tidak hanya berguna dalam masyarakat sipil dan negara, namun juga dalam alat-alat produksi sebagai ahli mesin, manajer dan teknisi..

Kemudian, setelah mendefinisikan siapakah intelektual itu, Gramsci membuat perbedaan antara intelektual ‘organik’ dan ‘tradisional’. Setiap kelas menciptakan satu atau lebih strata intelektual yang memberinya kesamaan dan kesadaran akan fungsi mereka sendiri bukan hanya dalam bidang ekonomi namun juga dalam bidang sosial dan politik. Intelektual tidak membentuk sebuah kelas namun setiap kelas mempunyai intelektualnya sendiri. [1]

Amat pas kiranya, jika “Che” disebut sebagai seorang intelektual tradisional yang menyebrang menjadi intelektual organik. Konsep Gramsci ini mengatakan bahwa intelektual tradisional adalah seorang yang dilahirkan, dan merupakan bagian dari kelas yang berkuasa.

Seperti “Che” misalnya, yang lahir dari keluarga menengah atas, ia dididik dan dibesarkan dalam sebuah sistem kelas yang berkuasa. Sebelum melakukan perjalanan bermotornya, “Che” seperti belum benar-benar melihat dunia. Ia mungkin saja sudah mengantongi berbagai ide-ide pemberontakan, karena ia telah melahap berbagai buku-buku Marx saat “Che” masih muda, tetapi itu hanya sebatas pada ranah kepalanya saja. Belum ada aksi yang benar-benar ia lakukan untuk menerapkan berbagai ide-ide Marxisme yang telah ia lahap itu.

Sampai akhirnya perjalanan bermotor dengan karibnya Granado, membuka matanya. Ia pun pelan-pelan turun dari menara gadingnya dan bertransformasi menjadi seorang intelektual organik yang secara natural muncul dari setiap kelas. Pada mulanya ia seorang intelektual tradisional yang akhirnya secara sadar meninggalkan posisinya yang diuntungkan oleh sistem politik serta ekonomi yang dominan, dan kemudian ia bergabung dengan kelas-kelas yang tertindas.

Tindakan “Che” untuk bertransformasi menjadi intelektual organik ini pun ia lakukan kembali ketika “Che” sudah duduk dalam pemerintahan Kuba di bawah Castro. “Che” dengan kekuatan pengetahuannya, berpihak kepada orang-orang tertindas, yang dalam konsep Gramsci disebut sebagai sublatern classes.[2] Dalam hal ini, “Che” sepakat dengan Gramsci, bahwa perbedaan antara kerja ‘otak’ (mental) dan ‘otot’ (manual) tidak sepantasnya dijadikan dasar untuk perbedaan kelas. Baginya, semuan manusia harus berada dalam kelas yang sama, agar tercipta keadilan dan kesejahteraan bersama, dan titik beratnya bukan pada masalah kerja otak dan otot itu.

Seperti yang ia mahfumi ketika bertemu dengan sepasang suami istri yang mencari pekerjaan di sebuah perusahaan tambang milik Amerika di Peru. “Che” kemudian melakukan refleksi, bahwa walaupun para penambang ini sebagian besar pekerjaannya menggunakan otot, tetapi bukan berarti mereka berbeda kelas. Para penambang yang diwakili oleh pasangan suami istri itu adalah contoh dari orang-orang yang tidak diuntungkan oleh sistem korup yang berkuasa saat itu. Dan inilah menurut “Che” jenis ketidakadilan yang harus diberantas.

Dalam pandangannya, kelas-kelas itu bisa terbentuk karena ada sistem dalam masyarakat yang tidak adil. Dalam salah satu tulisan politiknya “Che” jelas-jelas mengkritik sistem kapitalisme yang membuat manusia dikontrol oleh kode hukum tanpa ampun yang berada di luar pemahamannya. Hukum itu akhirnya membuat manusia teralienasi. Manusia yang teralienasi itu pun terikat dengan masyarakat oleh sebuah jaringan yang tak kasat mata, yakni hukum nilai. Hukum yang berlaku di seluruh aspek kehidupannya, yang membentuk jalan dan takdir hidupnya. Menurut “Che’ hukum-hukum kapitalisme, yang tak kasat mata dan mengelabui masyarakat, berlaku pada individu, bahkan tanpa dia sadari.[3]. Sehingga secara tidak sadar, manusia-manusia yang berada dalam sistem kapitalis itu, secara tidak sadar, karena sudah terinternalisasi, membagi dirinya dalam berbagai kelas-kelas yang sudah ditentukan oleh penguasa.

“Che” amat menentang hal itu, menurutnya, setiap manusia jangan sampai mengalami alienasi (keterasingan) dari dirinya sendiri sebagai akibat, manusia itu telah dikuasai atau didominasi oleh benda, alat, kapital atau oleh manusia lainnya. Manusia harus kembali kepada fitrahnya, dan menjadi seorang manusia yang benar-benar utuh (Summum Bonum). Manusia adalah kebaikan tertinggi dan tidak boleh ada manusia satupun yang mengebawahkan manusia lainnya.

Refleksinya terhadap sepasang suami-istri yang mencari pekerjaan di perusahaan pertambangan milik kaum kapitalis itu telah membuat mata dan hatinya benar-benar terbuka. Ia melihat ada sesuatu yang salah dan harus segera diluruskan. Pengembaraannya lewat berbagai buku-buku Marx serta persentuhannya dengan orang-orang ataupun komunitas-komunitas yang mengalami ketidakadilan, membuatnya merasa harus dan wajib melakukan sebuah “bunuh diri”. Bukan bunuh diri ala pengecut dengan minum racun serangga atau menggantung leher di atas tiang, tetapi sebuah “bunuh diri kelas” dengan semangat revolusi “gerilya sampai titik darah penghabisan”, yang membuat seorang Ernesto Guevara de La Serna akhirnya menjadi sang “Comandate Che Guevara”.

Penutup

            Secara sederhana, tulisan ini ingin memberi semacam inspirasi kepada khalayak, bahwa siapapun, apapun status ataupun kelasnya bisa melakukan sesuatu untuk sebuah perubahan.
           



REFERENSI

Aditjondro, George Junus. Ernesto “Che” Guevara, Ernesto Laclau dan Kebangkitan Gerakan Kiri di Amerika Latin. Makalah untuk Diskusi “Che dan Another World is Possible”.Jakarta, 2006.

Aditjondro, George Junus. Friedrich Engels (1820-1895). Handout kuliah Marxisme: Religi, Politik & Ideologi.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Ferrer, Carlos “Calica”. Becoming Che. Jakarta: GagasMedia, 2007.

Guevara, Che. Dari Sierra Maestra Menuju Havana: Kisah 82 Gerilyawan yang Berhasil Menumbangkan Pemerintah Kuba. Yogyakarta: Narasi, 2007.

Guevara, Ernesto “Che”. The Motorcycle Diaries. London: Harper Perennial, 2004.

Guevara, Che. Pidato-pidato Politik Che Guevara Diserta Kronologi Kematiannya. Surabaya: Diglossia Media, 2004.

Mills, C. Wright. Kaum Marxis: Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999.

Wardaya, Dr Baskara.T. Marx Muda: Marxisme Berwajah Manusiawi (Menyimak Sisi Humanis Karl Marx bersama Adam Schaff). Yogyakarta: Buku Baik, 2003.




[1] Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, hal 141-142.
[2] Kelas-kelas yang dimarjinalisasi oleh kepas yang dominant, yang seringkali hanya memprioritaskan untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, seperti komune-komune di Italia (Gramsci 1998:52-55).
[3] Guevara, Pidato-pidato Politik Che Guevara, hal 93. 

Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.