Dari Intelektual Tradisional ke Intelektual Organik.
Membaca sekilas kisah hidup “Che” Guevara, adalah sebuah kisah yang amat
inspiratif. “Che” tampaknya tidak pernah nyaman dalam sebuah titik kekuasaan
yang menurutnya meninabobokan.
Saat ia bisa nyaman dalam sebuah kursi kekuasaan di bawah kawannya Fidel
Castro (“Che” menjadi orang kedua yang berkuasa di Kuba, setelah Fidel), “Che”
malah ingin memulai kembali gerakan revolusionernya di Kongo. Semangat
revolusinya untuk menggulingkan pemerintahan korup yang berkuasa serta menggantinya
dengan sebuah pemerintahan komunis, seperti yang dicita-citakan oleh Marx,
telah mendorongnya untuk meninggalkan kursi nyaman di Kuba. Walau kemudian,
perjuangannya di Kongo tidak membuahkan hasil. “Che” tidak menyerah. Ia tetap
percaya pada satu cita-citanya, bahwa apa yang dicita-citakan Marxisme soal
komunisme, adalah hal yang patut diperjuangkan bagi kebebasan umat manusia.
Maka, tidak peduli dengan hasil yang diperoleh di Kongo, sekali lagi ia
berjuang mempertahankan idealisme itu dan memasuki Bolivia pada tahun 1966.
“Che” bersama para pejuang Bolivia revolusioner yang memiliki satu cita-cita,
berambisi menggulingkan pemerintahan militer Bolivia yang pro Amerika Serikat.
Idealismenya yang begitu kuat serta sikap keras kepalanya itulah yang tidak
pernah memadamkan semangat “Che” walau terus menerus didera penyakit asma akut.
Akhirnya, sepak terjang “Che”, yang telah membuat Presiden Bolivia Rene Barrientos
beran, benar-benar berhasil dihentikan. Setelah berjuang mati-matian, dalam
gerilya yang begitu melelahkan dengan tantangan medan perbukitan serta suhu
udara yang begitu mengganggu fisik “Che”, akhirnya atas bantuan CIA,
pemerintahan militer Bolivia berhasil mengeksekusi mati “Sang Comandate”.
Tapi, “Che” tidak benar-benar mati. Semangatnya, wajahnya yang diabadikan
oleh fotografer Alberto Korda pada 1960, menjadi ikon wajah yang amat
legendaris. Mungkin banyak yang mengidolakannya hanya karena sebuah reproduksi
wajah yang akhirnya menjadi semacam trend pemberontakan, walau tidak mengerti kisahnya.
Tetapi lebih banyak lagi yang mengidolakannya, dan bahkan di Bolivia ia menjadi
seperti Santo, karena “Che” adalah sebuah simbol kemenangan yang marginal atas
rezim korup sewenang-wenang yang berkuasa.
Ia menjadi idola, karena ia bukan seorang intelektual ‘tong kosong nyaring
bunyinya’. Ia mengangkat senjata, isi kepalanya terus berpikir, tangannya tak
pernah berhenti menulis, dan “Che” juga mengolah kembali perjuangan-perjuangan
fisiknya itu dalam catatan-catatan yang menjadi semacam inskripsi dari
semangatnya.
Mengenai kaum intelektual ini, Gramsci sempat menulis pandangannya dalam
dua catatan yang diletakkan pada bagian awal Prison Notebooks. Ia
menolak apa yang disebutnya pandangan tradisional dan vulgar terhadap
intelektual yang hanya terdiri dari ahli sastra, filosof dan seniman (termasuk
jurnalis, yang mengaku sebagai sastrawan dan filosof, dan menganggap diri
mereka sebagai intelektual ‘sejati’). Intelektual bukan dicirikan oleh
aktifitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, namun oleh fungsi
yang mereka jalankan. Oleh karena itu menurut Gramsci, kita bisa mengatakan
bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi
intelektual.
Jadi, Gramsci memperluas definisi kaum intelektual, yaitu semua orang yang
mempunyai fungsi sebagai organisator pada semua lapisan masyarakat, dalam
wilayah politik dan kebudayaan. Ia melakukan dobrakan ganda (double break)
pandangan umum terhadap intelektual. “Che” yang bukan sastrawan, filosof
ataupun seniman itu, jika menggunakan pandangan Gramsci tentu dapat
dikategorikan sebagai seorang intelektual. Karena bagi Gramsci, intelektual
bukan hanya pemikir, penulis (walaupun dalam berbagai kesempatan dan perjuangan
revolusinya, “Che” tidak pernah berhenti menulis dalam catatan hariannya) dan seniman,
tetapi juga para aktivis, organisator maupun pemimpin politik, dan mereka tidak
hanya berguna dalam masyarakat sipil dan negara, namun juga dalam alat-alat
produksi sebagai ahli mesin, manajer dan teknisi..
Kemudian, setelah mendefinisikan siapakah intelektual itu, Gramsci membuat
perbedaan antara intelektual ‘organik’ dan ‘tradisional’. Setiap kelas
menciptakan satu atau lebih strata intelektual yang memberinya kesamaan dan
kesadaran akan fungsi mereka sendiri bukan hanya dalam bidang ekonomi namun
juga dalam bidang sosial dan politik. Intelektual tidak membentuk sebuah kelas
namun setiap kelas mempunyai intelektualnya sendiri. [1]
Amat pas kiranya, jika “Che” disebut sebagai seorang intelektual
tradisional yang menyebrang menjadi intelektual organik. Konsep Gramsci ini
mengatakan bahwa intelektual tradisional adalah seorang yang dilahirkan, dan
merupakan bagian dari kelas yang berkuasa.
Seperti “Che” misalnya, yang lahir dari keluarga menengah atas, ia dididik
dan dibesarkan dalam sebuah sistem kelas yang berkuasa. Sebelum melakukan
perjalanan bermotornya, “Che” seperti belum benar-benar melihat dunia. Ia
mungkin saja sudah mengantongi berbagai ide-ide pemberontakan, karena ia telah melahap
berbagai buku-buku Marx saat “Che” masih muda, tetapi itu hanya sebatas pada
ranah kepalanya saja. Belum ada aksi yang benar-benar ia lakukan untuk
menerapkan berbagai ide-ide Marxisme yang telah ia lahap itu.
Sampai akhirnya perjalanan bermotor dengan karibnya Granado, membuka
matanya. Ia pun pelan-pelan turun dari menara gadingnya dan bertransformasi
menjadi seorang intelektual organik yang secara natural muncul dari setiap
kelas. Pada mulanya ia seorang intelektual tradisional yang akhirnya secara
sadar meninggalkan posisinya yang diuntungkan oleh sistem politik serta ekonomi
yang dominan, dan kemudian ia bergabung dengan kelas-kelas yang tertindas.
Tindakan “Che” untuk bertransformasi menjadi intelektual organik ini pun ia
lakukan kembali ketika “Che” sudah duduk dalam pemerintahan Kuba di bawah
Castro. “Che” dengan kekuatan pengetahuannya, berpihak kepada orang-orang
tertindas, yang dalam konsep Gramsci disebut sebagai sublatern classes.[2] Dalam hal ini, “Che” sepakat
dengan Gramsci, bahwa perbedaan antara kerja ‘otak’ (mental) dan ‘otot’ (manual)
tidak sepantasnya dijadikan dasar untuk perbedaan kelas. Baginya, semuan
manusia harus berada dalam kelas yang sama, agar tercipta keadilan dan
kesejahteraan bersama, dan titik beratnya bukan pada masalah kerja otak dan
otot itu.
Seperti yang ia mahfumi ketika bertemu dengan sepasang suami istri yang
mencari pekerjaan di sebuah perusahaan tambang milik Amerika di Peru. “Che”
kemudian melakukan refleksi, bahwa walaupun para penambang ini sebagian besar
pekerjaannya menggunakan otot, tetapi bukan berarti mereka berbeda kelas. Para
penambang yang diwakili oleh pasangan suami istri itu adalah contoh dari
orang-orang yang tidak diuntungkan oleh sistem korup yang berkuasa saat itu. Dan
inilah menurut “Che” jenis ketidakadilan yang harus diberantas.
Dalam pandangannya, kelas-kelas itu bisa terbentuk karena ada sistem dalam
masyarakat yang tidak adil. Dalam salah satu tulisan politiknya “Che”
jelas-jelas mengkritik sistem kapitalisme yang membuat manusia dikontrol oleh
kode hukum tanpa ampun yang berada di luar pemahamannya. Hukum itu akhirnya
membuat manusia teralienasi. Manusia yang teralienasi itu pun terikat dengan
masyarakat oleh sebuah jaringan yang tak kasat mata, yakni hukum nilai. Hukum
yang berlaku di seluruh aspek kehidupannya, yang membentuk jalan dan takdir
hidupnya. Menurut “Che’ hukum-hukum kapitalisme, yang tak kasat mata dan
mengelabui masyarakat, berlaku pada individu, bahkan tanpa dia sadari.[3]. Sehingga secara tidak
sadar, manusia-manusia yang berada dalam sistem kapitalis itu, secara tidak
sadar, karena sudah terinternalisasi, membagi dirinya dalam berbagai
kelas-kelas yang sudah ditentukan oleh penguasa.
“Che” amat menentang hal itu, menurutnya, setiap manusia jangan sampai
mengalami alienasi (keterasingan) dari dirinya sendiri sebagai akibat, manusia
itu telah dikuasai atau didominasi oleh benda, alat, kapital atau oleh manusia
lainnya. Manusia harus kembali kepada fitrahnya, dan menjadi seorang manusia yang
benar-benar utuh (Summum Bonum). Manusia adalah kebaikan tertinggi dan
tidak boleh ada manusia satupun yang mengebawahkan manusia lainnya.
Refleksinya terhadap sepasang suami-istri yang mencari pekerjaan di
perusahaan pertambangan milik kaum kapitalis itu telah membuat mata dan hatinya
benar-benar terbuka. Ia melihat ada sesuatu yang salah dan harus segera
diluruskan. Pengembaraannya lewat berbagai buku-buku Marx serta persentuhannya
dengan orang-orang ataupun komunitas-komunitas yang mengalami ketidakadilan,
membuatnya merasa harus dan wajib melakukan sebuah “bunuh diri”. Bukan bunuh
diri ala pengecut dengan minum racun serangga atau menggantung leher di atas
tiang, tetapi sebuah “bunuh diri kelas” dengan semangat revolusi “gerilya
sampai titik darah penghabisan”, yang membuat seorang Ernesto Guevara de La
Serna akhirnya menjadi sang “Comandate Che Guevara”.
Penutup
Secara sederhana, tulisan ini ingin
memberi semacam inspirasi kepada khalayak, bahwa siapapun, apapun status
ataupun kelasnya bisa melakukan sesuatu untuk sebuah perubahan.
REFERENSI
Aditjondro, George Junus. Ernesto “Che” Guevara, Ernesto Laclau dan
Kebangkitan Gerakan Kiri di Amerika Latin. Makalah untuk Diskusi “Che dan
Another World is Possible”.Jakarta, 2006.
Aditjondro, George Junus. Friedrich Engels (1820-1895). Handout
kuliah Marxisme: Religi, Politik & Ideologi.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia, 1996.
Ferrer, Carlos “Calica”. Becoming Che.
Jakarta: GagasMedia, 2007.
Guevara, Che. Dari Sierra Maestra Menuju Havana: Kisah 82 Gerilyawan
yang Berhasil Menumbangkan Pemerintah Kuba. Yogyakarta: Narasi, 2007.
Guevara, Ernesto “Che”. The Motorcycle
Diaries. London: Harper Perennial, 2004.
Guevara, Che. Pidato-pidato Politik Che Guevara Diserta Kronologi
Kematiannya. Surabaya: Diglossia Media, 2004.
Mills, C. Wright. Kaum Marxis: Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999.
Wardaya, Dr Baskara.T. Marx Muda: Marxisme Berwajah Manusiawi (Menyimak Sisi
Humanis Karl Marx bersama Adam Schaff). Yogyakarta: Buku Baik, 2003.
[1] Simon,
Gagasan-gagasan Politik Gramsci, hal 141-142.
[2] Kelas-kelas
yang dimarjinalisasi oleh kepas yang dominant, yang seringkali hanya
memprioritaskan untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, seperti
komune-komune di Italia (Gramsci 1998:52-55).
[3] Guevara,
Pidato-pidato Politik Che Guevara, hal 93.
Comments