Skip to main content

Membaca 'Encounters' *


Saya melihat sebuah perjalanan dan pertemuan. Namun, saya juga menemukan rasa asing dan kosong. Entah, Rony ingin berkisah tentang rasa seperti itu atau tidak. Tetapi ini –sepertinya- rasa yang bisa saya artikulasikan setelah membuka-buka monograph milik Rony.

Mungkin saja Rony ingin mengatakan ...

“Jika kita berani memulai perjalanan, berarti kita berani untuk menghadapi berbagai pertemuan tak terduga, bahagia, menyebalkan, menyedihkan, muak, aneh, di luar nalar otak, serta juga sebuah perpisahan. Tanpa embel-embel itu, perjalanan mungkin hanya menjadi sebuah ilusi tanpa makna, atau ya...,‘membosankan’”.

Lalu saya mencoba memulai ‘encounters’ saya sendiri  pada tiap halaman di monograph ini. Saya pun seperti mengalami pertemuan dengan hal-hal yang membuat saya (harus) berimajinasi.

Saya membayangkan, saya adalah seorang makhluk yang baru saja diciptakan, atau mungkin saja baru tiba dari sebuah antah berantah yang bukan asal saya. Saya seperti baru melihat berbagai hal aneh yang sama sekali belum pernah saya temui sebelumnya.  Saya terpana, saya takut, sekaligus merasa asing. Namun itu tidak menghentikan perjalanan saya, saya terus berjalan dan akhirnya mulai berpikir tentang sebuah persinggahan, tentang sebuah rumah.

Dalam perjalanan menuju rumah itu saya bertemu beragam manusia. Manusia-manusia dengan rupa wajah, perilaku, pikir juga keanehannya. Saya juga bertemu artefak-artefak hasil cipta karya para manusia. Saya melihat riuh, ramai, hiruk pikuk dan sesaknya sebuah kota. Namun saya juga melihat manusia-manusia yang indah. Saya melihat senyum. Sebuah harapan, tapi mungkin juga sebuah kepalsuan.

Saya akhirnya berhadap-hadapan dengan monster. Monster yang sanggup menghisap seluruh energi hidup saya ataupun monster yang mampu membuat saya terjaga tiap malam sehingga mata saya jadi begitu sakit ketika harus memejam. Saya pun kerap bertemu dengan manusia-manusia ambigu. Manusia yang wajahnya tertutup duri, manusia-manusia berwajah malaikat, tetapi hatinya serigala.

Di perjalanan menuju pulang dan rumah itu pun, saya harus bertarung dengan sunyi dan kesendirian. Karena –tampaknya- memang begitulah sejatinya hidup. Saya terkadang harus berjalan dan berlari sendirian di tengah riuh keramaian. Harus berteriak di tengah gurun gersang, bahkan berteriak tanpa suara di tengah rimba beton yang seringkali membuat saya tersesat.

Dan ketika saya tersesat, saat itulah saya dipaksa untuk berpikir ulang, mengendapkan kembali seluruh perjalanan dan bersiap-siap untuk kembali bertemu dengan berbagai ‘encounters’.

Dan seperti yang dikutip Rony dari film Close Encounters of The Third Kind, saya pun tidak perlu takut lagi terhadap berbagai pertemuan itu, karena  –terkadang-  berbagai hal itu tidak terlalu menakutkan, bila kita melihatnya dari sudut pandang berbeda.

“Have you ever looked at something and it’s scary, and then you looked at it in another way and it’s not crazy at all? ... Don’t be scared. Just don’t be scared. I feel really good. Everything’s gonna be all right.” (Close Encounters of the Third Kind, 1977.)

* Ini adalah pembacaan personal saya terhadap Encounters, monograph pertama milik Rony Zakaria.


Comments

Popular posts from this blog

Di Belakang Film The Mission : Ketika “si Putih” bekerja dengan “si Merah”.

Sedikit Pengantar Film adalah sebuah karya yang tidak mungkin dikreasi sendirian. Ia muncul menjadi semacam perhelatan bersama berbagai elemen di balik layar serta di depan layar yang pada akhirnya menjadi sebuah konsumsi publik. Film berangkat dari sebuah kerja yang solid antar berbagai individu yang sejatinya memiliki visi dan tujuan sama. Tanpa ada kerja yang benar-benar rekat antar berbagai elemen, seperti para aktor, sutradara, teknis produksi ataupun produser, maka sulit dibayangkan akan tercipta sebuah film yang layak untuk ditonton. Lalu bagaimana jika sebuah film digarap oleh berbagai elemen yang masing-masing memiliki stereotipe-stereotipe yang membuat salah satu diantara mereka menjadi “yang lain”. Predikat “yang lain” inilah yang akhirnya menjadi semacam standar bagi para kru film ini untuk memperlakukan si “yang lain” ini dengan berbeda. Inilah yang jadi begitu menarik dan terlihat jelas dalam “dapur” sebuah film garapan sutradara peraih Oscar, Roland Joffe.”Yang lai

Dunia Diane Arbus, Dunia Sunyi Yang Eksentrik

http://www.atgetphotography.com/The-Photographers/Diane-Arbus.html Saya adalah penggemar karya foto yang memotret manusia tepat pada matanya. Bagi saya, mata itu adalah ruang yang mampu berbicara banyak tentang diri. Ia adalah ruang kosong tempat segala pedih, atau keriaan yang jujur tersimpan. Salah seorang fotografer yang saya kagumi karena  mampu menangkap ruang jujur itu adalah Diane Arbus. Ruang-ruang jujur yang tertangkap kamera itu lah yang membuat karya Diane begitu intim. Seperti ada kedekatan yang tidak artifisial. Dalam setiap bidikannya, Diane mampu menangkap mata dengan begitu telanjang. Mungkin juga karena Diane dan subjeknya sesungguhnya tidak berjarak. Bisa jadi, Diane dan subjek foto itu adalah bagian dari masing-masing. Jangan-jangan yang Diane foto adalah proyeksi tentang dirinya sendiri. Siapakah Diane Arbus ? Diane lahir dengan nama Diane Nemerov pada 14 Maret 1923 di New York. Diane berasal dari kalangan menengah New York. Ia adalah putri Gertrude

Sesudah Melihat 'The Last Temptation Of Christ'

Apreasiasi luar biasa (dan sungguh terlambat) untuk Martin Scorsese, yang masih tetap nekat mengadaptasi novel kontroversial Nikos Kazantzakis ke dalam media film. Ya, saya memang sangat terlambat untuk benar-benar memaknai film ini. Setelah menyaksikan untuk yang ketiga kali tanpa ketiduran (haha), saya akhirnya mampu merefleksi film ini secara lebih personal. Pada saat novel The Last Temptation of Christ terbit tahun 1953, novel ini begitu banyak mengundang kontroversi. Novel ini juga seringkali masuk dalam daftar buku yang dilarang. Sumber kontroversi utama dari buku ini (dan berikutnya film ini), adalah pada dekonstruksi (atau mungkin bisa disebut sebagai refleksi personal) Nikos atas tokoh suci umat Kristen, Yesus, serta kisah penebusan oleh Yesus yang sudah didogmakan dalam Injil. Maafkan karena saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, saya hanya bisa merefleksi film garapan Scorsese yang sempat mendapat nominasi Academy Award untuk kategori Sutradara Terbaik.